Di edisi akhir tahun 2024, Konde.co mewawancarai peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, Made Tony Supriatma tentang situasi demokrasi dan keterlibatan para aktivis laki-laki di dalamnya.
Para mantan aktivis tersebut duduk sebagai menteri, wakil menteri, kepala badan hingga wakil kepala badan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Mereka semuanya laki-laki, Budiman Sudjatmiko, Nezar Patria, Agus Jabo, Mugiyanto, Faisol Riza, Fahri Hamzah dan Budi Arie Setiadi.
Dari 7 mantan aktivis, sebagian ada yang merupakan bagian dari tim pemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada pemilihan Presiden 2024, namun ada juga yang berada di kubu lawan saat pemilihan. Sebagian dari mereka ada juga yang sebelumnya menjadi pejabat dalam pemerintahan rezim Jokowi.
Masuknya sejumlah mantan aktivis laki-laki tersebut menjadi sorotan sejumlah pihak, pasalnya mereka pernah menjadi korban penculikan oleh Tim Mawar yang menjadi bagian dari Komando Bagian Khusus (Kopassus). Prabowo kala itu menjabat sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus dan bertanggung jawab atas penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis.
KontraS mencatat, selama periode 1997-1998 terdapat 23 aktivis yang diculik negara. Dari 23 aktivis tersebut, satu orang ditemukan tewas (Leonardus “Gilang” Nugroho), 9 orang dibebaskan oleh penculiknya, dan 13 orang lainnya masih hilang hingga saat ini. Sebagian dari mantan aktivis yang bergabung dengan rezim Prabowo merupakan bagian dari 9 orang yang dibebaskan tersebut.
Jurnalis Konde.co, Anita Dhewy berbincang dengan A. Made Tony Supriatma, peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, tentang situasi terkait posisi politik para mantan aktivis laki-laki ini. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat fenomena masuknya sejumlah aktivis laki-laki dalam kabinet Prabowo, dari yang semula berseberangan, kemudian berbalik arah menjadi mendukung bahkan melakukan pembenaran?
Kita kembali dulu kepada aktivismenya. Ada dua perdebatan besar sebenarnya. Setiap aktivis itu ujungnya biasanya selalu menjadi politisi untuk memperjuangkan idealismenya. Kita lihat Presiden Barack Obama, dulunya dia community organizer di South Side Chicago. Kemudian dari community organizer dia mengerti struggle (perjuangan) orang-orang kelas bawah, lalu merasa bahwa tidak cukup hanya berhenti di sini saja. Kalau mau mengubah sesuatu, harus mengubahnya lewat jalur politik dan dia mulai meng-assemble satu koalisi besar dengan kemampuan mobilisasi. Dia minta bantuan orang yang paham tentang politik dalam hal ini David Axelrod yang berpengalaman memenangkan banyak pemilihan khususnya dari kalangan minoritas, kulit hitam.
Nah, berangkat dari idealisme ini lalu masuk ke politik dan benar-benar berjuang. Barack Obama signature policy-nya adalah sistem kesehatan nasional yang sekarang dikenal dengan Obama Care. Itu pencapaian paling besar dari dia, menyediakan layanan kesehatan untuk seluruh rakyat Amerika. Nah di sini apakah aktivis-aktivis itu memulai aktivismenya kemudian merasa tidak puas, tidak bisa melakukan perubahan kalau tidak masuk ke dalam dan membentuk policy?. Nah kita pertanyakan apakah itu tujuan mereka ataukah tujuan mereka sebenarnya hanya kekuasaan belaka? Apakah mereka tahu risikonya dengan siapa mereka berkoalisi? Orang yang membunuh teman-temannya, terus kemudian bekerja sama dengan pembunuhnya?
Menurut saya itu sudah menjadi indikator. Okelah orang seperti Budiman Sudjatmiko. Dia concern terhadap kemiskinan, dia paham betul teori-teori yang menjelaskan mengapa orang menjadi miskin dan lain sebagainya. Sekarang dia menjadi Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, saya masih bisa oke dengan itu. Apakah itu memang jalan idealismenya karena dulu tidak bisa dicapai di PDIP, sekarang dia bisa capai dengan Prabowo. Tapi sejauh mana nanti dia akan berhasil, kita lihat saja
Bisa dibilang ini jalur yang umum ditempuh para aktivis untuk melakukan perubahan dengan masuk ke dalam pemerintahan?
Ada perdebatan sebetulnya, apakah aktivis harus masuk ke dalam sistem ataukah aktivitas harus berada di luar sistem? Ada yang memilih untuk, “Saya nggak akan ke dalam, karena harus ada penyeimbang pandangan pemerintah. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tapi kita punya perspektif dan saya menawarkan perspektif itu karena nggak mungkin saya masuk ke dalam.” Ada juga banyak aktivis yang seperti itu. Saya termasuk yang setuju dengan yang kedua. Bukan karena apa-apa, karena memang saya tidak mampu juga untuk masuk ke dalam. Saya tetap memandang diri saya sebagai aktivis. Sampai sekarang pun saya masih di Dewan Pengetahuan YLBHI, jadi masih membantu di dunia aktivis.
Dalam situasi Pemerintahan Prabowo seperti sekarang, apakah pilihan untuk masuk ke dalam bisa dibilang sebagai pilihan yang tepat ataukah ini pilihan yang perlu dikritisi atau seperti apa?
Saya tidak mau mengadili mereka secara moral. Ada beberapa teman yang mereka memang korban kemudian bekerja sama dengan pelaku bahkan juga berusaha untuk menarik korban yang lain untuk berpihak pada dia. Ini politik tetapi saya nggak mau masuk ke wilayah itu. Kita akan lihat saja. Menurut saya indikator yang paling baik untuk melihat persoalan ini adalah apakah mereka masuk ke kekuasaan itu semata-mata karena keinginan untuk berkuasa ataukah memang ingin mengubah sesuatu? Ini yang saya belum lihat dari kawan-kawan. Kebanyakan dari mereka ketika di dalam kemudian menjadi bleaching the sin atau pemutih dari dosa-dosa orang-orang yang melakukan kejahatan di masa lalu. Itu yang saya takutkan.
Jadi mereka masuk ke dalam tidak untuk mewujudkan idealismenya tapi karena demi kekuasaan dan mungkin juga karena faktor ekonomi dan lain sebagainya. Kemudian dijadikan narasi untuk memutihkan dosa-dosa masa lalu para pelaku kekejian. Dalam kampanye dikatakan, “Mana saya pelanggar HAM buktinya orang kayak Budiman Sudjatmiko yang dulu saya kejar-kejar sekarang mendukung saya.” Menurut saya itu sudah menunjukkan tanda-tanda. Jadi kita beri dia kesempatan, nanti seberapa lama dia akan ada di kabinet. Apakah dia memang benar-benar berjuang untuk idealismenya?
Dalam hal ini saya memberikan mereka benefit of the doubt. Saya memberikan mereka kepercayaan. Sudahlah kalau memang itu yang dikehendaki, ya kita lihat saja. Dan memang saya tidak menilai integritas mereka atau apapun juga, tetapi saya melihat apa yang akan mereka lakukan.
Jadi tidak ada semacam mekanisme untuk memastikan bahwa mantan aktivis-aktivis yang kemudian masuk ke dalam sistem ini benar-benar menyuarakan kepentingan masyarakat?
Iya, nggak ada. Tapi sebenarnya idealnya mereka harus lewat pemilihan. Budiman dulu lewat pemilihan untuk menjadi anggota DPR dari PDIP. Dia terpilih dan cukup bagus di konstituennya. Sampai kemudian partainya menganggap dia harus berjuang di tempat lain, dipindahkan dapilnya dan lain sebagainya. Dia kecewa, kemudian mendukung Prabowo. Jadi ini bukan usaha elektoral mereka. Diantara semua mantan aktivis yang masuk ke dalam kekuasaan sekarang ini, hanya Budiman yang pernah masuk lewat pemilihan. Sedang yang lainnya bukan karena elektoral. Jadi bukan karena persetujuan rakyat.
Orang kayak Mugiyanto itu tidak pernah elektoral, dia selalu nempel pada kekuasaan. Ini yang mungkin menjadi pertanyaan besar. Kalau mereka mendapatkan posisi itu karena elektoral, saya oke, tapi kalau menempel saja pada kekuasaan, ya itu akan jadi pemutih belaka.
Tetapi kalau kita lihat misalnya lewat mekanisme pemilihan, pemilu legislatif, sebenarnya juga tidak ada mekanisme yang bisa diandalkan ya, kalau melihat dari proses yang selama ini berjalan?
Iya, tapi kalau lewat legislatif minimal dia bicara pada rakyat, meyakinkan rakyat, “Ini lho saya, ini lho masa lalu saya, ini lho yang saya akan perjuangkan, ini platform saya.” Ada juga orang seperti Desmond Mahesa almarhum yang setia dengan Gerindra, ada di legislatif, ini oke juga buat saya. Jadi sekali lagi tidak ada standar moral yang pas untuk melihat mereka dan sebaiknya memang tidak dilihat dengan kacamata moral. Tapi dilihat dengan kacamata politik, bahwa mereka ini sedang berpolitik. Kalau menurut saya, sangat jarang politisi Indonesia, katakanlah seperti saya contohkan tadi, seperti Barack Obama. Dari pengalaman langsung kemudian merasa tidak puas, tidak bisa melakukan perubahan sosial lalu masuk ke dalam, run for public office. Maju ke pemilihan dan menang dan kemudian melakukan perubahan-perubahan yang sangat signifikan untuk masyarakat. Itu yang ideal, sementara di sini nggak ada yang seperti itu.
Salah satu alasan yang biasa disampaikan kepada publik adalah, “Sudahlah kita lupakan masa lalu, kita lihat ke masa depan.” Apakah argumen melupakan masa lalu bisa diterima ketika korban sampai hari ini banyak yang belum mendapatkan haknya?
Kalau buat saya, persoalan itu tidak akan pernah selesai, itu tidak bisa dilupakan. Saya tidak bisa terima sebagai warga negara. Ada orang yang pada saat itu memegang kekuasaan kemudian menghilangkan nyawa warganya yang seharusnya dia lindungi. Konstitusi kita memberikan hak yang sama pada setiap warga negara untuk hidup. Tetapi kalau orang yang menghilangkan nyawa warga negara dan tidak dihukum itu jadi persoalan. Kalau persoalan itu dianggap beres, nggak ada negara ini.
Sudahlah itu secara politik artinya ya saya bisa berkuasa menurut apa yang saya mau. Saya bisa berkuasa kalau saya punya uang dan mempengaruhi pikiran orang dengan uang. Karena mekanisme demokrasi yang berjalan tidak sempurna, ini bukan deliberative democracy, bahwa orang mempertimbangkan masak-masak track record seseorang, policy seseorang. Di sini demokrasi yang berlaku itu kan demokrasi bansos. Siapa yang punya uang, dia yang bisa berkuasa. Apakah orang seperti ini yang akan didukung oleh para aktivis yang idealis-idealis itu? Ya silakan. Kalau menurut saya itu akan menunjukkan karakter karena mereka sebenarnya sedang mengingkari apa yang pernah mereka perjuangkan. Mereka secara diametral—saya agak judging di sini karena saya pernah lama bersama mereka juga—mengingkari semua.
Kalau ada yang mengatakan, “Udahlah bro, kita kan nggak tahan miskin terus.” Oke lah saya terima argumen itu, tapi omong terus terang bahwa ini karena saya ingin mengubah dari dalam. Apa yang diubah, ya diri saya dulu, artinya tidak miskin lagi, itu saya mengubah dari dalam. Kalau itu argumennya, oke saya terima, omong terus terang dan jangan memakai aktivisme sebagai pembenar. Kalau itu dipakai sebagai pembenar, akhirnya akan jadi pemutih aja jadi. Jangan menjadikan aktivisme itu seperti modal.
Tadi disinggung bahwa sebenarnya ada juga cara lewat luar, tidak masuk ke dalam sistem misalnya. Nah apakah cara seperti ini untuk konteks Indonesia bisa lebih punya pengaruhkah atau seperti apa?
Iya. Sekarang kan orang menuntut untuk jadi relevan ya. Kalau kita tidak masuk ke dunia politik atau tidak bersuara tentang politik, kalau kita tidak masuk ke situ secara ekonomi kita juga nggak bisa mapan. Saya mengamati di kalangan para aktivis, pada ujung-ujungnya mereka pasti akan masuk kekuasaan juga.
Pada ujung-ujungnya mereka akan membela, mereka akan menjadi partisan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu. Tapi ada juga orang yang—ini juga bukan ideal sebenarnya—tetap di luar, tetap mengorganisir, tetap hidup miskin dan lain sebagainya. Saya nggak mengidealkan itu juga. Tapi menurut saya yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memelihara idealisme kita. Bisa mewujudkan apa yang tidak bisa kita wujudkan sendirian. Nah itu yang paling penting, memelihara apa yang kita cita-citakan dulu.
Kalau memang mau mengurusi HAM di dalam pemerintahan, pastikan memang benar-benar mengurusi HAM. Bukan hanya sekadar di situ untuk berbagi-bagi kekuasaan dan mencuci dosa orang yang berkuasa dan kemudian mengajak teman-teman lain karena punya uang untuk ikut ke dalam. Jangan seperti itu. Pastikan juga bahwa lembaganya responsif. Kementerian HAM (tapi) ada anak SMK ditembak di Semarang, tidak bunyi apa-apa. Itu kan menurut saya di depan mata. Kan orang ini (pernah) mengalami. Kalau dia tidak mengalami, saya tidak apa-apa, tapi dia (pernah) mengalami.
Baca juga: Hanya Ada 5 Perempuan di Kabinet Merah Putih, Aktivis: Ini Pengabaian Demokrasi
Memang pilihan hidup kawan-kawan mantan aktivis itu lebih sedikit, saya tahu persis itu. Lebih sedikit pilihan dalam pengertian mereka dilatih untuk menjadi aktivis, mereka dilatih untuk berorganisasi, memobilisasi, mereka tidak terampil berdagang, misalnya, ndak bisa. Ada beberapa yang jadi jurnalis, memang masih punya keterampilan seperti itu. Tapi kan mereka pengen lebih dari itu. It’s okay.
Ya sekali lagi, karena mereka masuk lewat jalur aktivitas. Kalau mereka masuk lewat jalur parpol atau aktivis partai, it’s okay, nggak ada keberatan. (Masalahnya) mereka masuk lewat jalur aktivis. Ada tujuh mantan aktivis kiri di kabinet Prabowo sebagai Deputi Menteri atau Kepala Badan, jabatan setingkat menteri. Ada tujuh, jadi cukup besar ya, tujuh revolusioner bergabung dengan kekuatan anti revolusioner.
Apakah kemudian seharusnya kalau kita bicara perubahan, kita tidak terpaku pada sosok-sosok atau tokoh-tokoh?
Iya seharusnya memang tergantung pada organisasi. Orang-orang ini kan sebenarnya organizer-organizer yang bangkit ya dan orang-orang ini dulu juga berada di sisinya Jokowi ya. Dulu pada waktu 2014 dan sebenarnya Jokowi itu adalah Presiden pilihan aktivis. Pada waktu itu karena ketakutan terhadap Prabowo, semua bersatu mendukung Jokowi di 2014. Tapi kemudian posisinya direvisi, sekarang (Jokowi) malah mendukung Prabowo karena satu dan lain hal. Menurut saya lebih banyak karena faktor kekuasaan karena berkuasa itu memang enak dan juga karena faktor ekonomi.
Jadi mereka lebih kental dengan faktor ekonomi dan kekuasaan begitu ya?
Beberapa dari mereka (mantan aktivis) kaya raya banget. Berkuasa itu memang enak dan mereka sudah tidak lagi bicara tentang kiri, tidak lagi bicara tentang Marxis, dan lain sebagainya, itu urusan anak Indoprogres, begitu ya. Mereka sudah jadi urat nadi kekuasaan, mereka menjadi bagian itu.
Salah satu mantan aktivis yang bergabung diduga terlibat dalam kasus kekerasan seksual, tetapi dia tetap bisa masuk dalam lingkaran kekuasaan. Informasi yang kami dapat sudah ada upaya dari sejumlah aktivis untuk menyuarakan persoalan ini. Bagaimana Anda melihat kondisi seperti ini?
Oke, kalau dalam bahasa Inggris, the moral standard is already very very very low. Jadi kalau hanya pelecehan atau kekerasan seksual saja (tidak dianggap), wong sama penculiknya sendiri, dan pembunuh teman-temannya saja dia kerja sama, apalagi dengan kekerasan seksual. Ya it’s not going anywhere.
Jadi kalau menurut saya, ya harus tetap dikampanyekan, harus tetap diminta pertanggungjawabannya, tapi saya tidak berharap banyak karena standar moralnya sudah rendah banget. Saya akan memaklumi kalau dia kemudian cuek saja, “Ngapain sih, kayak nggak ada kerjaan aja yang begitu diurusin.” Ya kayak begitu, karena apa? Karena standar moralnya memang sudah rendah.
Dari para mantan aktivis yang bergabung, mereka semua laki-laki, bagaimana penjelasan soal ini?
Yang aktivis-aktivis perempuan itu lebih menghargai, mereka lebih bekerja di bawah, mereka lebih setia. Saya ada satu angkatan dengan mereka. Sebagai teman, solidaritas di kalangan mereka masih ada. Mereka kadang-kadang ada reuni bareng gitu kan. Oh, si itu di kubu ini, oh si ini di kubu itu. Udahlah mereka bisa terima, ketika reuni mereka bilang, jangan bicara politik, ketawa-ketawa, segala macam. Tapi memang saya melihat aktivis perempuan lebih setia. Saya kenal satu orang yang juga mendukung Jokowi, kemudian masuk periode kedua dia melihat sesuatu tidak beres, lalu keluar. Dia punya penghidupan lain dan cukup berhasil juga. Tidak terlalu kleleran (kesulitan) secara ekonomi, dia jaga ekonomi dengan baik. Nah memang problemnya sama aktivis laki-laki.
Ini karena faktor apa?
Saya tidak berani mengatakan bahwa ini faktor gender, tapi memang power itu luar biasa atraktifnya. Ini semua sebenarnya masalah power.
Melihat situasi semacam ini, apakah akan memunculkan semacam apatisme di kalangan masyarakat atau generasi muda? Mengingat mereka melihat bahwa aktivis-aktivis yang dipandang punya idealisme saja bisa begitu. Apakah situasi ini akan berpengaruh sampai ke sana?
Kalau menurut saya, itu sudah terjadi. Ini juga sudah terjadi pada konsep relawan. Relawan sekarang itu kan benar-benar menjadi satu istilah yang sangat peyoratif. Inti dari relawan itu adalah altruism, yakni kemampuan berkorban untuk orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, itu relawan. Tapi sekarang kan jadi ‘rela untuk tidak melawan’ gitu ya. Kalau enggak ada duitnya, semingkir (menjauh), itulah relawan. Aktivisme itu juga jadi seperti itu.
Ini kemudian membuat orang menjadi cynical, orang menjadi sinis terhadap politik, begitu orang menjadi sinis, kemudian orang menjadi apatis, begitu orang menjadi apatis, secara sosial kita sudah melakukan bunuh diri massal, social suicide. Semua melingkar ke bawah, tidak ada orang yang memperhatikan kepentingan umum. Kenapa? Karena bahkan sudah tidak ada lagi altruism, tidak ada lagi orang yang mau mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan orang banyak, untuk kehidupan orang banyak. Kita bisa mengatakan bahwa ini dirusak oleh Jokowi, iya, tapi juga dirusak oleh mantan-mantan aktivitas. Jadi kalau menurut saya itu sudah terjadi. Nah, yang terjadi itu benar-benar dalam dan kerusakannya itu luar biasa.
Bagaimana memperbaiki ini? Ya pelan-pelan, saya kebetulan berproses dengan banyak anak-anak SMA. Kalau mahasiswa agak sulit kecuali mahasiswa tahun pertama dan kedua. Karena sistem kurikulum sekarang ini begitu mahasiswa masuk tahun ketiga, mereka sudah harus memikirkan magang dan lain sebagainya. Sistemnya memang dibuat begitu, di bawah Nadiem dan Jokowi. Jadi orang yang menjadi aktivis sekarang makin muda. Saya kira masih ada harapan untuk itu.
Di tengah situasi seperti ini, apa yang perlu didorong atau diupayakan oleh masyarakat sipil atau elemen lain?
Kalau menurut saya, pendidikan itu penting. Kaderisasi itu penting. Kemudian membangun jaringan itu juga penting. Kolaborasi di kalangan lembaga-lembaga yang masih merdeka juga penting, termasuk Konde, Project Multatuli, antara jurnalisme dengan lembaga bantuan hukum misalnya. Termasuk juga dengan aktivis-aktivis isu-isu lingkungan, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan juga dengan gerakan-gerakan yang merdeka di bawah. Anak-anak muda yang menggabungkan diri dan tertarik dengan ide-ide anarko sindikalisme, yang dimusuhi banget oleh polisi itu juga penting. Mereka itu gen Z karena mereka itu militan. Sama seperti para aktivis tua bangka yang sekarang ada di pemerintahan itu mereka juga dulu seperti itu. Tapi mungkin kita bisa membuat sesuatu yang lebih ya, yang menjadikan mereka sebagai guardian, penjaga dari—kalau dalam bahasa latin itu—civic bonum, kebaikan publik. Jadi penjaga dari kebaikan publik, orang mengabdikan dirinya memelihara altruism, mengabdikan dirinya untuk kepentingan umum.
Baca juga: Bagaimana Kamu Harus Jadi Anak Muda Di Masa Roti Harga 400 Ribu dan Nepotisme Keluarga Istana?
Selain itu juga percaya bahwa ketika kondisi masyarakat baik, maka secara individu kondisi-kondisi individu juga baik. Masyarakat menjadi lebih harmonis, masyarakat menjadi lebih berkembang, lebih progresif, lebih pintar. Ketimbang dengan apatisme dan anti altruisme dan sinisisme yang terjadi sekarang, yang berusaha disebarkan oleh orang-orang yang berkuasa sekarang ini. Termasuk para intelektualnya, termasuk para mantan aktivisnya dan lain sebagainya, itu yang mereka sebarkan. Saya bertemu salah satu dari mereka, ia mengatakan, “Sudahlah bro, ngapain gitu.” Itu kan sebenarnya sinisme yang luar biasa ya, karena melihat bahwa saya masih aktif di YLBHI. Saya sebenarnya ingin, paling tidak berbuat sesuatu lah.
Nah, sinisme menjadikan pesimis dan kemudian membuat orang tidak berpartisipasi apapun juga dan kemudian membiarkan masyarakat itu membusuk. Ini yang mereka inginkan, karena hanya dengan cara ini mereka bisa berkuasa. Tapi menurut saya masih ada hati, masih ada harapan di kalangan generasi yang jauh lebih muda, masih ada perlawanan. Agustus 2024 kemarin itu (demo besar di DPR RI menolak pencalonan Kaesang, red.)muncul sedikit, walaupun cepat mati, tapi ada. Dan orang-orang ini harus waspada bahwa tidak selamanya masyarakat itu sinis dan melakukan bunuh diri massal. Masyarakat juga pengen maju.
Foto: Kumparan, Kemenkopukm, Wikipedia.