Ilustrasi Tapera

Gaji Pekerja Freelance Dipotong 3 Persen, Tapera Bikin Sengsara

Penolakan atas kebijakan Tapera yang akan memotong penghasilan pekerja terus disuarakan pekerja maupun serikat buruh. Kebijakan ini disinyalir akan membuat buruh perempuan terjerat utang hingga kondisinya makin rentan.

Sebagai pekerja freelance, Fikri (28) merasa curiga ketika tahu pendapatannya akan dipotong untuk Tapera. Terlebih setelah kasus korupsi yang semakin masif, ini membuat Fikri tidak percaya akan alokasi dana Tapera.

“Akhir-akhir ini semua dijadiin korupsi dan jadi bancaan itu project-project pemerintah yang mengelola uang rakyat. Ya balik lagi jadi trust issues semacam ‘hayo mau diapain lagi nih (Tapera)’,” ujar Fikri kepada Konde.co pada Sabtu (8/5/2024).

Baca Juga: Balada Anak Muda Susah Punya Rumah, Bukan Cuma Soal Gaya Hidup dan Paylater

Senada dengan Fikri, Amalia juga mempertanyakan tentang potongan bagi freelancer yang cukup besar untuk Tapera ini. Mengingat pendapatan freelancer yang tidak menentu, tidak seperti pekerja lainnya. Bahkan freelancer juga belum tentu bisa mendapatkan pendapatan di atas UMP (upah minimum provinsi).

“Bagaimana pemerintah bisa memastikan setiap freelancer bisa membayar iuran 3 persen dari total pendapatannya dari bulan itu? Kan orang punya tagihan nggak cuma satu, paling nggak BPJS. Terus tempat tinggal, kos, atau kontrakan. Buat itu saja kadang udah mepet,” ujar Amalia kepada Konde.co pada Sabtu (8/5/2024).

Ribut-ribut soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) berlangsung ramai saat ini. Berbagai aksi protes dilayangkan oleh masyarakat, khususnya dari kelas pekerja. Sebab, Tapera akan memotong gaji karyawan. Angkanya cukup memberatkan pekerja tanpa tahu wujud rumah yang sedang dicicilnya seperti apa.

Kebijakan Tapera diteken melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (20/5/2024). Dalam aturan tersebut tertulis bahwa gaji karyawan akan dipotong 3 persen untuk iuran Tapera per 2027.

Rincian pemotongannya yaitu 2,5 persen ditanggung pekerja dan 0,5 persen ditanggung pemberi kerja. Bagi pekerja lepas (freelancer) akan menanggung iuran 3 persen secara penuh dari pendapatannya sendiri. Tak heran jika banyak pekerja yang mengecam kebijakan tersebut karena akan memotong jumlah pendapatan.

Baik Fikri maupun Amalia sepakat bahwa tidak seharusnya pemerintah memukul rata potongan Tapera bagi freelancer. Sebab, tidak semua freelancer punya pendapatan yang fantastis. Terlebih bagi mereka yang baru saja merintis karier. Ada pos keuangan yang lebih penting dibanding menyimpannya sebagai Tapera.

Tapera Tidak Partisipatif bagi Perempuan

Ketua Federasi Serikat Buruh Perjuangan Indonesia (FSBPI), Jumisih menyebut kebijakan Tapera ini dibuat tidak partisipatif dan merugikan buruh perempuan.

Menurutnya, penting untuk mendengarkan aspirasi dari para pekerja sebelum pemerintah membuat kebijakan yang nantinya berdampak langsung pada rakyat.“Buruh perempuan akan makin kesulitan untuk memanajemen keuangan keluarga. Dengan nilai upah yang sangat kecil, buruh perempuan sudah sangat detail merancang pos-pos keuangan, ditambah ada potongan Tapera,” ujar Jumisih saat dihubungi Konde.co pada Jumat (7/6/2024).

Selain itu, pemerintah juga tidak melihat kondisi buruh perempuan yang sering kali menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga. Adanya potongan untuk Tapera ini jelas akan mengganggu pos-pos keuangan yang telah disusun oleh buruh perempuan dengan penghasilan yang didapatkan.

Betul bahwa upah buruh terus mengalami peningkatan setiap tahun karena ada peningkatan upah minimum. Namun, angkanya tidak signifikan dengan penyerapan barang dan jasa di lapangan karena tergerus oleh inflasi. 

“Kalau ini terus diterapkan akan ada situasi buruh perempuan akan terjebak atau terkondisikan untuk kesulitan memanajemen keuangan sehingga akan semakin banyak korban buruh perempuan yang terjebak rentenir,” tambah Jumisih.

Utang dan pinjaman online (pinjol) menjadi langkah yang terpaksa diambil buruh perempuan untuk mencukupi kebutuhannya. Padahal, langkah ini justru menempatkan perempuan pada situasi yang sulit dan tak jarang berujung pada kekerasan.

Generasi Muda “Dipaksa” Tak Bisa Beli Rumah

Alih-alih mengkritisi harga tanah yang makin melambung, generasi muda yang tidak bisa membeli rumah cenderung disalahkan karena gaya hidupnya. Generasi muda dianggap menghambur-hamburkan uang untuk beli tiket konser, kopi, barang-barang branded, dan lain sebagainya.

Dibalik itu semua, ada ketimpangan antara jumlah gaji dan harga rumah yang tinggi. Pekerja kesulitan dalam mengakses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang bisa menyentuh ratusan juta. Padahal, rata-rata gaji buruh nasional menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani sebesar Rp2,94 juta per bulan.

“Rumah termasuk aku jadikan proyeksi kebutuhan utama di samping sandang dan pangan. Tapi sebagai kaum kelas menengah, rasanya pada makin mahal ya harga rumah itu,” ujar Fikri.

Melihat pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada kuartal I 2024, terdapat peningkatan harga rumah mencapai 1,89 persen (yoy/year on year). Bank Indonesia memproyeksikan perkembangan harga rumah tipe menengah dan besar akan terus meningkat meski tidak setinggi kuartal sebelumnya.

Kondisi ini membuat generasi muda–yang sedang berada dalam usia produktif–seperti “dipaksa” tidak bisa membeli rumah oleh keadaan. Ditambah lagi temuan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut hampir 10 juta penduduk Indonesia usia 15-24 tahun (usia gen Z) menganggur tanpa kegiatan alias NEET (not in employment, education, and training).

Baca Juga: Film ‘Mothers’ Instinct’ Peliknya Persahabatan Perempuan dan Kehidupan Ibu Rumah Tangga

Dari situ, generasi muda mulai menggeser prioritasnya untuk kebutuhan yang lain. Apalagi sekarang banyak alternatif tempat tinggal yang bisa dipilih seperti kos, apartemen, hingga co-living. Jadi, tak heran jika sebagian generasi muda tidak lagi memprioritaskan kepemilikan rumah.

“Aku nggak terlalu memprioritas (punya rumah), cuma aku punya tabungan khusus yang aku khususkan buat budget rumah tersebut,” ujar Amalia.

Ia menyadari, kepemilikan rumah dalam jangka waktu yang pendek adalah fana. Menghitung dari pendapatannya, Amalia memproyeksikan baru bisa membeli rumah dalam waktu 10-20 tahun lagi. Menurutnya, itu waktu yang masuk akal.

“Aku tahu itu bukan goals jangka pendek. Itu jangka panjang, mungkin 10-20 tahun ke depan aku baru punya rumah. Ya waktu masuk akalnya emang segitu,” tambahnya.

Menilik Perjalanan Kebijakan Tapera

Wacana Tapera sudah bergulir sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2013. Kala itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berupaya menyediakan rumah murah bagi masyarakat melalui program Tapera. Harapannya, rakyat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah tetap bisa memiliki rumah.

Sayangnya, pembahasan tentang Tapera berjalan alot. Terdapat perbedaan pandangan antara DPR RI dengan pemerintah. Alasannya beragam, mulai dari kepesertaan dalam Tapera, besaran iuran dan pemanfaatan dana, kontribusi pemberi kerja, badan pengelola Tapera, serta sistem pengelolaan dana oleh badan pengelola, penyidikan, dan sanksi.

RUU Tapera pun keluar dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014. Panitia Khusus (Pansus) RUU Tapera cukup menyesalkan keputusan ini karena pembahasannya yang memakan banyak anggaran.

Selanjutnya, RUU Tapera resmi diundangkan pada Selasa (23/2/2016). Kala itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Baca Juga: ‘The Architecture of Love’, Sembuhkan Luka dengan Pergi Sejenak dari Rumahmu

Setelah resmi menjadi undang-undang, Presiden Joko Widodo pun harus membuat peraturan yang lebih teknis mencakup Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Badan Pelaksana Tapera.

Pada 20 Mei 2020, Jokowi meneken PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan ini kemudian direvisi melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 yang kini menuai kecaman dari para pekerja. Merespons hal itu, Basuki Hadimuljono berencana menunda program Tapera yang awalnya akan diimplementasikan pada 2027.

“Kalau memang ini belum siap, kenapa kita harus tergesa-gesa? Jadi effort-nya dengan kemarahan ini, saya pikir saya nyesel betul ya,” ujar Basuki pada Kamis (6/6/2024) di Kompleks DPR RI, dikutip dari Kompas TV.

Diprotes Buruh

Publik yang geram terus melayangkan protes terhadap kebijakan Tapera yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Pada Kamis (6/6/2024), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melangsungkan demo buruh tolak Tapera di depan Istana Negara, Jakarta.

Protes serupa juga disampaikan oleh berbagai buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK). Pasal 55 ayat (1) PP Nomor 21 Tahun 2024 menyebutkan buruh yang tidak membayar iuran Tapera akan dikenai sanksi administrasi. GEBRAK menilai ini jelas melanggar UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.

“Kewajiban menjadi peserta dan iuran yang harus dibayarkan setiap bulannya dari kaum buruh dan rakyat akan menambah beban baru dan memperbesar garis kemiskinan yang akan terjadi di negara ini,” tulis GEBRAK dalam press release-nya pada Selasa (4/6/2024).

Pemerintah seolah menutup mata akan realitas pekerjaan yang terjadi saat ini. Lapangan pekerjaan yang sulit, pembatasan usia pekerja, kontrak pekerjaan yang tidak jelas dan dapat diputus sewaktu-waktu, upah murah, harga kebutuhan yang terus meningkat, dan lain sebagainya. Belum lagi harus membayar iuran dan pajak lainnya yang jumlahnya cukup membebani pekerja.

“Aliansi GEBRAK menuntut pemerintah agar menghentikan program TAPERA dan membuka ruang dialog seluas-luasnya dalam agenda penyelenggaraan perumahan untuk rakyat dengan metode dialog secara demokratis, partisipatif, transparan dan inklusif,” tulisnya.

Oleh karena itu, Jumisih berharap pemerintah harus mendengarkan aspirasi dari para pekerja terkait kebijakan Tapera. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan dapat lebih akomodatif dan sesuai dengan kebutuhan para pekerja. Mengingat permasalahan pekerja di Indonesia pun masih cukup banyak yang harus diselesaikan.

“Meskipun saat ini ditunda dan kita tidak yakin pemberlakuannya seperti apa. Jika masih diberlakukan tanpa mendengarkan aspirasi dari kami para pekerja, saya yakin ini peraturan tidak akan baik untuk kondisi kita sebagai pekerja di Indonesia,” pungkas Jumisih.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!