‘I’m Still Here’ Perlawanan Perempuan Dalam Penghilangan Paksa: Film Internasional Terbaik Piala Oscar 2025

Film Brazil ‘I’m Still Here’ dinobatkan sebagai film internasional terbaik Piala Oscar 2025. Film ini berkisah tentang kehidupan perempuan pasca suaminya, seorang anggota kongres diculik rezim diktator junta militer Brasil dan tak pernah kembali.

Bayangkan: ada seorang perempuan yang selama ini hidup bahagia bersama keluarganya, tapi tiba-tiba kondisinya berbalik 180 derajat. 

Kebahagiaan itu seketika hilang oleh rezim diktator junta militer Brasil yang mengambil paksa suaminya. Kehidupannya berubah total: perjalanan yang berisi pencarian-pencarian. Itulah yang dialami Eunice dalam film ‘I’m Still Here’.

I’m Still Here’ adalah film yang diadaptasi dari sebuah buku asal Brazil berjudul ‘Ainda Estou Aqui’ (2015). 

Berlatar Belakang tahun 1970, ‘I’m Still Here’ disutradarai Walter Salles dan berangkat dari kisah nyata, dibintangi Fernanda Torres dan Fernanda Montenegro sebagai Eunice Paiya. 

Film ini menceritakan kehidupan keluarga anggota kongres, Rubens Paiva (Selton Mello) dan istrinya, Eunice (Fernanda Torres). Mereka memiliki lima anak dan menjalani keseharian dengan sederhana, kadang bermain di pantai, kadang berpesta. 

Kehidupan mereka bahagia meski saat itu Brazil dikuasai oleh diktator. Namun kesenangan itu rupanya tak bertahan lama. Pasalnya, kudeta militer terjadi pada 1964 dan kondisi politik Brazil berubah drastis. Cepat atau lambat, status Rubens sebagai anggota kongres, membawanya pada bahaya baru.

Suatu malam, Rubens dijemput paksa oleh pihak militer dengan penampilan sipil tanpa seragam. Eunice waswas, tapi Rubens berusaha meyakinkan istrinya bahwa ia takkan pergi lama. Pihak yang menjemputnya pun mengatakan bahwa mereka hanya membutuhkan Rubens untuk memberikan sedikit keterangan. Setelah itu, ia bisa pulang.

Baca juga: Film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’, Memorialisasi Penghilangan Paksa Aktivis 1998

Namun, sebagaimana kata ‘pulang’ di bawah rezim penindas lainnya, ucapan tak mewujud jadi tindakan. Rubens tak pernah kembali. Penantian Eunice dan anak-anak mereka berganti dari hari ke hari, menuju bulan ke bulan, lalu tahun ke tahun. Tidak hanya itu, Eunice dan salah satu anak perempuannya juga sempat dijemput untuk interogasi. Namun mereka kemudian dibebaskan.

Tentu Eunice tidak diam saja; ia selalu mencari jawaban apakah suaminya hilang, tidak hilang, atau dihilangkan paksa. Ia berupaya dengan segala cara untuk menemukan Rubens. Menyambangi kantor militer, menghubungi orang-orang yang kenal atau pernah bekerja dengan Rubens, dan sebagainya. Namun sosok laki-laki itu raib, tanpa kabar, tanpa kepastian. 

Waktu bergulir; dari 1970, ke 1996, hingga ke 2014. Pemerintahan dan suasana politik baru datang silih berganti, dan Eunice tetap mencari suaminya.

Film ini disebut telah mengukir sejarah di Brasil karena memenangkan film internasional terbaik dalam Oscar 2025.

Dalam Penghilangan Paksa, Ada Kehidupan Perempuan yang Berubah Drastis

Film ‘I’m Still Here’ mungkin tak banyak mengisahkan pergulatan Rubens sebagai tahanan politik dan korban penghilangan paksa, namun, sutradara menampilkan beberapa gambaran kekejaman rezim pada saat itu di Brazil. Alhasil, penonton dapat memahami betapa situasi masyarakat sipil Brazil di masa itu teropresi dan terancam. Kilasan diktatorianisme tampil lewat layar kaca televisi tokoh-tokoh dalam film. 

Sutradara kemudian lebih fokus menyoroti kehidupan Eunice yang, dalam semalam, berubah total. 

Di paruh awal film, Eunice adalah ibu rumah tangga yang sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah. Setelah Rubens hilang. ia menjadi orang tua tunggal. Macam-macam kesulitannya menghadapi hidup tanpa suami, pencarian tanpa henti, penghakiman lingkungan di sekitarnya, dan rasa penasaran anak-anak yang mendadak tumbuh tanpa sosok ayah. 

Sutradara mungkin tidak membuat Eunice dan anak-anaknya menjadi sosok ‘cengeng’. Tapi setiap adegan yang ditampilkan paling tidak membuat penonton mencelos, berempati, hingga mungkin menitikkan air mata. Eunice sebelumnya lebih banyak berperan sebagai ‘ibu’ dan berusaha menenangkan diri dan keluarga. Ia berupaya meyakinkan semua orang bahwa Rubens baik-baik saja, bahwa ia akan pulang seperti yang dijanjikan. 

Kadang Eunice harus berbohong kepada teman-temannya dan mengatakan bahwa Rubens, “Sedang dalam perjalanan bisnis.” Tapi situasi tak kunjung membaik baginya. Rubens hilang dan ia harus menerima itu. Eunice pun bersumpah untuk memperjuangkan Rubens dan keluarga mereka.

Baca juga: Kekuatan Perempuan yang Melawan dalam Film Laura: A True Story of a Fighter

Eunice ditampilkan sebagai sosok perempuan yang tangguh. Tentu ada bagian-bagian kehidupan yang membuatnya sedih, marah, dan frustasi. Kepedihannya mewujud dalam dialog-dialog tajam yang ia lontarkan. Ia juga mengalami pelecehan hingga penyiksaan. Akan tetapi, selebihnya ia tetap menjalani hidup dengan merawat ingatan. Tentang suaminya, tentang keluarganya yang pernah utuh, tentang rezim yang menghilangkan Rubens dari sisinya.

Sutradara juga tidak melulu menampilkan adegan pilu. Banyak kilas balik tentang kehidupan keluarga Paiva yang pernah baik-baik saja. Juga momen-momen ketika Eunice dan anak-anak saling menguatkan. Perjalanan itu mungkin panjang, tapi setidaknya ia tak selalu menyedihkan.

Sejak kali pertama Rubens dijemput paksa sampai 2014—linimasa terakhir dalam film ‘I’m Still Here’—Eunice terus berjuang mendapatkan kepastian tentang nasib Rubens. Lalu, apakah seperti banyak kisah pilu lainnya tentang penghilangan paksa, pertanyaannya membentur tembok-tembok penguasa yang takut mengakui dosa? Sayangnya, mungkin kita dapat menebak jawabannya.

Cerita yang Begitu Dekat dengan Indonesia

Menurut saya, memang sangat tepat menayangkan film ‘I’m Still Here’ di bioskop Indonesia. Bukan hanya karena ini film yang mengesankan. Dengan mengetahui sejarah kelam Indonesia dalam pelanggaran HAM berat, menonton film ini rasanya jadi sangat dekat. Terlalu dekat.

Ada berapa banyak rakyat Indonesia yang pernah dan sudah menjadi tahanan politik? Berapa aktivis, mahasiswa, seniman, hingga rakyat sipil yang diculik dan tak jelas keberadaannya sejak rezim masih diktator hingga kembali diktator hari ini? Berapa perempuan yang tiba-tiba dipaksa menjalani hidup dengan kehilangan, belum lagi mengalami penyiksaan dan pelecehan di tengah kesulitan itu? Ada berapa Eunice dalam rekam sejarah Indonesia yang berdarah-darah?

Eunice Paiva memang bukan tokoh fiktif; kisahnya adalah kisah nyata. Sayangnya, kisah Eunice juga merupakan kisah universal dari para perempuan lainnya yang menghadapi penghilangan paksa. Di Indonesia saja, kita tahu begitu banyak perempuan diculik, atau anggota keluarga atau kerabat dekatnya dihilangkan oleh pemerintah, karena motif politik pasca-1965. Jika menyebut sosok secara spesifik, ada Dyah ‘Sipon’ Sujirah, istri aktivis Wiji Thukul yang menanti kepastian atas hilangnya sang suami sejak 1998 hingga ia tutup usia pada 2023 lalu. Ada Genoneva Misiatini, ibu Petrus Bima Anugrah, yang wafat pada 2018 tanpa pernah tahu nasib anaknya yang diculik pada 1998. Juga banyak lainnya.

Baca juga: ‘Orde Baru Itu Masih Ada, Hanya Berganti Jas’: Film ‘Eksil’ Ceritakan Nasib Diaspora Penyintas 1965

Banyak pula perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan saat berusaha mendapatkan kejelasan atas nasib orang tercintanya. Para perempuan tertuduh dan keluarga tahanan politik 1965 punya testimoni mengerikan tentang hal itu. Seperti pula yang dialami Eunice, tidak ada keadilan bagi para perempuan yang menghadapi penghilangan paksa. Rezim berganti, politik bergulir, pengakuan sejarah dan perwujudan keadilan bagi perempuan selalu mangkir.

Maka, seperti Eunice Paiva, para perempuan ini tak diam. Mereka menjalani kehidupan yang berubah total sembari berpegang teguh pada tuntutan keadilan bagi diri dan keluarga mereka. Penghilangan paksa adalah upaya pembungkaman terhadap perempuan, maka mereka melawan itu semua.

Film ‘I’m Still Here’, meski mengisahkan tentang dinamika politik Brazil, begitu relevan dengan konteks sejarah Indonesia. Sebab mengingat juga adalah bentuk perlawanan, dan perempuan memilih untuk melawan.

Editor: Luviana Ariyanti

Foto: imdb.com

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!