Bias gender

Kamus Feminis: di Mana Ada Bias Gender, di Situ Terjadi Diskriminasi Terhadap Perempuan

Apa itu bias gender? Ia terjadi dalam berbagai lapisan kehidupan masyarakat dan, lagi-lagi, perempuan kerap terkena dampaknya.

Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.

Katanya, hak asasi setiap manusia sama. Namun ketika bicara soal gender, kok, rasanya pemenuhan hak-hak perempuan dan ragam gender lebih sulit ketimbang laki-laki? Nah, ketika kita menyadari ketidakadilan seperti itu, berarti kita sedang ‘berkenalan’ dengan bias gender.

Bias gender adalah sikap atau pandangan yang tidak adil atau tidak setara berdasarkan jenis kelamin atau gender seseorang. Bias ini bisa muncul dalam berbagai bentuk. Contohnya perlakuan yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan. Konteks pendidikan atau kehidupan sosial lainnya juga tak luput dari bias gender. Selain itu, ia juga mengarah pada stereotipe yang melekat pada peran dan kemampuan yang dianggap sesuai untuk masing-masing jenis kelamin. Juga ketidaksetaraan dalam akses terhadap kesempatan atau sumber daya.

Kesenjangan sosial salah satunya mewujud dalam bentuk bias gender. Ini terjadi karena norma-norma budaya dan struktural yang mengatur peran dan hak individu berdasarkan gendernya. Menurut kacamata feminisme, bias gender berakar pada sistem patriarki. Artinya, struktur sosial menempatkan laki-laki di posisi dominan, sekaligus mendiskriminasi perempuan dan ragam gender.

Kata Feminis

Bias gender telah menjadi pembahasan dalam feminisme sejak gelombang pertama hadir. Topik ini begitu esensial dalam diskursus feminisme karena berkelindan dengan masalah patriarki dan misogini, yang menjadi titik berangkat gerakan feminisme di seluruh dunia.

Salah satu pandangan muncul dari Simone de Beauvoir. Dalam karyanya ‘The Second Sex’, de Beauvoir menyebut, “Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan.” Artinya, identitas gender perempuan bukan bawaan lahir, melainkan bagian dari konstruksi sosial yang cenderung patriarkal. de Beauvoir juga mengkritik bias gender yang dibangun dan dipelihara di kalangan masyarakat. Itu membuat perempuan menjadi sosok ‘Liyan (the Other)’ dibanding laki-laki sebagai subjek pusat tatanan masyarakat.

Feminis ternama lainnya yang juga bicara tentang bias gender adalah Judith Butler. Dalam karyanya ‘Gender Trouble’, Butler berargumen bahwa gender bukanlah sesuatu yang ‘diberikan’ atau ‘alamiah’. Ia merupakan hasil dari performativitas sosial. Berarti, tindakan yang berulang dan dipertontonkan sesuai dengan norma-norma budaya. Butler menentang pengertian tradisional tentang gender dan menyoroti kehadiran bias gender yang sangat terstruktur dalam bahasa, perilaku, dan institusi sosial.

Baca Juga: Kamus Feminis: Bagaimana Kenaikan PPN 12 Persen Mencekik Perempuan?

Sementara itu, Betty Friedan, feminis dan penulis ‘The Feminine Mystique’, mengkritik pengaruh bias gender terhadap peran perempuan dalam masyarakat. Terutama di rumah tangga. Friedan mengkritik peran tradisional perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dirinya pun menggambarkan pembatasan ekspektasi sosial atas potensi perempuan di luar peran tersebut.

Hal serupa disampaikan Gloria Steinem, jurnalis dan aktivis gerakan feminisme di Amerika pada 1960-1970-an. Kritik tajamnya terutama ditujukan pada media karena memperkuat stereotipe gender melalui iklan, berita, dan representasi budaya populer. Ia berpendapat bahwa media memainkan peran besar dalam membentuk pandangan masyarakat tentang anggapan hal yang ‘feminin’ atau ‘maskulin’. Dalam pandangannya, representasi yang setara dan beragam di media adalah langkah penting untuk melawan bias gender. Stereotipe gender digunakan untuk membenarkan ketidakadilan, seperti subordinasi perempuan dan dominasi laki-laki. Sistem patriarki menciptakan dan memperkuat peran gender tradisional yang membatasi kebebasan individu. 

Bias gender juga terjadi secara interseksional. Ia bukan hanya tentang pembedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga pembedaan berdasarkan latar belakang dan identitas masing-masing. Steinem menyoroti bahwa bias itu sering kali berpotongan dengan bentuk diskriminasi lainnya. Seperti ras, kelas, dan orientasi seksual. Menurutnya, perjuangan melawan bias gender harus mencakup semua kelompok yang terpinggirkan. Dalam bukunya ‘My Life on the Road’, Steinem menekankan pentingnya mendengar pengalaman perempuan dari berbagai latar belakang. Ini untuk memahami cara bias gender memengaruhi mereka secara berbeda.

Baca Juga: Kamus Feminis: Perempuan Childfree karena Masalah Struktural, Stop Menyalahkan Perempuan

Bias gender interseksional juga dikritik oleh feminis bell hooks melalui karya-karyanya, seperti ‘Ain’t I a Woman?’. Menurut hooks, hal itu tidak dapat dipisahkan dari rasisme, kapitalisme, dan sistem kekuasaan lainnya. Ia menciptakan istilah ‘white supremacist capitalist patriarchy’ untuk menjelaskan berbagai bentuk penindasan yang saling berhubungan dan memperkuat satu sama lain.

Dalam pandangan bell hooks, bias gender sering kali berfungsi untuk mempertahankan hierarki kekuasaan. Perempuan, terutama perempuan kulit berwarna, ditempatkan dalam posisi subordinat. Sebagai perempuan kulit hitam, bell hooks menekankan bahwa pengalaman perempuan kulit berwarna terhadap bias gender sering kali berbeda dari perempuan kulit putih. Dalam bukunya ‘Ain’t I a Woman?’, ia menjelaskan diskriminasi ganda yang dialami perempuan kulit hitam, yaitu seksisme dan rasisme. hooks juga mengkritik feminisme arus utama yang kadang-kadang gagal mengakomodasi kebutuhan perempuan kulit berwarna dan kelompok minoritas lainnya.

Hidup Tidak Adil Padamu? Mungkin Itu Akibat Bias Gender

Kita sebagai perempuan mungkin pernah sampai pada titik ketika kita berpikir, “Kenapa hidup begitu tidak adil?” Tapi barangkali, bukan hidup yang berlaku tidak adil, melainkan masyarakat dengan konstruksi gendernya. Sayangnya, diskriminasi dan ketidakadilan bagi perempuan bisa kita temukan di mana saja, hampir tanpa kecuali.

Misalnya terkait akses pendidikan. Anak perempuan masih menghadapi hambatan untuk mengakses pendidikan di beberapa wilayah. Pasalnya, norma budaya lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki, sedangkan prospek perempuan lebih difokuskan pada kerja-kerja domestik. Perempuan juga sering didorong ke bidang studi yang dianggap ‘feminin’ seperti pendidikan atau seni. Sementara laki-laki didorong ke bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). Belum lagi ketika bicara tentang pelecehan atau diskriminasi terhadap perempuan di institusi pendidikan.

Sedangkan dalam hal kesempatan kerja, perempuan sering dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki. Padahal, pekerjaan yang dilakukan sama atau setara. Bias gender juga membatasi peluang perempuan untuk mencapai posisi kepemimpinan atau jabatan tinggi. Fenomena ini dikenal sebagai ‘glass ceiling’. Banyak perempuan pun akhirnya terjebak dalam pekerjaan tak berbayar atau tak dihargai. Seperti pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.

Baca Juga: Kamus Feminis: Cyborg Manifesto, Aku Adalah Cyborg Bukan Dewi

Kita juga perlu bicara tentang kekerasan berbasis gender akibat bias gender. Perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan fisik, seksual, atau psikologis. Entah di rumah maupun di tempat kerja. Selain itu, bias gender menciptakan lingkungan yang meremehkan dan mengabaikan pelecehan seksual, bahkan menganggapnya lumrah. Perempuan, terutama di negara berkembang, juga lebih sering menjadi korban perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual atau kerja paksa.

Sedangkan di sektor kesehatan, perempuan sering kali menghadapi hambatan dalam mendapatkan layanan kesehatan. Terutama dalam hal kesehatan reproduksi. Penelitian medis sering berpusat pada laki-laki sebagai subjek utama. Ini mengabaikan kebutuhan spesifik perempuan. Bias gender juga memengaruhi kebijakan yang membatasi hak perempuan untuk mengakses alat kontrasepsi, aborsi, atau layanan kesehatan ibu.

Salah satu sektor yang sedang santer disorot akibat bias gender yang kentara adalah soal politik dan keterwakilan. Perempuan sering menghadapi diskriminasi struktural dan budaya yang membatasi partisipasi mereka dalam politik. Bias gender juga menciptakan lingkungan yang membuat perempuan sering tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting di tingkat lokal maupun nasional. Ketika ini terjadi, justru perempuan yang disalahkan karena ‘partisipasi politik yang rendah’.

Lekat erat dengan bias gender adalah peran gender tradisional. Perempuan sering diharapkan untuk memprioritaskan peran sebagai ibu dan istri, yang membatasi kebebasan mereka untuk mengejar karier atau aspirasi pribadi. Ini dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan. Perempuan sering kali diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasangannya. Ditambah, ketika perempuan bekerja, ia sering menghadapi double burden. Yaitu tanggung jawab pekerjaan dan pengelolaan rumah tangga, semuanya dibebankan kepada perempuan. Bias gender juga menempatkan tekanan besar pada perempuan untuk memenuhi standar kecantikan tertentu, yang dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka.

Membongkar Konstruksi Gender

Bias gender dapat bersifat eksplisit (terlihat dengan jelas) atau implisit (tersembunyi atau tidak disadari). Misalnya, dalam dunia kerja, ia dapat terlihat ketika seorang perempuan kurang mendapatkan peluang promosi. Padahal, ia memiliki kualifikasi yang sama dengan rekan laki-laki. Bias ini dapat merugikan dan menghambat pencapaian kesetaraan antara jenis kelamin dalam berbagai aspek kehidupan.

Menurut pandangan feminisme, bias gender merupakan salah satu bentuk ketidaksetaraan sosial yang terjadi karena norma-norma budaya dan struktural yang mengatur peran dan hak individu berdasarkan gender mereka.

Bias ini menciptakan hambatan yang kompleks dan saling terkait bagi perempuan. Ini membatasi hak perempuan untuk hidup dengan bebas, adil, dan setara. Mengatasi bias gender memerlukan pendekatan yang menyeluruh. Termasuk reformasi kebijakan, perubahan norma sosial, dan pendidikan yang mempromosikan kesetaraan gender.

Baca Juga: Kamus Feminis: Pandangan Feminisme Terhadap Oligarki dan Militerisme Yang Abaikan Kesetaraan

Sebagaimana kata Gloria Steinem, “Kita sudah mulai membesarkan anak perempuan lebih seperti anak laki-laki… Namun sedikit (dari kita) punya keberanian untuk membesarkan anak laki-laki lebih seperti anak perempuan. (We’ve begun to raise daughters more like sons… but few have the courage to raise our sons more like our daughters.)”

Bias gender tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga laki-laki dengan ekspektasi maskulinitas beracun (toxic masculinity). Feminisme berusaha untuk menanggulangi bias gender dengan memperjuangkan kesetaraan hak dan kesempatan bagi semua individu. Tanpa memandang jenis kelamin mereka. Ini mencakup penghapusan struktur dan sistem yang mendukung ketidakadilan gender. Serta perubahan budaya yang mendukung pandangan lebih inklusif dan adil terhadap gender.

Maka bias tersebut harus diakhiri demi keadilan bersama. Sudah siap menghancurkan konstruksi gender yang dibangun dan dipelihara oleh masyarakat patriarki?

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!