Buku 'Santri Waria' karya Masthuriyah Sa'dan. (Sumber foto: Neswa.id)

Buku Santri Waria’: Patahkan Stigma Waria yang Kurang Taat Agama

Dari buku ‘Santri Waria’ kita menjadi tahu bahwa selama ini masyarakat masih saja menghalang-halangi urusan spiritual para waria dengan Tuhan nya.

Banyak yang bilang, menjadi waria adalah sebuah pilihan. Tak sedikit juga yang bilang, dunia waria hanya berputar pada kehidupan jalanan dan menjadi pekerja seks. 

Banyak lagi yang bilang, waria adalah mereka yang tidak taat agama dan lupa terhadap Tuhan. Dalam buku ‘Santri Waria’, justru kamu akan menemukan kebalikan dari stigma-stigma buruk itu.

Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali kita hidup dalam belenggu standar keinginan orang lain, hal ini seperti perempuan harus tampil anggun dan laki-laki harus mendominasi, itulah contoh kecil yang masyarakat memaksa orang-orang mengikuti standar atau konstruk yang telah mereka buat. Apabila standar tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, tidak jarang masyarakat justru mencemooh orang-orang yang tidak mengikuti standar mereka.

Lalu, bagaimana dengan teman-teman kita yang waria atau transpuan? 

Baca Juga: Hari Paling Buruk Dalam Hidup Ratu Waria: Media yang Sensasional telah Hancurkan Hidupku

Dalam buku ‘Santri Waria’, yang ditulis oleh Masthuriyah Sa’dan, salah satu waria menjelaskan bahwa menjadi waria bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau dipaksakan, justru menjadi waria adalah salah satu bawaan atau ciptaan dari Tuhan yang telah dititipkan. Kendati, dalam kehidupan bermasyarakat pun masih belum menerima hal ini, banyak dari mereka mengucilkan dan melakukan upaya-upaya untuk “menyembuhkan” atau “mengembalikan jati diri” mereka menjadi laki-laki seutuhnya. 

Buku 'Santri Waria' karya Masthuriyah Sa'dan. (Sumber foto: Neswa.id)
Buku ‘Santri Waria’ karya Masthuriyah Sa’dan. (Sumber foto: Neswa.id)

Tidak segan-segan dari mereka dipaksa untuk memiliki hubungan romansa dengan perempuan, dipaksa menonton film dewasa heteroseksual, dan diruqyah. Tentu saja paksaan ini dilakukan agar para waria diharapkan “kembali” menjadi laki-laki seutuhnya.

Menjadi waria tentunya tidak mudah, banyak kekerasan yang diterima, baik kekerasan seksual maupun kekerasan mental. Padahal, waria juga seperti kita, manusia yang hidup di bumi dan butuh kebutuhan dasar manusia, yaitu keamanan dalam beraktifitas. Terlebih, waria-waria seringnya terkena cancel culture akan keberagaman gender yang melekat pada dirinya. Tidak hanya dikucilkan, pun dengan para perusahaan menolak pekerja mereka yang waria. Padahal, waria juga butuh pekerjaan untuk menghidupi dirinya.

Cerita Waria: Pahit Manis Menjadi Waria 

Waria selama ini distigmakan sebagai orang yang tidak taat kepada agama sehingga memilih menjadi waria. 

Stigma buruk itu mudah sekali dipatahkan dalam buku ‘Santri Waria’. Dalam buku tersebut, mengungkap kisah adanya Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta dan kisah-kisah santri waria lainnya. 

Alkisah Maryani (seorang waria) mengikuti pengajian yang diadakan oleh KH. Hamrolie, di antara 3.000 jemaah, hanya dia yang waria. Di pengajian berikutnya, ia mengajak kawannya, Shinta Ratri untuk mengikuti pengajian. Kemudian seiring berjalannya waktu, Maryani mengajak kawanannya yang dari komunitas muslim waria Yogyakarta untuk mengikuti pengajian tersebut.

Setelah lima kali para waria mengikuti pengajian, KH. Hamrolie mengusulkan untuk membuka pengajian khusus waria, dengan jadwal kegiatan salah, membaca Al-Quran, dan doa bersama. Hal itu tentu saja disetujui dengan baik oleh Maryani, sebab selama ini waria belum mendapatkan ruang yang adil dalam urusan spiritualitas mereka sebagai umat yang beragama. Selain itu, mereka juga menginginkan ruang aman dari keterkucilkannya mereka dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu, pesantren waria diharapkan dapat menjadi tempat pulang para waria-waria yang telah bekerja seharian penuh.

Singkat cerita, pesantren santri waria berdiri, meski tidak mendapatkan pendanaan dari negara sebab negara masih tidak mau mengakui keberadaan waria di Indonesia. Padahal, tujuan berdirinya pesantren waria ini baik, yaitu memberikan tempat mengadu kepada Allah dan saling sharing ilmu di dalamnya. Terlebih, adanya tempat ladang pahala justru salah satu kebutuhan rohani manusia. Oleh sebab itu, seluruh kegiatan di pesantren waria sepenuhnya didanai oleh pimpinan pesantren, yaitu Maryani, hasil uang dari salon kecantikan dan tata rias pribadi.

Baca Juga: The Portrait Of Waria Religious: They Are Not Immoral 

Hari-hari menimba pahala di pesantren waria tidak semulus yang diharapkan. Terdapat beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam justru menggerebek dan memaksa untuk menghentikan kegiatan di pesantren waria. Tidak hanya itu, mereka tidak segan-segan mengundang para waria ke dalam sidang forum mereka untuk menghentikan kegiatan di pesantren. Meski pernah tutup beberapa tahun, tetapi pesantren waria tersebut bangkit kembali, dan mengumpulkan kembali keping-keping semangat ibadah para waria.

Dari buku ‘Santri Waria’ ini kita menjadi tahu bahwa justru masyarakat masih saja menghalang-halangi urusan spiritual para waria dengan Tuhan dengan dalih mereka “sakit” dan berbeda dengan laki-laki pada umumnya. Dalam cerita-cerita para waria dalam buku ‘Santri Waria’, mereka sangat menegaskan bahwa dosa-pahala adalah urusan mereka dengan Allah. Manusia seharusnya tidak banyak sok tahu dengan urusan seperti itu.

Setiap Waria Punya Cerita

Di setiap lembar halaman, para pembaca akan disuguhkan perjuangan mereka terhadap dunia. Setiap dari mereka punya cerita dan punya kisah pahit-manisnya sendiri. 

Seperti cerita Inul seorang Muadzin, Arum pemilik usaha kain Shibori, Shinta yang seorang keturunan darah biru memiliki usaha tembaga dan sangat percaya akan mukjizat Al-Quran. Banyak sekali cerita waria yang dikisahkan dalam buku ‘Santri Waria’ ini. Sebagian besar dari mereka pernah merasakan pengamen jalanan, dan segelintir dari mereka melakukan kegiatan tersebut sebagai tanda perlawanan terhadap negara, bahwa negara masih saja abai dengan eksistensi waria.

Hal ini didasari karena sulitnya waria mendapatkan pekerjaan sebab identitas gender yang melekat pada mereka. Kejadian ini pernah dialami oleh Sofia, waria termuda di antara lainnya, ia dipecat secara halus oleh bosnya ketika ia jujur sebagai waria. Oleh sebab itu, menjadi pengamen adalah opsi terakhir untuk dijadikan profesi para waria dalam mencari uang. 

Selain itu, menjadi pekerja seks juga merupakan pekerjaan populer di kalangan waria, sebab kadang persyaratannya cukup simpel dan tidak begitu membutuhkan pengalaman dalam bekerja. Mereka juga bercerita bahwa pelanggan dari mereka mulai dari anak SMA, mahasiswa, tukang becak, polisi, tentara, hingga pejabat negara. Tarif yang dikeluarkan untuk para pekerja seks waria beragam. Jika pelanggan memiliki perekonomian menengah ke bawah, akan di tarif Rp100.000-Rp200.000, tetapi jika berasal dari kalangan menengah ke atas, dikenakan tarif normal. Semua itu mereka lakukan demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk kelangsungan hidup mereka.

Baca Juga: Bagaimana Rasanya Menjadi Waria yang Juga Seorang Ayah? Belajar Dari ‘Lovely Man’

Kendati demikian, masih banyak waria yang berprofesi di luar dari hal tersebut, seperti Marimas yang menjadi ketua RT hingga banyak yang menjadi pengusaha salon dan tata rias wajah. 

Tindakan mereka yang sederhana namun tidak semua orang bisa adalah selalu menyisihkan sebagian uang mereka untuk bersedekah. Menurut mereka, rezeki yang didapatkan merupakan titipan Allah dan perlu dibagi kepada yang membutuhkan. Uang-uang mereka juga disumbangkan untuk pembangunan berkelanjutan pesantren waria.

Sepanjang membaca buku ‘Santri Waria’, saya tidak bisa berhenti meringis sebab hati teriris. Sebab, bagaimana bisa sesama manusia melakukan tindakan jahat karena adanya perbedaan gender? 

Setelah membaca buku ini, ternyata masyarakat masih memberikan stigma buruk kepada waria dan tetap buta terhadap kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan. 

Ini, semakin mem-boost iman dan memotivasi untuk terus melakukan kebaikan dan tidak lalai terhadap kewajiban. Selamat membaca!

(Foto: Neswa.id)

Aqeela Ara

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang kini magang sebagai reporter di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!