Kamu pernah melihat istilah ‘gender war’ atau ‘perang gender’ di tengah perdebatan soal perempuan dan laki-laki di internet? Biasanya, istilah ini muncul saat ada diskursus mengenai stereotipe dan peran gender serta topik feminisme. ‘Gender war’ membuat perdebatan mengenai hal itu seakan-akan sesuai tajuknya: ‘perang’ antar-gender, perempuan versus laki-laki—kadang versus ragam gender lainnya.
Namun, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘gender war’? Atau jangan-jangan, yang selama ini terjadi bukan perang gender, melainkan ketimpangan gender?
Memang, secara umum, ‘gender war’ bukan istilah akademik. Ia lebih merupakan istilah media dan budaya populer yang terutama sering digunakan akhir-akhir ini. Istilah tersebut merujuk pada gambaran konflik antara kelompok dengan pandangan berbeda tentang gender dan kesetaraan.
Istilah ‘gender war’ muncul dari berbagai perdebatan sosial dan politik mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan. Terutama dalam konteks feminisme dan hak-hak gender. Meski tidak ada sumber spesifik atas penggunaan istilah tersebut, secara konsep, ia mulai populer sejak akhir abad ke-20. Ini seiring dengan meningkatnya diskusi tentang kesetaraan gender di media dan ruang publik. Saat itu, feminisme mulai menyoroti isu diskriminasi gender dalam pekerjaan, pendidikan, dan peran gender tradisional. Sebutan perang gender atau gender war pun muncul di sela-sela perdebatan antara feminis dan kelompok yang konservatif atau menentang perubahan.
Setelah itu, media mulai menggunakan istilah itu untuk menggambarkan konflik antara feminis dan kelompok konservatif. Biasanya pertentangan muncul karena pihak konservatif berkeras mempertahankan prinsip peran gender tradisional, sedangkan feminis hendak mendobraknya. Ditambah, dengan munculnya internet, perdebatan tentang gender semakin meluas melalui forum online, media sosial, dan gerakan digital. Ketika perempuan mendorong kampanye #MeToo untuk meningkatkan kesadaran tentang isu ketimpangan gender, laki-laki merasa perlu ada gerakan lain yang mendorong ‘hak laki-laki’.
Gender War dan Upaya Mendebat Feminisme
Gender war adalah istilah yang menggambarkan konflik atau ketegangan sosial antara kelompok berdasarkan gender. Terutama antara laki-laki dan perempuan. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada perbedaan pandangan dalam isu-isu gender. Seperti hak-hak perempuan, feminisme, maskulinitas, kesetaraan gender, dan peran sosial yang diharapkan dari masing-masing gender.
Istilah gender war cukup sering muncul, salah satunya dalam perdebatan mengenai feminisme. Misalnya, ada pihak yang mendukung feminisme sebagai upaya untuk mencapai kesetaraan gender. Sementara ada juga yang menentang dengan alasan feminisme dianggap terlalu radikal atau merugikan laki-laki.
Beberapa kelompok menyoroti permasalahan yang dihadapi laki-laki. Seperti maskulinitas beracun, hak asuh anak, atau tingkat bunuh diri yang tinggi. Sementara feminis sering kali menekankan bahwa ketidaksetaraan masih lebih merugikan perempuan. Sebab dalam banyak kasus, berbagai persoalan yang dialami laki-laki juga dilanggengkan oleh sesama laki-laki dan masyarakat patriarkal.
Feminisme melihat ketimpangan hak antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil dari sistem sosial, budaya, dan politik yang selama ini lebih menguntungkan laki-laki dibandingkan perempuan. Dalam pandangan feminis, ketimpangan ini bukan sekadar perbedaan biologis. Tetapi juga karena norma dan struktur sosial yang membatasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Baca Juga: Apa itu Feminisme dan Kenapa Kita Membutuhkannya?
Perempuan lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan eksploitasi. Gerakan seperti #MeToo menyoroti kekerasan seksual sering terjadi tanpa konsekuensi yang adil bagi pelaku. Tentu saja ini tidak berarti laki-laki tidak mengalami kekerasan—salah satu argumen yang menyebabkan munculnya gender war. Namun, data dan fakta di lapangan menunjukkan, perempuan lebih cenderung mengalami kekerasan berbasis gender. Artinya, kekerasan itu terjadi padanya karena gendernya yang perempuan.
Gender war membuat diskursus dan perdebatan muncul seakan-akan feminisme adalah gerakan anti-laki-laki dan semacamnya. Padahal, feminisme melihat ketimpangan hak perempuan dan laki-laki sebagai masalah struktural. Ia membutuhkan perubahan sosial, hukum, dan budaya untuk menciptakan kesetaraan yang nyata. Tujuannya bukan untuk ‘memerangi’ laki-laki, tetapi untuk membangun sistem yang lebih adil bagi semua gender.
Hal itu juga ditekankan oleh bell hooks. Dalam buku ‘Feminism is for Everybody’ (2000), ia menegaskan bahwa feminisme adalah tentang menghapus sistem penindasan. Jadi, bukan semata-mata untuk memusuhi laki-laki. hooks juga mengangkat pentingnya interseksionalitas. Yaitu soal pengaruh kelas, ras, dan gender terhadap satu sama lain dalam menciptakan ketimpangan sosial.
Sementara tokoh feminis liberal Christina Hoff Sommers mengkritik feminisme gelombang ketiga yang, menurutnya, ‘terlalu radikal’ dan menciptakan ‘gender war’ yang tidak perlu. Dalam bukunya ‘Who Stole Feminism?’ (1994) dan ‘The War Against Boys’ (2000), ia menyoroti bentuk-bentuk feminisme modern yang dapat berdampak negatif pada laki-laki. Selain itu, juga menciptakan ketegangan gender yang lebih besar.
Baca Juga: Di Mana Ada Bias Gender, di Situ Terjadi Diskriminasi Terhadap Perempuan
Di sisi lain, beberapa aliran feminisme seperti feminisme radikal menekankan urgensi atas penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat patriarki. Alhasil, penyebutan gender war juga menjadi kurang tepat karena ‘perang’ tidak terjadi antara pihak yang lebih berkuasa melawan pihak yang dilemahkan.
Simone de Beauvoir menjadi salah satu feminis yang namanya cukup sering muncul dalam perdebatan gender war. Dalam bukunya ‘The Second Sex’ (1949), de Beauvoir membahas penempatan perempuan sebagai ‘the other’. Yaitu pihak yang selalu dikontraskan dengan laki-laki sebagai subjek utama dalam masyarakat. Ia menyoroti bahwa ketidaksetaraan gender adalah hasil konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alami.
Hal serupa disampaikan Germaine Greer dalam bukunya ‘The Female Eunuch’ (1970). Greer membahas pengkondisian perempuan untuk tunduk dalam masyarakat patriarki. Ia mengkritik sistem yang memperlemah perempuan dan mendukung kebebasan perempuan dari konstruksi sosial yang menekan mereka.
Pada intinya, kebanyakan feminis menyoroti ketegangan akibat struktur sosial yang tidak adil. Mereka berusaha menemukan cara terbaik untuk mengatasi ketimpangan ini tanpa harus menciptakan permusuhan antara gender. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri, istilah ‘perang gender’ juga tidak bisa digunakan ketika kelompok perempuan lebih banyak ditindas oleh laki-laki.
Yang Salah adalah Patriarki
Perempuan mengalami kekerasan, laki-laki menghadapi ekspektasi toksik. Jadi, siapa yang salah?
Gender war kerap membuat kita terlalu sibuk bermusuhan satu sama lain sehingga melupakan akar masalahnya: patriarki. Sebab jelas penindasan terhadap perempuan adalah ulah patriarki, begitu pula maskulinitas beracun yang merugikan laki-laki. Patriarki menciptakan stereotipe gender yang membuat masyarakat menaruh ekspektasi begitu tinggi pada laki-laki, sekaligus merendahkan perempuan. Makanya, kesetaraan gender bukan tentang memenangkan satu pihak. Tetapi tentang menciptakan masyarakat yang lebih adil bagi semua.
Pendidikan seharusnya mengajarkan tentang hak-hak gender sejak dini. Ini dapat membentuk pola pikir yang lebih inklusif dan membentuk pemahaman bahwa kesetaraan gender adalah untuk semua. Selain itu, membangun ruang dialog antara perempuan dan laki-laki juga penting untuk memahami perspektif masing-masing. Laki-laki harus berhenti meremehkan dan mendiskreditkan pengalaman perempuan, lalu belajar mendengarkan dan memahami. Keluar dari sikap defensif dan mengakui bahwa, akibat konstruksi patriarki, ketimpangan dan diskriminasi gender memang terjadi.
Baca Juga: Feminis Selalu Marah? Bagaimana Tidak, Pengalaman Hidup Perempuan Ditindas Patriarki
Pemenuhan hak-hak perempuan dalam penyusunan kebijakan tak boleh dilupakan. Gender war membuat perjuangan itu tampak seperti persaingan ‘jumlah hak’ perempuan dan laki-laki. Padahal, perempuan memiliki kondisi-kondisi tertentu yang tidak dialami laki-laki, sehingga kebutuhan haknya pun berbeda.
Stereotipe gender di tengah masyarakat juga harus berakhir. Perempuan tidak hanya cocok di ranah domestik. Begitu juga laki-laki tidak harus selalu menjadi ‘tulang punggung’ keluarga. Lagi-lagi, karena kesetaraan gender adalah milik bersama, laki-laki juga harus mendukungnya. Di sisi lain, beri perempuan ruang untuk terlibat dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan.
Kesetaraan gender lebih dari sekadar urusan, “Bisa angkat galon, nggak?” Memperjuangkannya berarti harus siap mendobrak konstruksi gender dalam masyarakat yang selama ini melanggengkan patriarki.