Hari Paling Buruk Dalam Hidup Ratu Waria: Media yang Sensasional telah Hancurkan Hidupku

Ratu Alexa tak pernah menyangka, jika satu hari yang paling buruk, bisa mengubah hidupnya.

Ratu Alexa, ini sapaan yang begitu menegaskan pribadinya. Waktu itu ia sedang mencoba peruntungan di ajang pemilihan Ratu Waria Sulawesi Utara (Sulut) yang diadakan di Hotel Sahid Kawanua, Manado.  

Ia tak pernah menyangka jika di ajang itu ia kemudian bisa mewakili teman-teman transperempuan, dan terpilih sebagai Ratu Waria Sulut periode 2016-2018.

Alexa merasa sangat bangga dengan prestasi yang ia raih, karena dia bisa mewakili suara teman-temannya, transperempuan Sulawesi Utara. Ini adalah saat yang ditunggunya.

Namun dia tidak pernah menyangka, pada babak baru kehidupannya setelah itu, ternyata ia harus berhadapan dengan kejadian yang menyakitkan. Prestasi yang diraihnya dan apa yang terjadi pada hidupnya selanjutnya,  justru membuat dirinya mengalami diskriminasi oleh media massa dan masyarakat. Ia seperti terjerembab ke belakang.

Kejadian itu terjadi pada malam di pertengahan bulan Maret 2019. Alexa bertemu dengan teman-temannya sembari menghabiskan kepenatan dari aktivitasnya setiap hari. Mereka bertemu di salah satu hotel yang ada di Manado.

“Waktu itu, kita nginap  di situ dengan rombongan tamang cewek-cowok. 23 Maret 2019,” kata Alexa, 13 Agustus 2022.

Kebiasaan anak muda Manado di saat kumpul dengan teman-teman, akan ada ‘ritual’ minum minuman keras (miras). Waktu itu Alexa tergiur untuk minum selama tiga hari berturut- turut dengan teman-temannya di hotel.

Baca Juga: Bagaimana Rasanya Menjadi Waria yang Juga Seorang Ayah? Belajar Dari ‘Lovely Man’

Kenikmatan malam itu pun membuat ia sampai ingin mencoba obat yang tidak dianjurkan untuk diminum lebih dari dosis yang sudah ditentukan. Akhirnya dia pun mabuk dengan teman-temannya, walau ia sempat sadar sebentar dari mabuknya.

Hari pun berganti dan sudah masuk di hari ke tiga, tanggal 25 Maret 2019. Alexa lanjut minum dengan teman-temannya. Karena saat itu ada seseorang yang baru datang dari luar Manado yang diajak oleh teman perempuannya, maka mereka berlanjut untuk ngobrol. Dan ternyata, orang itu ini baru juga dikenal oleh teman perempuan Alexa.

Ketika duduk bersama, Alexa sudah merasa bahwa dirinya seperti lebih mencolok dari teman-temannya yang lain. Perhiasan emas lengkap dengan kalung, tiga buah cincin, gelang, dan anting, yang menempel di tubuhnya membuat ia benar-benar terlihat beda. Ia pun merasa kaku, namun tidak ada di benaknya akan ada kejadian aneh yang akan menimpanya setelah itu. Ia diberikan minuman yang membuatnya tak sadar apa yang dilakukan.

“Waktu itu kita dijebak, ada yang kasih minum obat yang bekeng ilang kesadaran. Orang yang kita pe tamang ada bawa dari luar Manado, yang baru dorang kenal ternyata sengaja dorang taru obat yang bekeng ilang kesadaran vor ambe kita pe barang emas yang kita pake waktu itu. Alhasil, ilang samua HP, dompet, dengan barang mas samua,” tutur Alexa menceritakan kejadiaan naas itu.

Di saat ia minum minuman keras, saat itu juga dia sudah mulai hilang kesadaran. Teman-temannya di hotel menceritakan sesudah kejadian itu. Alexa tampak berjalan keluar hotel tanpa diketahui   oleh teman-temannya. Kejadian buruk pun terjadi.

Hari yang Buruk Terjadi

Pagi itu pusat kota Manado masih belum terlihat ramai oleh kendaraan dan aktivitas masyarakat. Hanya ada beberapa orang yang sedang berolahraga pagi dan karyawan-karyawan yang hendak pergi bekerja.

Kehilangan kesadaran di malam itu, telah membuat Ratu Alexa viral di media sosial. Ia terekam dalam video sedang berjalan tanpa menggunakan busana dari pinggul ke bawah, di area kawasan jembatan Mantos. Area umum yang terkenal padat dan banyak dilalui oleh kendaraan. Daerah itu juga dipenuhi warung-warung kecil masyarakat yang berjualan makanan yang ramai di samping jembatan tersebut. Ada banyak orang yang melihat Alexa.

Kejadian itu menyita perhatian banyak masyarakat. Tak sedikit yang langsung menggunakan handphone untuk melakukan live streaming Facebook, merekam video, membagikan dan memfoto setiap pergerakan yang dilakukan oleh Alexa. Jagad maya langsung ramai, media  mainstream turut memberitakan kejadian itu secara bombastis.

“Waktu itu kita so nda tau samua, hilang kesadaran. Nanti sadar so di RS Ratumbuysang Manado selama tiga hari,” tutur Alexa.

Baca Juga: Lihat, Potret Jalan Terjal Religius Waria: Mereka Bukan Orang yang Menyimpang Moral

Ia merasa mungkin saat itu ia sudah meresahkan dan merugikan banyak orang, karena telah membuat kegaduhan hingga dilaporkan ke aparat kepolisian.

“Kita dilaporkan ke kantor polisi, tetapi di saat di kantor polisi kita bukan diinterogasi tetapi diamankan waktu itu. Di dalam kantor polisi itu, kalo orang-orang yang antar pa kita waktu itu bilang mungkin ada diskriminasi melalui fisik, psikis. Itu yang kita terima waktu itu, cuman kita dalam keadaan yang tidak sadar makanya kita nda tau. Tu da bilang cuman orang-orang yang di sekeliling pa kita waktu itu. Apalagi waktu itu polisi sempat katanya ada ba pukul. Itu cuman kita pe teman-teman yang tau yang ada bilang-bilang pa kita,” jelasnya.

Kejadian itu membuat Alexa yang tengah bekerja di salah satu LSM di Sulawesi Utara, mengalami kerugian, dari segi material maupun psikologis. Alexa bahkan dikeluarkan dari pekerjaan.

“Kita waktu itu sempat dikeluarkan dari pekerjaan, kita pe keluarga sempat tau waktu kejadian itu karena viral. Dengan mungkin ada diskriminasi atau stigma dari teman-teman dan media sosial, apakah ada yang pro dan kontra waktu itu,” keluh Alexa.

Bekerja sebagai Make up Artis, Trauma pada Media

Alexa kemudian bekerja sebagai freelance make-up artist (MUA). Pekerjaan baru yang mencoba ditekuninya.

Kejadian ini sangat membuatnya trauma karena sensasionalisme yang terjadi di media sosial dan media atas tubuhnya, dan disebarkan secara meluas. Ia trauma pada media.

“Teman-teman jurnalis, pintar-pintarlah untuk memberitakan. Jangan menilai teman-teman LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, dan Queer) itu hanya dari luarnya saja. Mungkin kita tidak mengetahui bahwa teman-teman transpuan atau teman- teman LGBTIQ mempunyai skill atau kelebihan khusus. Jadi untuk menekan hal tersebut, mungkin saya sebagai transpuan juga ingin menuntut hak kesetaraan kita dan perjuangan kesetaraan teman-teman LGBTIQ,” tegas Alexa melalui telepon WhatsApp.

Media massa memang merupakan salah satu wadah informasi buat masyarakat di Indonesia, termasuk masyarakat Sulawesi Utara, khususnya di Manado. Selain mudah dan gampang untuk diakses, media online kini sangat gampang untuk menemukan informasi-informasi yang beredar.

Baca Juga: 4+1 Alasan Mengapa Penting Lindungi Transpuan: Mereka Bukan Virus

Salah satu aktivis LGBTIQ di Manado yang biasa dipanggil Marcello menegaskan, “Media saat ini terlalu jahat terhadap teman-teman komunitas LGBTIQ, terutama teman-teman transpuan.”

Marcello geram dengan media-media yang selalu membuat judul dan menulis berita yang mengangkat tentang orientasi seksual kelompok transpuan, sehingga itu menjadi bahan bullying masyarakat terhadap para transperempuan.

“Kasus kemarin bulan Oktober 2021, salah satu media mengambil video amatir yang diambil oleh oknum di Dinas Perhubungan Kota Manado, kemudian diberitakan dan itu menjadi bahan olok-olokan masyarakat kota Manado. Dari situ kita bisa melihat begitu kejam media terhadap kelompok-kelompok minoritas SOGIESC (Sexual, Orientation, Gender, Identity, Expression, Sex Characteristic) yang ada di Sulawesi Utara,” ketus Marcello.

Ia berpandangan bahwa sudah dari zaman ‘baheula’ (zaman dahulu) media mendiskriminasikan kelompok minoritas SOGIESC yang tertindas, khususnya transperempuan.“

Data yang kemarin kami kumpul terkait diskriminasi media terhadap kelompok-kelompok minoritas SOGIESC yang tertindas, tahun 2016 ada beberapa teman transperempuan dirazia di hotspot, dan dimuat oleh satu media. Di situ orientasi seksual yang diangkat, ekspresi gender juga yang diangkat. Terus di tahun yang sama, ada beberapa pemuda yang dirazia karena miras dan di beberapa pemuda itu ada juga teman- teman transperempuan. Media kemudian mendiskriminasi terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender teman-teman,” terang Marcello.

Dari sini ia semakin yakin, banyak media yang tidak berkualitas. Dalam arti membuat suatu berita yang menurut Marcello tidak ada kaitan sama skali dengan kejadian.

Baca Juga: Dipanggil ‘Kak’ atau ‘Mbak’? Bagaimana Sebaiknya Kita Memanggil Transpuan

Ratu Alexa merupakan teman seperjuangan Marcello dalam Sanubari Sulawesi Utara (Salut), organisasi yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender dan seksualitas kelompok-kelompok LGBTIQ. Ketika video sahabatnya viral,  Marcello tidak tinggal diam. Saat itu ia  menjabat sebagai Divisi Advokasi dalam Salut. Ia pun langsung mengarahkan teman-teman komunitas untuk menginisiasi kerja mereport video-video yang viral saat itu.

“Kami kerja gercep (gerak cepat). Cuma beberapa jam, untuk setiap postingan-postingan yang dibagikan oleh akun-akun media sosial yang ada, kami laporkan. Ada beberapa channel youtube yang mengadopsi juga video itu dan kami meminta pakar media sosial, kebetulan saat itu dari Arus Pelangi, dan mereka membantu mereport channel youtube tersebut,” terang Marcello.

Image kelompok-kelompok LGBTIQ, terutama teman-temannya yang transpuan sudah sangat buruk di mata masyarakat karena sejumlah pemberitaan media yang memojokan para transpuan.

Bagi Marcello, ‘digital security system’ itu sangat penting. Dalam arti mengantisipasi ataupun menghindar dari media-media yang mungkin bisa saja menyerang ataupun bisa menjadi musuh bebuyutan kelompok-kelompok minoritas SOGIESC yang tertindas. Salah satu tindakan juga dari organisasi Salut, membuat media briefing bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

“Kebetulan media briefing itu salah satu cara advokasi untuk kelompok LGBTIQ. Kita meminta media untuk membuat ataupun memberitakan pemberitaan-pemberitaan terkait teman-teman LGBTIQ dengan kata-kata yang soft. Dalam arti sebagaimana layaknya kami manusia yang patut dihargai, begitu juga media harus menghargai kami sebagai manusia di saat mereka memberitakan hal-hal terkait teman-teman LGBTIQ. Entah LGBTIQ menjadi korban ataupun menjadi pelaku, itu tidak baik untuk diberitakan dengan kata-kata yang dalam arti kata-kata yang bisa memojokkan kelompok-kelompok tertentu. Ataupun kata- kata yang bisa membangun opini-opini negatif terhadap masyarakat untuk membenci kelompok-kelompok LGBTIQ tersebut,” tutur Marcello.

Baca Juga: ‘Endulita, Cucok Meyong’: Kemunculan Gerakan Transpuan Lewat Bahasa dan Komunitas

Aktivis kemanusiaan ini pun memberikan pesan kepada media, “Jadilah media yang ramah dengan semua masyarakat, tanpa melihat orientasi seksual, identitas gender seseorang ataupun ekspresi gender seseorang. Kalau media membuat suatu berita terkait teman-teman LGBTIQ, carilah narasumber yang tepat. Narasumber yang memang dari kelompok tersebut. Jangan membuat berita bukan dari narasumber yang bukan kelompok LGBTIQ.”

“Mudah-mudahan ke depannya media bisa menjadi kawan kami, karena banyak kok teman-teman LGBTIQ juga yang smart dan punya karya positif yang layak diberitakan. Banyak yang sudah berkapasitas dan bisa menjadi narasumber atau pun menjadi vokal point buat teman-teman LGBTIQ di saat media akan mengakses informasi ataupun akan membuat satu berita terkait teman-teman LGBTIQ,” tutur Marcello.

Ada pesan dari Marcello, jadilah manusia yang berguna untuk banyak orang. Mau gay, biseksual, lesbian, transgender, intersex, entah kita mau jadi queer, setiap manusia layak untuk berbuat baik bagi orang lain. Menolong orang itu tidak mengurangi suatu harta di diri sendiri.

Kalimat terakhir yang terdengar dari Marcello dibalik telepon genggam, “Jadilah orang yang smart, bisa kelola pola pikir kita untuk kedepannya. Berani bersuara demi kebaikan banyak orang. Banyak teman komunitas di kota Manado sebenarnya sudah sangat-sangat hebat, tapi teman-teman takut untuk bersuara. Saya salah satu transpuan yang sering mendorong teman-teman untuk ‘came on’, sama-sama kita bersuara bagi orang yang tidak mendengar di luar sana. Bersuara demi hak-hak kita yang selama ini kami belum dapatkan semuanya.”

(Tulisan ini merupakan kerjasama Qbukatabu dan Konde.co dalam projek komunitas menulis)

Shevia Salsabila Hutagalung

Aktif berkegiatan di AKSARA
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!