Kostum Trans Super Heroes yang dipamerkan dalam 'Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2' di Pasar Pos Duri, Minggu (17/12/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

15 Transpuan Seroja Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah: Lawan Krisis Iklim Dan Diskriminasi

Karnaval 'Trans Super Heroes 2' menyampaikan pesan, transpuan itu dekat dengan isu lingkungan. Bukan sebagai 'sumber bencana' tapi mereka paling terdampak. Karnaval ini menyerukan aksi nyata untuk peduli lingkungan dan perlawanan diskriminasi sebagai minoritas gender dan seksualitas.

Cuaca panas menggelegak siang itu di kawasan Duri, Jakarta Barat, pada Minggu (17/12/2023). Bergegas aku melangkah memasuki gang-gang sempit menuju Pasar Pos Duri. Aku hendak menyaksikan ‘Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2’ dari Sanggar Seroja yang digelar di sana.

Begitu aku sampai di lokasi, pertunjukan rupanya sudah dimulai. Aku langsung mencari posisi yang pas untuk menonton dan mengabadikan pagelaran busana hasil daur ulang sampah tersebut.

Para model berjalan dengan anggun dan percaya diri di runway. Mereka memamerkan kostum-kostum yang didaur ulang dari berbagai jenis limbah. Sampah-sampah disulap menjadi gaun mekar dan aksesori ‘cetar’. Mulai dari gelas kertas sekali-pakai hingga kantong plastik warna-warni, mereka manfaatkan untuk membuat karya busana yang indah.

Di antara kios-kios pasar yang panas dan sumuk, disertai aroma tidak sedap dari kali di sekitar pasar yang tercemar. ‘Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes’ menampilkan 15 transpuan dari komunitas Sanggar Seroja. Setiap kostum punya cerita masing-masing, yang narasinya dibuat oleh Yara Shahrazad. Masing-masing memiliki harapan untuk menghapuskan diskriminasi dan kesenjangan hidup yang dialami oleh transpuan di Indonesia.

‘Karnaval Trans Super Heroes’ sendiri lahir berkat ide Mama Atha, pendiri Sanggar Seroja sekaligus ketua komunitas transgender di Duri, Jakarta Barat. Kostum-kostum di karnaval tersebut dirancang oleh sejumlah desainer transpuan.

Mereka adalah Rika Ayudia, Agustine Sungkar, Icha Shemale, Chika Mochi, Sherly Wijayanto, dan Indriani Jabluk. Ada dua isu utama yang menjadi tema karnaval: krisis lingkungan dan krisis HAM terhadap kelompok minoritas gender-seksualitas. 

Trans Super Heroes, Ketika Transpuan Menyelamatkan Lingkungan
Kostum Trans Super Heroes yang dipamerkan dalam 'Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2' di Pasar Pos Duri, Minggu (17/12/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
Kostum Trans Super Heroes yang dipamerkan dalam ‘Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2’ di Pasar Pos Duri, Minggu (17/12/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

‘Karnaval Trans Super Heroes Season 2’ menyajikan 15 kostum bertema superhero trans dari berbagai latar belakang. Ada superhero transpuan pengemudi transportasi umum hingga pemadam kebakaran. Ada trans superhero dari pesisir selatan Jawa yang bekerjasama dengan sosok legendaris Nyi Roro Kidul. Bahkan, ada superhero transpuan yang dikisahkan sebagai seorang filantropis dan kerap berdonasi untuk kawan-kawan sesama transpuan.

Salah satu yang paling melekat di benakku adalah sosok Rafaela, ‘Trans Super Heroes Kesehatan’ yang melawan virus monkeypox atau cacar monyet. Rambut neon pink-nya yang dikuncir, membuat tokoh Rafaela—diperagakan oleh model sekaligus desainer Agustine Sungkar—tampak seperti karakter anime yang biasa kutonton.

Pun dengan kostumnya yang terbuat dari beberapa jenis limbah seperti masker bekas, kantong plastik, dan kabel. Serta semarak warna biru muda, merah muda, dan putih—warna simbol transgender yang juga tampak pada beberapa kostum lain di acara ini.

Rafaela, karakter Trans Super Heroes dalam 'Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2' di Pasar Pos Duri, Minggu (17/12/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
Rafaela, karakter Trans Super Heroes dalam ‘Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2’ di Pasar Pos Duri, Minggu (17/12/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Alkisah, Rafaela atau Ela sebagai superhero bertugas mengarahkan keluarga untuk memakai masker dan mengikuti prosedur kesehatan. Ia memiliki kekuatan super berupa suntikan pemulih dan senjata tongkat poster edukasi monkeypox.

Ela awalnya hanya seorang transpuan jalanan yang menderita penyakit autoimun dan cacar monyet. Kondisinya yang memprihatinkan pun membuat Asih, superhero penyembuh, menyuntikkan hasil eksperimennya ke tubuh Ela dan menyembuhkannya. Dia pun aktif mengobati para transpuan yang terjangkit cacar monyet dan penyakit lainnya.

Baca Juga: Cerita Kerukunan Bissu Transpuan di Sulawesi Selatan

Tokoh pahlawan super lainnya yang menarik perhatianku adalah Sandang, ‘Trans Super Heroes Pakaian Bekas’. Kostumnya terdiri dari kain bekas, aksesoris, dan sebagainya. Sandang ‘dihadirkan’ di karnaval ini oleh Sherly Wijayanto, yang menjadi model untuk sekaligus merancang kostum Sandang bersama Icha Shemale. 

Sandang, karakter Trans Super Heroes dalam 'Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2' di Pasar Pos Duri, Minggu (17/12/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
Sandang, karakter Trans Super Heroes dalam ‘Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2’ di Pasar Pos Duri, Minggu (17/12/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Sandang diceritakan sebagai sosok desainer kontroversial. Pasalnya, rancangan busananya kerap mendobrak konstruksi gender. Ia pun merancang fesyen queer khas Indonesia untuk komunitas transgender. Penampilan kostum Sandang mungkin tidak seheboh Trans Super Heroes lain, tapi paduan gaun hitam dengan ekor dan outer jingga membuat Sandang tampak elegan dan pakaiannya mengesankan desain khas Nusantara.

Para karakter superhero tersebut tentu fiktif. Tapi cerita-cerita yang melatarbelakangi mereka nyata terjadi. Kostum-kostum yang mereka pamerkan bukan cuma menyuarakan urgensi krisis lingkungan, tetapi juga kondisi kelompok minoritas gender dan seksualitas yang teropresi. Trans Super Heroes adalah wujud pahlawan bagi lingkungan dan kelompok minoritas.

Tidak lama setelah adzan Ashar selesai berkumandang, berakhir pula penampilan ke-15 transpuan dari Sanggar Seroja. dalam ‘Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes’. Teriknya udara Jakarta membuat para model dan pengunjung kontan menyerbu sirup dingin yang disediakan di sana.

Usai menyegarkan diri, para model berfoto dengan para desainer dan pengunjung lainnya. Pasar Pos Duri terasa hangat—kali ini bukan salah iklim—kala para transpuan berseru ke arah kamera saat berfoto bersama.

“Seroja mekar di Kampung Duri!”

LGBTQ+ dan Bencana Lingkungan: yang Terdampak, yang Disalahkan
Kostum Trans Super Heroes yang dipamerkan dalam ‘Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah Trans Super Heroes Season 2’ di Pasar Pos Duri, Minggu (17/12/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Sanggar Seroja mengadakan ‘Karnaval Trans Super Heroes’ sebagai bentuk kepedulian terhadap krisis lingkungan. Ini bertentangan dengan narasi yang menuduh kelompok LGBTQ+ sebagai penyebab ‘turunnya azab’ berupa bencana lingkungan bagi masyarakat. Alih-alih, kawan-kawan transpuan justru bertindak nyata dalam merespon krisis lingkungan layaknya superhero. Barangkali lebih nyata dari pihak-pihak yang selama ini menjadikan mereka kambing hitam penyebab bencana.

Faktanya, masalah sampah dan perubahan iklim sangat berdampak bagi kelompok minoritas gender dan seksualitas. Banyak transpuan terpaksa hidup di jalanan dan kawasan kumuh karena kehadirannya ditolak oleh warga. Tak sedikit yang mencari penghidupan di tengah kepadatan kota, misalnya dengan mengamen. Polusi lingkungan menyebabkan transpuan mengalami sesak napas hingga penyakit-penyakit lainnya.

Mereka mesti menghadapi problem berlapis: sudah terdampak langsung masalah lingkungan, didiskriminasi dan disalahkan juga akibat masalah tersebut. Maka isu lingkungan sesungguhnya begitu dekat dengan kehidupan kelompok minoritas gender dan seksualitas.

Baca Juga: Nestapa Transpuan: Sudah Terstigma, Tertimpa Polusi Udara Pula

Sekretaris Jenderal Arus Pelangi, Echa Waode, juga hadir di karnaval Sanggar Seroja hari itu. Echa tidak tampil sebagai model maupun desainer, tapi menurutnya, salah satu karakter Trans Super Heroes dilatarbelakangi kisah nyata dirinya.

“Ceritaku dituangkan dalam kostum mereka,” jelas Echa kepada Konde.co, Minggu (17/12/2023). “Seperti tahun lalu juga ada ‘kostum keadilan’, itu menceritakan tentang aku. Jadi termotivasi dari kerja-kerjaku di sini yang dituangkan dalam pakaian mereka.”

‘Karnaval Trans Super Heroes’ kali ini merupakan season kedua. Sebelumnya, Sanggar Seroja juga pernah mengadakan acara serupa dengan fashion show empat kostum Trans Super Heroes.

Menurut Echa, kostum-kostum yang dipamerkan mencerminkan perjuangan transpuan menghadapi krisis iklim. Ia juga mengapresiasi kreativitas dan inisiatif Sanggar Seroja dalam merancang dan menampilkan kostum-kostum daur ulang sebagai bentuk kampanye menghadapi krisis lingkungan dan menuntut keadilan bagi minoritas gender-seksualitas.

“Tidak lagi pemerintah menyalahkan transpuan ataupun kawan-kawan komunitas minoritas gender kalau ada bencana. Padahal bencana itu datangnya memang dari alam, bukan dari suatu kelompok,” kata Echa.

“Jadi mereka menunjukkan bahwa kita harus mengingatkan kembali masyarakat dan pemerintah untuk lebih merawat alam, menjaga alam. Tidak ada lagi penebangan hutan atau lainnya yang menyebabkan bencana alam tadi.”

Baca Juga: Transpuan Dapat Energi Sehat di NTT, Bagaimana di Ibu Kota?

Selain isu lingkungan, kostum-kostum Trans Super Heroes juga berkaitan dengan diskriminasi yang masih dialami transpuan. Ruang aman dan keadilan bagi transpuan masih sulit didapatkan. Persekusi hingga kekerasan tak jarang dialami para transpuan akibat penolakan dari masyarakat.

Echa menilai, penegakan HAM untuk kawan-kawan trans masih jauh panggang dari api. Kelompok minoritas gender dan seksualitas kerap mengalami persekusi dan diskriminasi dalam berbagai kesempatan. Bahkan, menyoal isu lingkungan dan bencana alam, sering kali mereka dituding sebagai ‘pembawa kutukan’.

“Apa lagi memasuki tahun politik. Teman-teman komunitas harus diperhatikan. Kalau bicara HAM, semua orang memiliki HAM, tanpa melihat identitas gender dan orientasi seksual,” kata Echa.

Merespon Krisis Lingkungan dan Menegakkan Keadilan

Dari ‘Karnaval Trans Super Heroes’, kita belajar memahami bahwa transpuan ‘dekat’ dengan isu krisis lingkungan. Bukan sebagai ‘sumber bencana’; malah, kelompok transpuan dan minoritas gender-seksualitas lainnya jadi pihak yang terdampak langsung oleh perubahan iklim.

Kepedulian terhadap lingkungan mestinya muncul dalam diri setiap orang. Echa menyebut, ketimbang mendiskriminasi atas dasar kebencian, sebaiknya masyarakat dan kelompok minoritas saling rangkul untuk menghadapi masalah lingkungan.

“Jangan lagi menstigma satu kelompok hanya karena rasa kebencian kalian,” Echa berpesan. “Jadi mari sama-sama saling merangkul, saling menghargai satu sama lain. Kita hidup berdampingan; Indonesia indah karena keberagaman.”

Di sisi lain, kawan-kawan minoritas gender dan seksualitas bisa berkampanye untuk isu lingkungan dan HAM lewat apa saja. Mulai dari media sosial hingga pagelaran teater dan pameran busana, seperti yang dilakukan Sanggar Seroja.

Echa berharap kelompok minoritas tidak takut dan mampu bangkit melawan ketidakadilan. Sebab, transpuan dan kelompok minoritas gender-seksualitas juga bagian dari warga negara Indonesia.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!