Sepotong video viral menyorot waria yang mengamen di area Kalasan, Sleman, beberapa waktu lalu. Divideokan oleh pengguna jalan, Ia itu tampak menyampaikan salam untuk seseorang bernama “Mas Topik”.
Video itu pun, menjadi “ejekan” di lingkar pertemanan pembuat video itu. Ditujukan untuk menggoda teman bernama “Mas topik”. Hingga kemudian, video itu banyak dibagikan ke media sosial dan menjadi hiburan tersendiri bagi warganet.
Saya mengenal waria yang ada dalam video itu. Dia adalah Kak LW yang biasa mengamen untuk bisa tetap bertahan hidup (survive) di Yogyakarta, Jawa Tengah. Lebih dari sekadar “olok-olok” menyoal gender dan seksualitasnya, sosok Kak LW yang kutau adalah seorang aktivis kemanusiaan. Dia salah satu staf organisasi waria yang terbilang besar di Yogyakarta.
Usai viral, saya sempat menanyakan tanggapannya soal videonya itu. Dia tak menjadikan beban. Malahan, keviralan video itu Ia syukuri sebagai “pembuka jalan rezeki”.
“Bersyukur mas, sekarang jadi banyak pengguna jalan yang pengen diucapin serupa. Lumayan pada ngasihnya (uang),” jawab Kak LW yang patut diapresiasi. Di tengah stereotip yang dilekatkan pada identitas gender dan seksualitasnya.
Waria Bisa Apa? Bikin Sekolah Inklusi!
Uniknya, lokasi pertemuan saya dan Kak LW bertepatan di sebuah acara penutupan rangkaian kegiatan yang bertajuk SmarTranschool yang diinisiasi oleh Yayasan Kebaya. Sebuah acara meriah dengan panggung utama yang dijadikan sebagai ajang untuk unjuk kebolehan dari para peserta waria.
Dengan puncaknya berupa pemilihan peragaan bakat dan busana terbaik yang dikemas layaknya ajang “Miss Universe”. Tapi apakah acara yang sebagian besar pesertanya waria ini hanya berupa kegiatan panggung ini saja? Tentu tidak, acara panggung ini hanyalah malam penutupan dari rangkaian kegiatan belajar yang berlangsung selama tujuh hari.
SmarTranshool ini adalah sebuah mini sekolah yang dikelola oleh Yayasan Kebaya. Berlangsung selama tujuh hari, belasan murid menjalani hari-harinya dengan berbagai macam materi. Bukan, bukan materi bagaimana cara mengamen atau bagaimana cara merias wajah. Lebih dari itu, materi yang dimaksud di sini adalah tentang konsep penerimaan diri, dasar-dasar feminisme, keberagaman gender dan seksual, sejarah seni dan budaya transgender, spiritualitas queer, kesehatan seksual dan reproduksi, serta Sexual Orientation, Gender Identity, Gender Expression, & Sex Characteristics (SOGIESC).
Selain itu ada pula materi-materi yang lebih umum seperti, hukum dan politik untuk kelompok rentan, media dan jurnalisme warga, serta public speaking. Kesemua materi tersebut disampaikan oleh para pakar yang ahli di bidang tersebut, mulai dari aktivis, dosen, dokter, seniman, pemuka agama, dan pakar-pakar lain. Sungguh materi-materi yang sangat berbobot.
Baca Juga: Buku Santri Waria’: Patahkan Stigma Kurang Taat Agama
Lalu apa tujuan dari kegiatan ini? Tujuan paling utama adalah menampik stigma masyarakat akan posisi waria itu sendiri. Selama ini mereka masih menjadi kelompok marginal yang kerap dipandang remeh oleh masyarakat umum. Stigma sebagai manusia yang tidak jelas orientasi seksualnya sampai pada keidentikan dengan pekerjaan-pekerjaan malam. Lumrah, hanya saja masih belum banyak yang tahu bahwa kerja-kerja mereka ini jauh melebihi yang selama ini kita stigmakan.
Yayasan Kebaya, LSM waria senior di Jogja ini selama ini kerap memperjuangkan dan mengadvokasi kelompok-kelompok marginal yang bahkan non-waria. Untuk mendapatkan kartu kependudukan misalnya, sehingga nantinya yang bersangkutan bisa mengakses bantuan ataupun layanan kesehatan pemerintah. Ataupun membuat shelter penampungan bagi waria-waria lansia yang sudah tidak mampu bekerja dan tidak memiliki rumah untuk pulang. Bukan rahasia lagi kalau mereka para waria ini pada masa tuanya ditolak bukan hanya oleh keluarganya, tapi juga masyarakat sekitar dari rumah asal yang seharusnya menjadi tempat mereka pulang.
Hanya saja memang waria-waria yang bergerak di sisi aktivisme ini secara jumlah masih sangat sedikit dibandingkan jumlah waria yang bermukim di area Jogja dan sekitarnya. Maka melalui SmarTranschool ini, mereka berupaya untuk menghadirkan agen-agen aktivisme dari kalangan waria. Pembekalan dalam bentuk materi-materi di atas menjadi sangat diperlukan, mengingat tema-tema itulah yang kelak mereka jumpai di lapangan. Agak berat memang, karena tidak semua peserta memiliki dasar pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni.
Baca Juga: Hari Paling Buruk Dalam Hidup Ratu Waria: Media yang Sensasional telah Hancurkan Hidupku
Tapi menurut Mami Tata, salah satu waria senior sekaligus panitia acara, mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan yang signifikan dari para waria peserta sekolah inklusi ini. Di hari-hari terakhir sekolah dia mengungkapkan bahwa hampir semua peserta sudah mampu untuk mengimajinasikan akan penerapan materi-materi kelas ketika akan dibawa ke kehidupan sehari-hari. Mereka bisa mengadvokasi teman-teman warianya yang lain untuk peduli akan kesehatan reproduksi ketika bekerja, ataupun bagaimana memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Sungguh, sebuah upaya terpuji di tengah keterbatasan mereka. Mungkin dengan melihat lebih jauh dinamika kehidupan mereka, sedikit banyak akan mengubah sudut pandang kita. Terutama ketika melihat waria-waria mengamen di area Kalasan seperti cerita di awal, tidak lagi memandang mereka sebagai individu nokturnal semata. Karena sebagian dari mereka nyatanya sedang mencoba mencari rezeki halal semampu yang mereka bisa. Sebagian lagi mengamen hanyalah “kedok” dari aktivitas harian mereka yang sebenarnya adalah pejuang kemanusiaan.
Editor: Nurul Nur Azizah