#KaburAjaDulu Tunjukkan Ekspresi Publik Yang Muak Pada Pemerintah

Banyak pihak yang mengkritik reaksi pemerintah dalam merespon #KaburAjaDulu. Bukannya introspeksi, pemerintah malah menyangkal atau defensif. Ada pula pejabat yang melabeli mereka yang #KaburAjaDulu sebagai orang yang tidak punya nasionalisme.

Tagar #KaburAjaDulu ramai jadi perbincangan publik. Tren ini menggambarkan suara-suara di media sosial yang sudah muak dan mengajak publik untuk meninggalkan Indonesia. 

Tagar ini jadi trending ketika banyak yang menyoroti soal kekecewaan mereka terhadap situasi ekonomi, politik, sosial, dll di Indonesia hari ini, yang nyatanya makin tidak baik-baik saja. Berbagai kebijakan serta sikap pemerintah juga dinilai tidak pro rakyat, apalagi perempuan dan kelompok marginal. 

Namun pemerintah seperti defensif merespon kritik ini. Lihat saja beberapa pernyataan defensif  pemerintah ini: 

“Kabur saja, kalau bisa jangan balik lagi” (Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan)

“Nah kalau temen-temen berpikir untuk pindah ke luar negeri, saya malah meragukan nasionalisme kalian” (Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia) 

“Kalau ada #KaburAjaDulu itu kan dia ini warga negara Indonesia apa tidak? Kalau kita ini patriotik sejati” (Menteri Agraria dan Tata Ruang, Nusron Wahid)

“Ini kan baru 100 hari, saya pikir enggak usah terburu-buru untuk bilang puas enggak puas” (Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan)

Baca Juga: Demokrasi Hari Ini, Mengapa Para Aktivis Laki-laki Bergabung di Pemerintahan Prabowo?: Wawancara Made Tony Supriatma

Aktivis perempuan dari Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika termasuk yang kecewa dengan tanggapan pemerintah atas fenomena #KaburAjaDulu itu. 

Dia menilai, pemerintah tidak peka dan tidak mampu menangkap kegelisahan dan kemarahan yang ada di publik. Pemerintah juga dinilainya sangat kurang introspeksi terhadap berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat hari ini. Terlebih, bagi perempuan. 

“Pemerintah itu gak get the point tentang #KaburAjaDulu ini,” ujar Mutiara Ika kepada Konde.co, Selasa (18/2).  

Perempuan yang akrab disapa Ika itu mengatakan, fenomena #KaburAjaDulu ini sangat wajar jika banyak disuarakan oleh masyarakat saat ini. Itu sebagai ekspresi muak atas berbagai ketimpangan ekonomi, runtuhnya demokrasi dan langgengnya dinasti, pemangkasan anggaran pada kebijakan esensial yang melanggar hak asasi manusia (HAM), hingga berbagai kekerasan berbasis gender yang masih sering terjadi. 

“Dan melihat dari situasi ini, Kita berhadapan dengan pemerintah itu yang bebal,” lanjutnya. 

Tak elak #KaburAjaDulu diharapkan bisa jadi cara bertahan hidup. Baik mencari penghidupan ataupun tempat yang lebih baik. 

“Dalam kacamata perempuan misalnya, dengan situasi wilayah yang intoleran, konservatif, itu juga seringkali melandasi perempuan juga untuk keluar dari lingkungan yang membuat dia tidak bisa berkembang,” kata dia. 

Baca Juga: ‘Sisemok, Simontok’: Stop Seksisme dalam Aplikasi Program Pemerintah

Dosen Hukum Ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum UGM, Nabiyla Risfa Izzati juga sepakat, sikap dan pernyataan negatif yang ditunjukkan pemerintah soal fenomena #KaburAjaDulu itu tidak bijaksana. Alih-alih melihat dari aspek kesempatan kerja yang sulit, pemerintah justru melabeli masyarakatnya tidak nasionalis. 

“Nggak bijaksanalah ketika belakangan pemerintah tuh sering mengeluarkan statement-statement negatif terhadap orang-orang yang berpindah ke luar negeri. Sama sekali nggak ada hubungannya sama nasionalisme. Ini tuh, soal kesempatan kerja yang memang masih kurang di indonesia,” kata Nabiyla kepada Konde.co, Selasa (18/2).  

Nabiyla juga menyoroti isu yang jarang dibicarakan soal ketenagakerjaan ini, yaitu soal diskriminasi berbasis gender termasuk perempuan. Salah satunya terkait usia kerja. 

Situasi di Indonesia yang seringnya masih menggunakan batas usia maksimal lowongan pekerjaan, menimbulkan diskriminasi dan ketimpangan bagi perempuan. Ini berkaitan dengan kerja-kerja perawatan (care work) yang seringnya jadi beban ganda perempuan. Misalnya saat perempuan menjalani jeda berkarir (career break) karena hamil, melahirkan dan mengasuh anak. 

Situasinya bakal makin sulit, jika perempuan tidak mendapatkan dukungan pengasuhan dari pasangan dan keluarga. Pun dukungan dari lingkungan kerja yang minim dan nihilnya pengaplikasian aturan ketenagakerjaan soal cuti hamil dan melahirkan. 

Belum lagi soal ketimpangan upah dan biaya hidup, akses terhadap pekerja rumah tangga (PRT) hingga daycare tidak terjangkau. Di sistem patriarki yang mengkonstruksi kerja perawatan pada perempuan, menjadikan perempuan pekerja mesti mengambil jeda bahkan melepaskan karirnya. 

Begitu perempuan sudah merasa siap untuk kembali ke dunia kerja, dia sulit bekerja kembali. Ini berkaitan dengan diskriminasi usia lowongan kerja yang membatasi. 

“Diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan merugikan semua orang, tapi yang lebih banyak dirugikan perempuan. Jadi disproportionately, lebih merugikan perempuan karena punya kecenderungan untuk ada career break ketika mereka menikah,” jelasnya. 

Baca Juga: Usiaku 40 Tahun dan Single Mother, Aku Ditolak Kerja karena Terlalu Tua

Padahal, situasi hari ini rasanya sulit untuk hidup layak dengan hanya satu sumber pemasukan pasangan keluarga. Dalam konteks DKI Jakarta misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebut butuh sekitar Rp 14 jutaan untuk bisa hidup layak. Sementara, Upah Minimum Provinsi (UMP) hanya dikisaran Rp 5 jutaan. 

“Jadi, nggak bisa menggantungkan pada satu breadwinner dalam keluarga. Tapi, ketika perempuan mau masuk kembali ke dalam dunia kerja kan, mereka kepentok oleh banyak hal gitu,” lanjut Nabyla.  

Normalisasi soal diskriminasi usia lowongan pekerjaan yang merugikan perempuan itulah, menurut Nabyla, jarang dibicarakan dari fenomena #KaburAjaDulu. Padahal, imbas dari itu, ketimpangan pekerja perempuan di sektor formal terus terjadi. Data BPS menyebut per 2024, Tenaga Kerja Formal perempuan ada di angka 36%. Jumlah yang relatif stagnan sejak tahun 2021. 

“Artinya memang penyerapan perempuan di lapangan kerja, apalagi lapangan kerja formal itu masih sangat terbatas,” ujarnya.  

Di situasi ini, kebijakan pemerintah yang diklaim pro terhadap ibu pekerja seperti pada UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) karena memberikan “tambahan” cuti melahirkan, masih problematik. Catatan kritis aktivis perempuan yang pernah ditulis Konde.co, posisi ibu diposisikan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab pada anak. Ini bisa melanggengkan konsep ibuisme. 

Baca Juga: 5 Alasan Kenapa RUU KIA Dianggap Problematik

Ketentuan dalam RUU KIA berpotensi berdampak berbeda terhadap perempuan yang akan bekerja dan semakin membakukan peran domestik perempuan. Perbedaan waktu cuti yang sangat signifikan selanjutnya, menjadi indikasi bahwa peran pengasuhan anak masih dititikberatkan hanya kepada perempuan.  

“Udah lama dari reformasi, tapi kan pada kenyataannya sebenarnya masih banyak aturan-aturan dan konstruksi sosial yang kemudian menempatkan perempuan sebagai the whole provider of care work gitu. Sementara care work sendiri tidak banyak diakui sebagai pekerjaan yang produktif. Jadi merugikan dua kali-lah bagi perempuan.”

#KaburAjaDulu Belum Banyak Menyuarakan Isu Perempuan 

Dalam riset Drone Emprit, Ismail Fahmi, melakukan analisis terhadap tren #KaburAjaDulu yang ada di X ini. Tagar #KaburAjaDulu ditemukan sebagai reaksi frustasi atas situasi di Indonesia yang dirasakan oleh warganet. 

Mereka akhirnya, banyak yang mencari informasi lowongan kerja, tips persiapan berangkat ke luar negeri (LN), termasuk risiko yang harus dipertimbangkan dan perbandingan tinggal di Indonesia vs LN. 

“Frustrasi netizen terhadap keadaan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan ekonomi, kualitas hidup yang menurun, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak memadai, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Muncullah #KaburAjaDulu,” cuit Ismail Fahmi di akun X, pada 9 Februari 2025. 

(Sumber: Drone Emprit)

Ismail Fahmi tidak menyangkal bahwa kebanyakan mereka yang ikut menyuarakan tagar #KaburAjaDulu itu adalah kalangan muda. Yaitu usianya antara 19-29 tahun sebesar 50.81%, lalu yang usia kurang dari 18 tahun 38.10%.

Ditelusuri Drone Emprit lebih lanjut, tagar #KaburAjaDulu ini adalah gerakan organik di medsos. Bukan tagar yang baru dibuat, tapi bahkan ditemukan sejak awal September 2023 namun semakin berkembang pesat belakangan ini dengan konteks, yang bisa dikatakan mengarah ke ‘frustasi kepada negara’.

Awal mula dari tagar itu ditemukan berasal dari tech bros. Ini mengarah pada sirkel laki-laki yang tertarik pada dunia teknologi, gadjet, dan seringkali bekerja di perusahaan teknologi. Kondisi itu sejalan dengan analisis tagar ini dari 1 September 2023 sampai 8 Februari 2025, yang mayoritasnya disuarakan oleh kalangan laki-laki. 

“Paling banyak dari kalangan laki-laki sebesar 59.92%, lalu perempuan 40.08%,” katanya. 

Jika ditarik benang merah, tagar #KaburAjaDulu menyuarakan seputar isu peluang kerja, pengalaman pribadi, tantangan, kesulitan hingga dukungan dan sumber daya. Lebih lanjut, berbagai rekomendasi untuk pemerintah dari ramainya tagar #KaburAjaDulu mulai dari meningkatkan kualitas pendidikan hingga partisipasi pengambilan keputusan.  

(Sumber: Drone Emprit)

Berkaitan itu, Nabiyla menyoroti bahwa isu perempuan memang minim dibahas dalam fenomena #KaburAjaDulu ini. Ini tak lepas juga karena tren ini lahir dari kalangan tech bros yang didominasi laki-laki. Padahal menurutnya, para pekerja di luar negeri (pekerja migran Indonesia/PMI) sebetulnya selama ini didominasi oleh representasi perempuan. Kebanyakan mereka bekerja di sektor perawatan. 

Keduanya sama-sama sebagai masyarakat yang berupaya mencari kehidupan lebih layak ke luar negeri. Hanya bedanya, pekerja migran sektor domestik yang didominasi perempuan, tak semua bisa “punya privilese” mengakses teknologi. Paling tidak, berkaitannya dengan akses ke medsos untuk ikut pada fenomena #KaburAjaDulu.  

Yang Nabyla kritik adalah pejabat negara seperti Nusron Wahid yang pernah menjabat sebagai Ketua lembaga perlindungan pekerja migran yang saat itu bernama BNP2TKI, mengeluarkan pernyataan yang mendiskreditkan pekerja migran.

“Gara-gara dengar statement Pak Nusron Wahid bahwa mereka (#KaburAjaDulu) gak nasionalis. Saya mikir kok bisa-bisanya beliau mengatakan itu.” 

Di situasi ini, Ia menekankan ada solusi struktural yang serius dijalankan pemerintah. Termasuk soal penyediaan lapangan pekerjaan yang layak. Di samping, menghapus berbagai diskriminasi kerja yang merugikan perempuan. 

“Ketika lapangan kerja itu tersedia di dalam negeri, saya kira orang-orang juga akan stay kok. Lagi-lagi orang tuh kalau nggak terpaksa, nggak akan sebenarnya mereka cabut gitu. Itu tuh pilihan yang sulit lah sebenarnya untuk bekerja di luar negeri, itu kan pilihan yang nggak sederhana ya.”

Menguatkan Gerakan Perempuan 

Mutiara Ika berpendapat, kita tidak bisa sekadar pasif menunggu pemerintah bersikap untuk menyuarakan dan memprioritaskan isu perempuan. Tapi, kita mesti ambil peran aktif mengkonsolidasi gerakan itu sendiri. 

#KaburAjaDulu bisa jadi upaya untuk mencari penghidupan lebih baik, namun nasib perubahan lebih baik negara ini juga menuntut diperjuangkan. Termasuk dari gerakan sosial dan isu perempuan yang perlu bersatu. 

“Kehidupan yang lebih baik itu mendorong kita dan membawa kita untuk melihat bahwa perubahan itu akan datang kalau kita bersama-sama melakukannya, melakukan gerakan perubahan itu. Nah, aku pikir ini jadi poin yang sangat penting.”  

Dia juga mengajak kita semua membuka mata, bahwa situasi global pun kini tengah dilanda krisis. Mulai dari kemiskinan hingga perang. Di penjuru mana pun, kita tengah berada dalam sistem yang bisa dikatakan, tidak sedang baik-baik saja. 

“Jadi kita perlu bergerak bersama untuk memperbaiki sistem itu, dimanapun kita nggak akan bisa kabur, jadi sistem itu akan menghampiri kita dimanapun berada.” 

Baca Juga: Ini Isu Bersama: Gerakan Perempuan Lokal Hadapi Krisis Iklim Global

Ika tidak patah semangat dengan gerakan sosial dan perempuan yang ada di Indonesia hari ini. Banyak publik termasuk kalangan muda yang kritis dan melek terhadap situasi yang terjadi. Dia mengapresiasi salah satu misalnya, aksi Indonesia Gelap yang digerakkan kalangan anak muda dan mahasiswa akhir-akhir ini. 

“Yang perlu kita pahami adalah bagaimana aksi tersebut perlu untuk kemudian diluaskan, kemudian digelorakan. Bahkan di dalam ruang-ruang lingkup yang terkecil, tempat kerja, pabrik, kampung-kampung, dan kampus-kampus,” lanjutnya. 

Hal penting lainnya untuk menguatkan gerakan akar rumput ini, menghubungkan gerakan sosial digital seperti #KaburAjaDulu dengan gerakan aksi langsung. Para diaspora yang turut meramaikan #KaburAjaDulu bisa berkontribusi positif juga untuk menguatkan gerakan sosial yang berkesadaran kritis di negara ini. Ini semua mesti terhubung. 

Kaitannya dengan gerakan perempuan lebih luas, Ika yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API), sebuah kolektif organisasi dan lembaga perjuangan isu perempuan di Indonesia, menyerukan agar solidaritas dan konsolidasi terus aktif digalakkan. API terdiri dari sejumlah organisasi dan media alternatif seperti Perempuan Mahardhika, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Konde.co, FAMM Indonesia, Kelas Muda, FSBPI, Jala PRT, GMNI, West Papua Feminist Forum, Solidaritas Perempuan, Federasi PEKKA, Jaringan Buruh Migran.

Baca Juga: Manifesto Politik Perempuan Kritik Rezim Prabowo-Gibran Di Hari Pergerakan Perempuan

Pada tanggal 22 Desember yang diperingati sebagai Hari Ibu dan Hari Pergerakan Perempuan, para perempuan yang tergabung dalam API itu mengeluarkan manifesto politik perempuan menyikapi kondisi politik saat ini. Saat itu, Ika menyebut, orientasi kebijakan rezim pemerintahan baru Prabowo-Gibran yang tercermin dalam program Asta Cita dan prioritas kerja 100 hari tidak menyentuh kedaruratan situasi kekerasan terhadap perempuan. 

Politik hari ini justru fokus terhadap industri ekstraktivisme, pembangunan infrastruktur dan investasi modal, tidak hanya menunjukkan bagaimana pemerintahan Prabowo Gibran adalah rezim baru yang melanjutkan agenda lama pemerintahan Jokowi, namun juga menunjukkan sebuah rezim baru yang akan memperparah situasi kekerasan terhadap perempuan.

“Kita sedang menggalang bagaimana cara koneksi ini terjadi tidak hanya masif dan berfokus di Jakarta, tapi juga dengan kota-kota lain di seluruh Indonesia. Kita memanfaatkan Hari Perempuan Internasional (8 Maret) sebagai satu momen untuk punya jejaring yang lebih luas dan berdampak,” pungkasnya.

Nurul Nur Azizah

Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!