Kebakaran di Los Angeles: Alarm Bagi Amerika Serikat Untuk Penuhi Komitmen Atas Perjanjian Paris

Kebakaran hutan dan lahan yang melanda Los Angeles pada 7 Januari 2025 hingga hari ini belum padam. Organisasi masyarakat sipil tegaskan kebakaran ini merupakan alarm terutama bagi Amerika Serikat untuk penuhi komitmen atas Perjanjian Paris.

Sepekan setelah tahun baru pada Selasa (7/1/25) pagi, kebakaran terburuk sepanjang sejarah melanda Pasific Palisades. Yakni sebuah distrik di wilayah metropolitan Los Angeles, California, Amerika Serikat. Kobaran api menghanguskan hutan dan lahan di daerah yang dikenal sebagai kawasan elite tersebut. Hingga hari ini dilaporkan kobaran api masih melanda di sejumlah wilayah di LA.

Merujuk Washington Post, warga melaporkan kepulan asap di area hutan dekat lingkungan Pacific Palisades pada Selasa pagi. Sekitar 45 menit kemudian petugas pemadam kebakaran datang ke lokasi dan kondisi api sudah menyebar hingga lebih dari 10 hektar.

Dari sana, api segera meluas hingga 200 hektar, karena angin kencang memicu api dan mengirimkan bara api sejauh dua mil hingga hampir 30.000 hektar terbakar di seluruh wilayah. Selain Pacific Palisades, kebakaran juga melanda kawasan Eaton.

Hingga Rabu (15/1/25) sedikitnya 24 orang tewas, sebanyak 12 orang dilaporkan hilang, dan sekitar 100 ribu orang mengungsi. Di antara yang meninggal, 8 korban berasal dari kebakaran Palisades di sisi barat kota. Sedang 16 korban lainnya ditemukan di kebakaran Eaton di sebelah timur kota. Sementara kerugian akibat kebakaran diperkirakan tembus Rp2.448 triliun.

Seperti dilaporkan BBC, korban yang meninggal sebagian besar berusia diatas 60 tahun bahkan 80 tahun. Pejabat terkait mengatakan mungkin perlu beberapa minggu untuk mengidentifikasi korban. Pasalnya metode tradisional seperti sidik jari dan identifikasi visual tidak memungkinkan untuk dipakai.

Apa penyebab dari kebakaran menjadi pertanyaan banyak orang, terutama korban. Pertanyaan ini juga memicu teori konspirasi yang bertebaran secara online. Sementara penyidik ​​dari lembaga lokal, negara bagian, dan federal mulai melakukan investigasi. Para pejabat mengatakan mencari tahu penyebabnya bisa memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

Apa Kata Ahli?

Para pakar menyebut kebakaran hutan dan lahan yang melanda California Selatan terjadi setelah perubahan drastis dari cuaca basah menjadi cuaca yang sangat kering. Fenomena ini oleh para ilmuwan disebut sebagai “gejolak hidro-iklim atau hydroclimate whiplash “.

Penelitian terbaru yang dilakukan Daniel Swain, seorang ilmuwan iklim UCLA, bersama 8 peneliti lainnya yang diterbitkan dalam jurnal Nature Reviews Earth & Enviroment menjelaskan hal ini. Riset mereka menunjukkan perubahan mendadak dari basah ke kering dan kering ke basah ini, yang dapat memperburuk kebakaran hutan, banjir, dan bahaya lainnya, makin sering terjadi dan makin intens karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

“Bukti menunjukkan gejolak hidro-iklim telah meningkat karena pemanasan global, dan pemanasan lebih lanjut akan menyebabkan peningkatan yang lebih besar lagi,” kata Swain.

Perubahan cuaca ekstrem selama dua tahun terakhir di California Selatan adalah salah satu dari sekian banyak perubahan dramatis yang telah didokumentasikan oleh para ilmuwan di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir.

Musim dingin yang luar biasa basah pada tahun 2023 dan 2024 menyuburkan pertumbuhan semak belukar dan rumput di lereng bukit di seluruh wilayah. Lalu datanglah cuaca yang sangat hangat dan tanpa hujan sejak musim semi yang telah meninggalkan vegetasi kering di seluruh wilayah Los Angeles, kata Swain.

Sejak Oktober, sebagian besar California Selatan dilanda kondisi kering hingga memecahkan rekor. Cuaca yang sangat tidak menentu ini telah meningkatkan risiko kebakaran hutan ekstrem seperti yang meledak dalam angin kencang minggu ini.

Karena pembakaran bahan bakar fosil dan meningkatnya kadar gas rumah kaca mendorong suhu lebih tinggi, Swain dan ilmuwan lainnya memproyeksikan bahwa perubahan cuaca ekstrem akan terus menjadi lebih sering dan tidak menentu, dengan curah hujan makin terkonsentrasi dalam semburan yang lebih pendek dan intens, diselingi dengan musim kemarau yang lebih parah.

Baca juga: Edisi Kemerdekaan: Perempuan Muda Atasi Krisis Iklim dan Lingkungan (1)

Dalam risetnya para peneliti memeriksa catatan cuaca global dan menemukan bahwa peristiwa gejolak hidro-iklim sudah meningkat 31% hingga 66% sejak pertengahan 1900-an. Dan kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat dalam skenario ketika dunia mencapai 3 derajat Celsius, atau 5,4 derajat Fahrenheit, pemanasan.

Para peneliti mengatakan perubahan iklim yang disebabkan manusia mendorong peningkatan tersebut. Hal itu terjadi karena, dengan setiap derajat pemanasan tambahan, atmosfer mampu menyerap dan melepaskan lebih banyak air. Swain dan timnya menyamakan efek tersebut dengan “spons atmosfer” yang mengembang, yang mampu menyerap lebih banyak air, yang menyebabkan banjir dan kekeringan yang lebih parah.

Swain dan timnya mengatakan perubahan yang lebih intens ini membawa risiko kebakaran hutan yang lebih besar, banjir bandang, tanah longsor, dan wabah penyakit.

California secara alami mengalami beberapa perubahan paling dramatis di dunia antara cuaca yang sangat basah dan musim kemarau. Dan dengan pemanasan yang lebih parah, para ilmuwan memproyeksikan negara bagian tersebut akan mengalami perubahan yang lebih ekstrem.

Para ilmuwan tersebut juga mengutip contoh lain dari gejolak hidro-iklim baru-baru ini di California. Segera setelah kekeringan parah tahun 2020-2022, negara bagian tersebut dilanda serangkaian badai sungai atmosfer besar pada tahun 2023. Badai ini membawa hujan lebat dan salju dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menyebabkan banjir dan tanah longsor.

Karena meningkatnya gejolak iklim dikaitkan dengan berbagai bahaya yang saling terkait, para ilmuwan mengatakan ada kebutuhan mendesak untuk manajemen bencana. Selain itu kesiapsiagaan darurat, dan desain infrastruktur untuk menggabungkan risiko yang makin meningkat dari dampak berjenjang ini juga penting.

Riset tersebut juga menggarisbawahi pentingnya upaya untuk membatasi pemanasan global. Makin sedikit pemanasan, makin sedikit peningkatan gejolak hidro-iklim, kata Swain.

Sebuah Alarm Untuk Berubah

Juru Kampanye Energi Trend Asia Novita Indri mengatakan dari percakapan para ahli yang melakukan analisis terungkap salah satu pemicu utama dari kebakaran ini adalah fenomena angin Santa Ana. Angin ini sifatnya kering dan panas jadi ketika melewati daun-daun kering bisa memantik api.

“Kalau lihat gambar-gambarnya dari foto-foto dan video, angin itu yang menjadi katalis sehingga titik-titik api makin menyebar luas,” kata Novita kepada Konde.co, Selasa (14/1/25).

Namun uniknya adalah kondisi ini terjadi di musim dingin. Oktober hingga April biasanya merupakan musim hujan di California. Tetapi pada Januari ini, wilayah tersebut mengalami kebakaran paling dahsyat yang pernah terjadi. Novita melihat kondisi ini menjadi sebuah alarm bahwa kita saat ini dalam situasi anomali.

Fakta lain adalah sejumlah publikasi dari para saintis menunjukkan tahun 2024 adalah tahun terpanas dalam sejarah manusia. Seperti dilansir Organisasi Meteorologi dunia (WMO) yang menyebutkan pada 2024 suhu rata-rata bumi berada di atas ambang batas 1,5° Celcius sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris.

WMO menyatakan suhu rata-rata permukaan global 1,55° Celcius, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata praindustri (1850-1990). Angka ini merupakan hasil konsolidasi dari enam data yang dirilis oleh sejumlah organisasi iklim dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris dan Jepang.

“Suhu global yang mengalami kenaikan juga adanya anomali seperti yang terjadi di Amerika dengan fenomena angin Santa Ana dan di belahan bumi lain menjadi sebuah kekhawatiran. Bahwasanya ini adalah bentuk nyata dampak dari krisis iklim,” jelas Novita.

Para saintis sedang mengalkulasi ulang dan juga sudah ada beberapa publikasi yang menyebutkan bahwa ini adalah fenomena krisis iklim, katanya. Karena itu Novita menambahkan situasi ini harusnya membikin alarm kita berbunyi.

Kebakaran di LA juga menunjukkan bahwa negara-negara kaya di Utara sekalipun kelimpungan menghadapi gejolak cuaca ekstrem. Amerika Serikat kerap dianggap sebagai negara adidaya yang punya sumber daya dan kekuatan besar tetapi mereka juga kolaps saat berhadapan dengan fenomena ini.

Baca juga: 15 Transpuan Seroja Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah: Lawan Krisis Iklim Dan Diskriminasi

Novita mengatakan ketidakmampuan Amerika menghadapi kebakaran ini perlu dilihat secara struktural. Karena perkembangan yang ada menunjukkan dari aspek sistem, baik dari sisi man power-nya maupun dari sistem manajemen tanggap daruratnya juga tidak berjalan dengan baik.

Karena itu menurutnya kejadian ini harus menjadi satu pembelajaran penting buat Amerika dan mendorong pemerintahnya untuk segera melakukan perbaikan. Novita kembali menegaskan kebakaran ini juga alarm sekaligus bukti bahwa saat ini kita ada dalam situasi darurat.

Lebih dari itu Amerika merupakan salah satu negara yang secara historis punya tanggung jawab sebagai penghasil emisi karbon dan berkontribusi signifikan atas terjadinya perubahan iklim.

“Jadi mereka juga punya peran dan tanggung jawab untuk segera melakukan pengurangan emisi dari semua sektor. Misalnya yang berkaitan dengan sektor batu bara dan sektor energi fosil kotor lainnya segera dihentikan,” ungkapnya.

Sebagai polluter terbesar dunia, Amerika Serikat juga perlu mewujudkan secara serius komitmen mereka terhadap iklim, untuk mengurangi emisi, dan untuk mencapai perjanjian Paris.

Komitmen ini perlu menjadi prioritas dari presiden yang baru. Masalahnya Amerika pernah keluar dari Perjanjian Iklim Paris pada 4 November 2020. Keputusan ini diambil ketika Trump menjadi presiden pada 2017 hingga 2021. Dengan terpilihnya kembali Trump sebagai presiden Amerika Serikat muncul kekhawatiran langkah menarik diri dari Perjanjian Paris akan terulang.

“Kami dan juga banyak masyarakat sipil lainnya lagi harap-harap cemas kalau-kalau langkah itu akan terulang,” katanya.

Namun dengan kejadian kemarin ia berharap akan membuka mata khususnya bagi presiden Amerika yang akan datang bahwa ini persoalan krusial.

Pelajaran Untuk Indonesia

Seperti disampaikan para pakar, kebakaran yang terjadi di Los Angeles berpotensi untuk lebih sering terjadi dengan situasi pemanasan global dan krisis iklim yang terjadi saat ini. Hal ini menjadi catatan bagi Indonesia mengingat negara kita termasuk negara yang rentan dengan perubahan iklim.

Novita menjelaskan Indonesia memang tidak ada fenomena seperti angin Santa Ana di California. Tetapi kebakaran hutan menjadi fenomena yang sering terjadi pada musim kemarau. Karena itu menurutnya kebakaran di LA hendaknya juga menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia. Perlu menyiapkan upaya adaptasi dan mitigasi.

Peristiwa kebakaran di LA hendaknya menjadi pelajaran bagi Indonesia bahwasanya kesiapsiagaan menjadi hal penting. Pasalnya sejumlah analisis menunjukkan kerusakan akibat kebakaran ini cukup fatal karena tidak ada mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah di sana. Perlengkapan untuk keselamatan khususnya alat-alat pertolongan pertama tidak disiapkan, reservoir air kering sejak beberapa bulan sebelumnya tapi tidak ada antisipati.

Apalagi ke depan dampak krisis iklim seperti kekeringan, banjir, hingga gagal pangan frekuensinya akan makin sering terjadi. Kalau Indonesia tidak segera melakukan adaptasi dan mitigasi Novita khawatir tingkat fatalitasnya makin tinggi. Selain itu tingkat kerentanan juga akan makin tinggi jika tidak dibarengi dengan adaptasi.

Ia menambahkan Indonesia juga perlu berhati-hati apalagi dengan struktur pemerintahan sekarang yang gemuk dengan jajaran menteri yang jumlahnya banyak.

Baca juga: Edisi Kemerdekaan: Perempuan Muda Atasi Krisis Iklim dan Lingkungan (2)

“Kalau kita lihat postur APBN kita juga agak membengkak. Tetapi kalau melihat yang berkaitan dengan kebencanaan dan lingkungan, rasa-rasanya kita ada di level paling bawah. Anggaran paling gede kan buat pertahanan,” paparnya.

Karena itu menurutnya satu hal penting yang harus dilakukan adalah menyiapkan instrumennya baik instrumen hukum maupun instrumen pendanaan atau pembiayaan. Apalagi sejumlah ilmuwan sudah mengingatkan Indonesia cukup rentan dan tidak menutup kemungkinan akan mengalami hal serupa.

“Kalau misalnya sedari awal kita tidak mempersiapkan diri, tidak mendengarkan para saintis, tidak segera menyiapkan regulasi dan juga mekanisme tanggap bencana, maka akan sangat fatal akibatnya. Harapannya Indonesia bisa mengambil banyak pelajaran dari kejadian di Amerika,” jelas Novita.

Hal penting lainnya menurut Novita adalah selain Amerika yang menjadi penyumbang emisi terbesar, Indonesia juga termasuk di dalamnya. Karena itu Indonesia juga perlu untuk memperkuat kembali komitmen iklimnya, mengurangi emisinya, melepaskan ketergantungannya dari energi fosil dan segera beralih ke energi terbarukan.

“Kalau kita bisa menjalankan itu semua, kita bisa mengurangi fatalitas dari dampak krisis iklim. Selain itu kita bisa lebih resilience, beradaptasi dan juga bermitigasi ketika terjadi bencana-bencana yang berkaitan dengan krisis iklim,” pungkasnya.

Foto: [Nic Coury/AP Photo] via aljazeera.com

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!