Jika kita familier dengan kisah-kisah pewayangan, tentu setidaknya kita pernah mendengar tentang kitab epos Mahabharata. Wiracarita Mahabharata diterjemahkan dan diwariskan turun temurun selama berabad-abad, khususnya melalui budaya wayang di Nusantara. Banyak kisah dalam epos ini memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan dan perjuangan di dalamnya. Seperti kisah Dewi Amba tentang cinta, kehancuran, dan kekuatan perempuan untuk bangkit.
Cerita Dewi Amba muncul dalam kitab pertama Mahabharata, Adiparwa. Alkisah, Dewi Amba adalah putri sulung Raja Kasi yang memiliki dua adik perempuan, yakni Ambika dan Ambalika. Suatu hari, takdir mengguncang dan mengubah kehidupannya. Kejadian itu membuatnya menjadi simbol perjuangan perempuan dalam menghadapi ketidakadilan.
Kisah Amba menyoroti perjalanan dari penolakan hingga transformasi dirinya. Dewi Amba tetap relevan di masa kini; mencerminkan perjuangan perempuan melawan norma-norma patriarkal, kekerasan berbasis gender, dan mencari keadilan.
Awal Mula: Sayembara yang Mengubah Nasib Dewi Amba
Kehidupan Dewi Amba berubah saat Raja Kasi mengadakan sayembara untuk memilih suami bagi ketiga putrinya: Amba, Ambika, dan Ambalika. Sayembara ini menarik perhatian Bisma Dewabrata, seorang ksatria terkemuka dari Hastinapura. Namun, Bisma datang bukan untuk dirinya sendiri. Ia justru hendak mencarikan istri bagi adik tirinya, Raja Wicitrawirya.
Bisma sendiri adalah seorang petarung handal. Dengan kemampuannya, ia mengalahkan semua peserta lain. Termasuk Raja Salwa, yang sesungguhnya menarik hati Amba. Akhirnya, Bisma pun memenangkan sayembara sehingga ia dapat membawa ketiga putri Raja Kasi ke Hastinapura untuk dinikahkan dengan Wicitrawirya.
Dalam perjalanan, Amba mengungkapkan bahwa hatinya telah lama terikat pada Raja Salwa. Di sisi lain, Salwa pun tak tinggal diam. Ia kemudian menantang Bisma berduel di tengah perjalanan Bisma dan ketiga putri tersebut menuju Hastinapura. Dirinya ingin memenangkan kembali Amba. Namun, sama halnya seperti raja-raja lain yang mengikuti sayembara, Raja Salwa pun tetap kalah dari Bisma.
Baca Juga: Sinta dan Sastra : Membongkar Penggambaran Perempuan yang Salah Kaprah Dalam Ramayana
Amba pun tak bisa menutupi perasaannya. Sesampainya di Hastinapura, Amba menjelaskan kepada Raja Wicitrawirya tentang perasaan yang sesungguhnya. Setelah mengetahui kenyataan bahwa Amba sejatinya telah terikat pada Salwa, Wicitrawirya pun enggan menerima Amba. Dengan rasa hormat, ia menganjurkan Amba untuk kembali saja pada Raja Salwa. Bisma memutuskan untuk melaksanakan perkataan Raja Wicitrawirya dan ‘mengembalikan’ Amba kepada Salwa.
Sayangnya, setelah itu, Salwa justru menolak Amba dengan alasan bahwa ia telah ‘diambil’ oleh Bisma dan tidak lagi murni. Selain itu, Salwa lebih mengutamakan harga dirinya. Menurut tradisi, raja yang telah kalah dalam sayembara atau pertempuran dalam memperebutkan sesuatu, harus menerima kekalahannya dengan sportif. Dengan kata lain, akan terkesan tidak pantas dan memalukan apabila kemudian Raja Salwa ‘mendapatkan’ Amba kembali secara cuma-cuma akibat belas kasihan orang yang telah mengalahkannya. Akibat hal ini juga, Amba tidak bisa kembali ke kerajaannya sendiri dan ke ayahnya, Raja Kasi. Sebab ia akan terkena sanksi sosial jika memutuskan untuk kembali.
Penolakan ini menghancurkan Amba. Dirinya tidak hanya merasa dipermalukan, tetapi juga kehilangan arah hidup. Kebingungan dalam usahanya mencari keadilan membuatnya kembali ke Bisma. Ia menuntut agar Bisma menikahinya demi menebus kehormatan yang hilang. Namun, Bisma menolak karena sumpahnya untuk tetap hidup selibat.
Baca Juga: Perjuangan Para Perempuan Merebut Panggung Seni Pertunjukan
Dalam keputusasaan, Amba memutuskan untuk mencari cara lain untuk membalas dendam atas penghinaan dan penderitaannya. Merasa dikhianati oleh semua pihak, Amba bertekad untuk menghancurkan Bisma, yang ia anggap penyebab utama penderitaannya. Ia melakukan tapa brata yang keras, menunjukkan kegigihannya meskipun jalan yang ditempuh penuh rintangan. Usahanya menarik perhatian Dewa Siwa, yang memberinya anugerah bahwa ia akan terlahir kembali sebagai seorang ksatria yang mampu mengalahkan Bisma.
Dalam kehidupan berikutnya, Dewi Amba menitis menjadi Srikandi, seorang perempuan yang memilih jalan ksatria. Dalam perang besar Bharatayudha, Srikandi bergabung dengan pihak Pandawa dan memainkan peran penting dalam kematian Bisma. Dengan bantuan Arjuna, Srikandi menjadi alat takdir yang akhirnya mengakhiri hidup Bisma. Balas dendam yang diperjuangkan Amba pun terwujud, meski mengorbankan banyak hal dalam perjalanan panjangnya.
Perjuangan Dewi Amba adalah Perjuangan Perempuan, Dulu dan Kini
Kisah Dewi Amba tidak hanya berbicara tentang balas dendam. Tetapi juga tentang perjuangan perempuan untuk mencari keadilan di dunia yang sering kali tidak berpihak kepada mereka.
Amba adalah cerminan perempuan yang menjadi korban sistem patriarkal. Sebagai perempuan, pilihan dan kehormatannya ditentukan oleh laki-laki di sekitarnya. Penolakan yang dialami Amba oleh Raja Salwa menunjukkan norma sosial yang sering kali menyalahkan perempuan atas keadaan yang berada di luar kendali mereka. Di sisi lain, ksatria Bisma memegang kendali atas hidup Amba, sekaligus mengabaikan penderitaan yang dialami perempuan itu.
Amba, yang akhirnya memilih untuk melawan, menjadi simbol perempuan yang menolak tunduk pada sistem yang merugikannya. Transformasi Amba menjadi Srikandi adalah bukti bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk mengubah nasib mereka sendiri. Bahkan ketika semua peluang tampak mustahil. Dalam konteks modern, hal ini mencerminkan perjuangan perempuan melawan diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan berbasis gender. Serta tuntutan mereka untuk mendapatkan hak yang setara.
Baca Juga: ‘Papermoon Puppet Theater’, Sembuhkan Kesehatan Mental dan Trauma Lewat Seni
Kisah Amba dapat dilihat sebagai cerminan perjuangan perempuan di masa kini. Banyak perempuan di seluruh dunia menghadapi situasi yang memaksa mereka tunduk pada norma-norma sosial yang tidak adil. Misalnya, korban kekerasan seksual sering kali disalahkan atas penderitaan mereka sendiri. Seperti halnya Amba yang dipermalukan karena dianggap tidak lagi murni.
Namun, seperti Amba, perempuan masa kini juga menunjukkan kegigihan untuk melawan. Misalnya lewat gerakan-gerakan seperti #MeToo hingga Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) dan lainnya dalam melawan kekerasan berbasis gender. Berbagai gerakan tersebut adalah contoh nyata perempuan yang tidak lagi diam menghadapi ketidakadilan. Mereka menuntut agar suara mereka didengar dan hak-hak mereka dihormati. Seperti halnya Amba yang menolak untuk menyerah pada nasibnya.
Srikandi: Simbol Perlawanan dan Transformatif Perempuan
Transformasi Amba menjadi Srikandi memberikan dimensi lain pada kisah ini. Sebagai Srikandi, ia melampaui batas-batas gender. Membuktikan bahwa keberanian dan kemampuan tidak ditentukan oleh jenis kelamin.
Dalam perang Bharatayudha, Srikandi adalah ksatria yang dihormati, meskipun ia harus menghadapi kritik dan stereotip sebagai perempuan di medan perang. Srikandi adalah simbol perempuan yang memilih jalan hidup mereka sendiri, terlepas dari ekspektasi sosial. Dalam konteks modern, banyak perempuan yang menolak batasan tradisional untuk menjadi pemimpin, aktivis, dan pembela hak asasi manusia. Mereka, seperti Srikandi, menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk menciptakan perubahan.
Perlawanan Dewi Amba adalah pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan sering kali tidak mudah. Tetapi kegigihan dan tekad dapat membawa perubahan yang berarti. Amba menunjukkan bahwa, meskipun perempuan menghadapi penolakan dan penderitaan, mereka masih memiliki kekuatan untuk bangkit dan melawan.
Dalam dunia modern, perjuangan perempuan seperti Amba tetap relevan. Perempuan di seluruh dunia terus menghadapi diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan. Namun, seperti halnya Dewi Amba yang menemukan kekuatannya dalam penderitaan, perempuan masa kini juga terus membuktikan bahwa mereka mampu melampaui batasan yang dikenakan pada mereka.
Kisah Amba dan Srikandi bukan hanya cerita fiksi pewayangan belaka. Mereka dapat menjadi inspirasi untuk masa depan. Amba dan Srikandi mengajarkan bahwa keadilan adalah hak setiap individu, terlepas dari jenis kelamin. Juga, keberanian untuk melawan ketidakadilan adalah langkah pertama menuju perubahan. Melalui kisah ini, kita diingatkan bahwa perempuan bukan hanya korban. Tetapi juga pahlawan dalam narasi kehidupan mereka sendiri yang seharusnya tidak ditentukan oleh orang lain, termasuk laki-laki.