Statue of Peace atau patung Comfort Women di Korea Selatan (sumber foto: Namuwiki)

Tindak Pelecehan Youtuber Johnny Somali Terhadap Patung ‘Comfort Women’: Pentingnya Memahami Sejarah

Youtuber Johnny Somali membuat ulah dengan melecehkan patung “comfort women” di Korea Selatan. Bagi para perempuan terutama di negara-negara bekas jajahan imperialis Jepang, patung ini simbol perjuangan HAM. Tak pelak aksinya mengundang protes warganet Korea dan dunia.

Beberapa waktu lalu seorang Youtuber asal Amerika Serikat, Johnny Somali membuat ulah saat berkunjung ke Korea Selatan (Korsel). Ini bukan aksinya yang pertama, sebelumnya ia juga melakukan sejumlah tindakan kontroversial saat berkunjung ke Jepang dan Israel.

Salah satu tindakannya yang memicu kemarahan warganet Korea Selatan adalah mengunggah foto di akun instagramnya saat dirinya sedang mencium sosok patung perdamaian di Distrik Itaewon.

Patung yang dikenal sebagai Statue of Peace atau sering disebut patung Comfort Women” ini punya nilai sejarah bagi warga Korsel. Berdiri di tengah hiruk pikuk Kota Seoul, Korea Selatan, patung ini tak hanya menjadi monumen seni, tetapi juga simbol perjuangan hak asasi manusia dan keadilan sejarah.

Ia dibangun untuk mengenang para perempuan yang menjadi korban perbudakan seksual oleh tentara imperialis Jepang selama Perang Dunia II. Singkatnya patung ini melambangkan keberanian, luka, dan keteguhan hati yang tak pernah pudar. Karena itu tak heran kalau tindakan Johnny Somali mengundang kemarahan warga Korea Selatan dan internasional.

Patung “Comfort Women”: Simbol Luka dan Perjuangan

Patung “comfort women” pertama kali diresmikan pada tahun 2011 di depan Kedutaan Besar Jepang di Seoul. Kehadirannya bukan hanya sebagai pengingat sejarah kelam yang dialami perempuan Korea dan negara-negara Asia lainnya, tetapi juga sebagai bentuk protes terhadap kegagalan Jepang dalam memberikan pengakuan dan permintaan maaf yang tulus.

Patung ini telah menjadi pusat perhatian dunia sebagai simbol perjuangan melawan kekerasan berbasis gender dan eksploitasi seksual. Di berbagai negara, replika patung serupa telah didirikan, menunjukkan solidaritas internasional terhadap isu ini.

Namun, patung ini juga sering kali menjadi sumber ketegangan diplomatik antara Korea Selatan dan Jepang. Upaya Jepang untuk memindahkan patung ini sering kali ditolak oleh masyarakat dan aktivis Korea yang menganggapnya sebagai simbol hak asasi manusia dan penolakan terhadap penindasan. Meskipun kesepakatan telah dicapai pada 2015 untuk menyelesaikan masalah ini, banyak korban dan pendukung mereka merasa kompensasi tersebut tidak cukup tanpa pengakuan moral yang mendalam, sehingga patung ini tetap menjadi pusat kontroversi dan protes global.

Baca Juga: Tren Gyaru, Saat Perempuan di Jepang Mendobrak Standar Kecantikan 

Ketegangan ini berimbas pada hubungan ekonomi dan politik antara Jepang dan Korea Selatan. Dalam beberapa kesempatan, perselisihan terkait isu “comfort women” menyebabkan terganggunya kerja sama perdagangan dan keamanan. Salah satu puncaknya adalah ketika Korea Selatan menarik diri dari pakta intelijen dengan Jepang pada 2019 sebagai bentuk protes.

Meski kedua negara berbagi kepentingan strategis, terutama menghadapi ancaman dari Korea Utara, isu patung “comfort women” terus menjadi duri dalam hubungan mereka. Tak hanya itu, ketegangan pun juga meluas ke berbagai negara yang juga mendirikan replika patung sebagai simbol dukungan terhadap hak asasi manusia.

Di Amerika Serikat, misalnya, komunitas Korea berhasil membangun patung di Glendale, California. Hal ini memicu protes dari komunitas Jepang-Amerika dan upaya hukum dari kelompok pro-Jepang untuk menurunkan patung tersebut. Namun, pengadilan memutuskan bahwa patung tersebut adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Di Jerman, pembangunan patung di Berlin juga menimbulkan ketegangan. Jepang meminta agar patung tersebut dipindahkan, tetapi masyarakat lokal dan aktivis menolak. Mereka berpendapat bahwa patung tersebut memiliki makna universal sebagai pengingat atas pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia, bukan hanya isu bilateral antara Korea dan Jepang.

Baca Juga: Cerita ‘Penyendiri Ekstrem’ di Jepang, Perempuan Luput Diperhatikan

Hal ini memperlihatkan bahwa penyelesaian persoalan historis tidak hanya memerlukan tindakan hukum dan ekonomi. Akan tetapi juga pengakuan emosional dan moral yang tulus untuk menciptakan rekonsiliasi sejati secara emosional dan pengakuan penuh atas tanggung jawab moral di masa depan.

Patung ini menampilkan seorang gadis muda yang duduk dengan ekspresi tenang, mengenakan pakaian tradisional Korea. Namun, menurut beberapa sumber literasi, dapat dikatakan setiap elemen patung memiliki makna mendalam. Wajah polos gadis melambangkan ketidakbersalahan para korban yang mengalami tragedi kemanusiaan. Bangku kosong di sebelahnya mewakili korban yang telah meninggal sebelum mendapatkan keadilan. Burung kecil di bahu gadis melambangkan kebebasan yang didambakan oleh para korban yang telah lama dibungkam. Dan bayangan patung yang tampak dewasa menggambarkan kehilangan masa kecil dan trauma panjang yang membayangi hidup mereka.

Kasus Johnny Somali: Pelecehan Terhadap Simbol Sejarah
Johnny Somali
Johnny Somali

Di tengah makna mendalam yang terkandung dalam patung “comfort women”, muncul tindakan tidak pantas yang dilakukan oleh Johnny Somali. Ia dikenal karena kontennya yang sering memicu kontroversi. Johnny Somali memiliki reputasi sebagai pembuat konten provokatif yang kerap menghina budaya dan sejarah negara yang dikunjunginya.

Dalam salah satu siaran langsungnya di Korea Selatan, Johnny Somali diduga memperlakukan patung “comfort women” dengan cara yang dianggap merendahkan dan tidak menghormati makna simboliknya. Tindakan ini segera memicu kemarahan publik, terutama karena patung tersebut memiliki nilai emosional yang mendalam bagi warga Korea dan aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia.

Insiden ini memperkuat citra negatif Johnny Somali, yang sebelumnya juga dikenal melakukan tindakan merendahkan di Jepang. Dalam beberapa kesempatan, ia terekam menghina warga lokal, mengolok-olok bahasa dan budaya, serta membuat konten yang mengandung unsur rasisme.

Baca Juga: Seiko Hashimoto, Terobosan Baru di Jepang Perempuan Jadi Ketua Olimpiade

Tindakan Johnny Somali di sekitar patung “comfort women” memicu kemarahan luas, baik di Korea maupun komunitas internasional. Media sosial dipenuhi dengan kecaman terhadap tindakannya, sementara aktivis dan kelompok hak asasi manusia menyerukan hukuman tegas atas pelecehan simbol sejarah ini. Warga Korea, yang masih merasakan luka sejarah terkait eksploitasi perempuan pada masa perang, melihat insiden ini sebagai pengulangan penghinaan terhadap martabat korban. Banyak yang menilai bahwa tindakan tersebut tidak hanya merendahkan simbol nasional, tetapi juga memperkuat stigma terhadap perempuan korban kekerasan seksual di seluruh dunia.

Protes juga muncul di luar Korea, dengan banyak komunitas internasional yang mendesak platform media sosial untuk menindak tegas konten-konten yang merendahkan budaya dan hak asasi manusia. Tuntutan agar Johnny Somali dilarang memasuki Korea Selatan dan negara lain juga mulai muncul sebagai bentuk penolakan terhadap perilaku tidak pantas tersebut.

Refleksi Bersama, Mengapa Patung Ini Harus Dihormati?

Patung “comfort women” bukan sekadar monumen, melainkan simbol keberanian dan ketekunan para korban dalam memperjuangkan keadilan. Mereka yang menjadi korban perbudakan seksual oleh militer imperialis Jepang mengalami penderitaan fisik dan mental yang mendalam. Mereka bahkan menghadapi stigma sosial yang menyulitkan kehidupan mereka setelah perang. Simbol ini juga menjadi pengingat bahwa sejarah kelam seperti ini tidak boleh terulang. Lebih dari sekadar mengenang masa lalu, patung ini menyerukan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pencegahan kekerasan berbasis gender di masa depan.

Kasus Johnny Somali menunjukkan ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap nilai sejarah dan budaya dapat memperburuk luka yang telah lama berusaha disembuhkan. Insiden ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya edukasi dan penghormatan terhadap simbol-simbol kemanusiaan di seluruh dunia.

Baca Juga: Kasus Bunuh Diri Di Jepang Meningkat Dan Didominasi Perempuan

Patung “comfort women” di Korea Selatan berdiri tegak sebagai pengingat atas penderitaan yang dialami ribuan perempuan di masa perang. Ia sekaligus simbol perjuangan mereka dalam menuntut keadilan. Tindak pelecehan yang dilakukan Johnny Somali menunjukkan tindakan tidak sensitif. Utamanya, terhadap simbol sejarah dapat memicu kemarahan publik dan memperdalam luka kolektif yang masih dirasakan hingga hari ini.

Sebagai bagian dari masyarakat global, kita memiliki tanggung jawab untuk menghormati sejarah dan simbol-simbol yang merepresentasikan perjuangan kemanusiaan. Kasus ini menjadi pengingat bahwa pendidikan sejarah dan empati lintas budaya adalah kunci untuk mencegah tindakan serupa di masa depan.

Menghormati patung “Comfort Women” berarti menghormati hak asasi manusia dan perjuangan melawan kekerasan serta eksploitasi. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa suara para korban tetap didengar dan keadilan yang mereka perjuangkan tidak akan sia-sia. 

Editor: Anita Dhewy

(sumber foto: Namuwiki)

Stella Hita Arawinda

Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!