Konferensi pers film 'Yang (Tak Pernah) Hilang' di kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat pada Jumat (21/6/2024). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’, Memorialisasi Penghilangan Paksa Aktivis 1998

IKOHI Jawa Timur meluncurkan film 'Yang (Tak Pernah) Hilang' sebagai memorialisasi kasus penghilangan paksa aktivis 1998. Ini film tentang Herman Hendrawan dan Bima Petrus Anugrah, serta aktivisme mereka hingga menjadi target penculikan Tim Mawar di pengujung rezim Orde Baru tahun 1998.

Seorang lelaki berjalan menyusuri gang kecil menuju sebuah rumah di pojok Jalan Kedung Tarukan, Surabaya, Jawa Timur. Seraya tangannya menyentuh dinding bangunan itu, masa beralih lampau; terlihat sekelompok mahasiswa berdiskusi alot mengenai rencana aksi mereka usai pembubaran paksa oleh aparat.

Bukan, itu bukan rekaman lawas. Hanya reka ulang adegan kegiatan para aktivis mahasiswa dalam film dokumenter ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’. Di antara para aktivis tersebut, ada Herman Hendrawan dan Bima Petrus Anugrah; dua mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya, yang pada tahun 1998 diculik oleh rezim Orde Baru dan sampai hari ini tak kunjung pulang.

Film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’ merupakan karya produksi Dandik Katjasungkana, Koordinator Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Jawa Timur. Macam-macam kegiatan para aktivis—terutama Herman dan Bimo (Bimpet)—hingga detik-detik hilangnya mereka hingga saat ini menjadi landasan pembuatan film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’. Pemutaran film ini di bioskop Epicentrum 2 Jakarta pada Sabtu (22/6/2024) dihadiri banyak orang. Di antaranya para anggota IKOHI, KontraS, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat, dan sebagainya. Ayah Bimo, Dionysius Utomo Raharjo, juga turut hadir menyaksikan film yang menceritakan tentang anaknya itu.

Intensitas aktivisme dan gerakan bawah tanah meningkat pada tahun 1990-an, kala Soeharto masih berkuasa sebagai presiden RI. Kendati rezim pada saat itu sangat represif dan otoriter, percik-percik bara perlawanan sudah menyala. Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugrah adalah dua dari banyak mahasiswa dan aktivis yang menjadi bagian dari percik api perlawanan itu—kemudian diculik menjelang akhir masa Orde Baru dan tidak kembali hingga kini.

Baca Juga: Di ‘Napak Reformasi’, Ada Murni dan Ruminah, Korban Mei 98 yang Masih Menunggu Anaknya Kembali

Herman dan Bimo alias Bimpet aktif mengorganisasi para mahasiswa untuk advokasi isu-isu perburuhan. Mereka juga kerap membicarakan tuntutan demokrasi dan keadilan bagi rakyat tertindas. Selain itu, Herman dan Bimo juga terlibat dalam pembentukan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Serta Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), dan Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

Aktivitas Herman dan Bimo banyak dilakukan di sebuah rumah di Jalan Kedung Tarukan. Para warga sekitar menilai, para mahasiswa di rumah itu baik-baik saja dan guyub dengan mereka. Maka mereka terkejut dan turut membela ketika polisi tiba-tiba datang menggerebek rumah perkumpulan mahasiswa di sana. Berbagai tuduhan disematkan pada kelompok mahasiswa ini: ‘pemberontak’, ‘terlibat PRD (Partai Rakyat Demokratik, yang sempat dilarang rezim Orde Baru)’, hingga ‘PKI’.

Herman dan Bimo: Aktif Sejak Remaja, Diculik, Lalu Hilang

Dandik dan kru film mewawancarai 35 narasumber untuk film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’. Kebanyakan dari mereka adalah kawan Herman dan Bimo sesama aktivis mahasiswa maupun pergerakan. Selain itu, tentu saja film ini dilengkapi dengan wawancara bersama orang tua dan anggota keluarga kedua orang itu. Serta kesaksian dari warga Kedung Tarukan terkait aktivitas keduanya bersama kelompok mahasiswa di Surabaya, sebelum pindah ke Jakarta.

Herman Hendrawan adalah pemuda kelahiran Pangkal Pinang, 29 Mei 1971. Sejak SMA, ia sudah aktif berorganisasi dengan mengikuti OSIS dan kelompok ilmiah. Aktivitasnya semasa remaja pun mendorong Herman untuk mengambil jurusan politik di Fisipol Universitas Airlangga. Para sahabatnya sejak duduk di bangku sekolah turut menjadi narasumber untuk film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’. Mereka mengatakan bahwa Herman adalah aktivis yang ramah dan gemar bergaul. Ia juga sangat peduli terhadap teman-temannya. Herman lalu memelopori pengorganisiran buruh di sekitar kawasan  industri Surabaya dan menjadi ketua PPBI Surabaya pada Januari 1996.

Baca Juga: Memeluk Perdamaian, Menerima dan Membuka Identitas, Mengakui Dosa Bangsa: Pengalaman Beragama Perempuan Penyintas Tragedi 1965

Kegiatannya berkelindan dengan aktivitas Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada 27 Juli 1996, terjadi peristiwa penyerangan aparat militer terhadap kantor PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri. PRD dan berbagai ormas di bawahnya dituding melakukan kerusuhan dan dilabeli terlarang. Hal itu membuat Herman CS mesti bergerak di bawah tanah. Di sisi lain, ia juga bergabung dalam Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD) dan menjadi Ketua Departemen Kerjasama.

Namun pergerakan Herman pada akhirnya dijegal Orde Baru. Herman terakhir kali terlihat pada acara jumpa pers KNPD di kantor YLBHI pada 12 Maret 1998. Ia diculik dalam operasi militer Tim Mawar bentukan Kopassus, yang berada di bawah komando Prabowo Subianto. Keluarga Herman baru menyadari anaknya hilang diculik ketika salah satu kawan Herman menelepon ke rumah mereka dan menanyakan keberadaan pemuda itu.


“Saya baru tahu Herman hilang ketika ada yang menelepon ke rumah. Bertanya, ‘Ibu, saya temannya Herman. Apa benar Herman pulang ke Pangkal Pinang?’ ‘Ndak ada’, saya bilang,” kira-kira itulah yang disampaikan ibu Herman dalam film.

Selain Herman, sejumlah aktivis lainnya juga diculik dan ditangkap sebelum akhirnya dibebaskan. Ada Raharjo Waluyo Jati, Nezar Patria, dan lainnya. Mereka sempat ditahan dan disiksa di lokasi yang sama sebagai korban penculikan Tim Mawar. Pengetahuan itu hadir ketika Jati bersaksi, ia mendengar Herman menyanyikan lagu ‘Widuri’ di salah satu sel. Sayang, kala Jati, Nezar, dan beberapa aktivis lainnya dilepaskan, tak ada Herman bersama mereka. Ia hilang hingga kini.

Baca Juga: 25 Tahun Reformasi: Stop Janji Kosong untuk Perempuan Dalam Tragedi Mei

Sementara itu, Bima Petrus Anugrah alias Bimo (Bimpet) lahir di Malang, 24 September 1973. Bimo adalah anak kedua dari empat bersaudara; orangtuanya, Dionysius Utomo Raharjo dan Genoniva Misiati. Dalam perjuangan mencari kepastian nasib anak mereka, Misiati berpulang terlebih dulu di tahun 2018. Sampai sekarang, ayahnya, Utomo, masih aktif menuntut tanggung jawab pemerintah dan mengungkap keberadaan Bimo.

Bimo berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Ia dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas dan kritis. Selama menjadi mahasiswa, ia bergabung dengan Kelompok Belajar Mentari (KBM) yang lalu berubah menjadi Komite Solidaritas Mahasiswa Universitas Airlangga (KSM-Unair). Organisasi ini lalu melebur bersama jaringan kampus di Surabaya menjadi Serikat Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Surabaya. Bimo pula yang mengorganisir aksi mogok makan di depan Gedung DPRD I Surabaya.

Tidak hanya vokal di basis jaringan pergerakan, Bimo yang menyukai musik juga menyuarakan protes sosial lewat kelompok musik. Ia bersama David Kris Baberock, Wisnu Wardhana, dan Christanto Wahyu membentuk band LONTAR pada tahun 1995. Lirik-lirik lagu mereka lantang mengkritik kekuasaan otoriter Soeharto sepanjang Orde Baru.

Perjuangan Bimo membela rakyat kecil membuatnya kerap ditangkap beberapa kali. Ia sempat ditangkap di Surabaya karena terlibat aksi buruh di Tandes Surabaya. Lalu Bimo pindah ke Jakarta usai didapuk menjadi Koordinator Departemen Pendidikan dan Propaganda di Pengurus Pusat SMID.

Saat hendak pindah ke Jakarta, Bimo berpamitan pada ibu dan ayahnya, Misiati dan Utomo. Sikap keduanya berbeda. Ketika Misiati melarang Bimo untuk pergi karena bahaya yang menantinya di ibu kota, Utomo justru memberikan restu. Sang ibu berat hati lantaran merasa Bimo harus tahu risiko-risiko yang harus ia hadapi di Jakarta.

Baca Juga: Tak Mudah Hidup Menjadi Perempuan Tionghoa

“Saya tanya, ‘apa kamu siap di Jakarta? Tahu apa yang mesti dihadapi di Jakarta? Kamu itu tahu enggak, siapa yang kamu lawan? Ibaratnya kamu itu membenturkan kepalamu ke tembok baja.’” Misiati mengulangi berbagai pertanyaan yang dilontarkannya kepada Bimo.

Sang anak lelaki menjawab bahwa ia sudah tahu konsekuensi atas keputusannya untuk tetap pergi ke Jakarta. Tuturnya kepada ibunya, “Kalau tidak ada yang berani, siapa lagi? Harus ada!”

Misiati juga ingat perkataan Bimo lainnya. “Bu, kalau tidak ada perubahan politik, mungkin besok generasi berikutnya tidak bisa lagi sekolah.”

Sementara itu, berbeda dari istrinya, Utomo justru merestui kepergian Bimo. “Enggak apa-apa berangkat,” Utomo mengulangi ucapannya kepada Bimo, dalam konferensi pers peluncuran film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’ di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2024).

“Bayangkan: ibunya melarang, bapaknya merestui. Jadi artinya, sampai saat ini saya pun menghargai berdarah-darahnya Bimo. Hanya sayangnya, seorang Bimo Petrus seperti itu dibantai, dimatikan.”

Tutur Utomo, sebetulnya ia sempat mendapatkan informasi tentang berbagai kekerasan yang dialami Bimo selama masa penahanan dari mantan Danjen Kopassus, Agum Gumelar. Dirinya juga mendengar kabar bahwa para mantan anggota Kopassus itu mengetahui lokasi para aktivis yang diculik itu kemudian dihabisi. Cerita ini, lanjut Utomo, juga muncul di novel fiksi ‘Laut Bercerita’ karya Leila S. Chudori: bahwa kabar angin mengatakan, para aktivis dihabisi dengan cara ditenggelamkan di laut.

“Sudahlah,” getir Utomo. “Sudah hilang—sudah dihilangkan. Dan bapaknya—maaf, ini, mungkin mengikhlaskan Bimo. Mau apa lagi? Mau saya cari ke mana? Ya sudah, lah.”

Baca Juga: Film ‘Pocong’ Dilarang Tayang Karena Ada Tragedi Mei 1998, Ini Seperti Sensor Ala Orba?

Kenangan tentang sosok Bimo bukan hanya dimiliki keluarganya. Para sahabat Bimo di basis gerakan pun mengenang pemuda itu sebagai sosok yang gigih berjuang sekaligus setia kawan. Bimo CS sempat terlibat dalam aksi-aksi mendukung Mega-Bintang dalam upaya melawan kediktatoran Soeharto di tahun 1997. Ia, bersama Herny Suwalang dan Ilhamsyah, tertangkap membawa selebaran Mega-Bintang-Rakyat pada suatu malam di jalanan Jakarta. Menurut pengakuan Ilhamsyah, saat itu aparat lantas membawa mereka ke sebuah halte terang dan mencaci-maki mereka di sana, sebelum membawa mereka ke Polda Metro Jaya.

Ilhamsyah sempat panik pada saat itu. Bimo-lah yang berusaha menenangkan kawannya agar tidak membuka jaringan pergerakan mereka. “Kalau mereka tanya, limpahkan ke saya,” Ilhamsyah menirukan kira-kira hal yang diucapkan Bimo kepadanya saat itu, dalam film tersebut. Ia tak kuasa menahan tangis. “Dia bilang kalau tas ransel ini akan diberikan ke orang yang pakai baju hitam, gambarnya Soekarno, di Blok M,” lanjutnya, mengingat pesan yang disampaikan Bimo agar diteruskan oleh Ilhamsyah dan Herny.

Bimo, Ilhamsyah, dan Herny dibebaskan usai penangkapan tersebut dengan jaminan dari Munir Said Thalib, yang saat itu jadi pengacara LBH Jakarta. Namun Bimo baru dinyatakan hilang pada tahun 1998, ketika gerakan mahasiswa lebih terbuka dan bersatu turun ke jalan menuntut reformasi. Saat itu, Tim Mawar dari Kopassus dibentuk untuk menculik para aktivis yang dituding sebagai motor penggerak mahasiswa melawan rezim. Bimo masuk daftar target penculikan tim tersebut, menurut kesaksian Jati dan Reza. Ia, seperti Herman, pun tidak kembali sampai detik ini.

Jika Ia Pulang…

Jika dapat bertemu lagi dengan sang anak, Bima Petrus Anugrah, bagaimana penampilannya dalam bayangan ayahnya?

“Saya tidak pernah membayangkan dia (di) umur 51 tahun,” jawab Dionysius Utomo Raharjo jujur.

Sejak Bimpet hilang di usianya ke-24, Utomo sudah tidak lagi menaruh harapan untuk dapat menemukan anaknya kembali. “Karena kehilangan Bimo Petrus itu… Bapaknya itu memberikan suatu dorongan moral. Memberikan izin,” ucap Utomo. Kala Bimo hendak bertolak ke Jakarta untuk meneruskan perjuangannya, Utomo berkata kepada sang anak lelaki: “Kalau itu pilihanmu, benar dan baik untuk orang lain, berangkatlah kamu ke Jakarta.”

Padahal, ada empat kondisi yang sangat kentara menanti Bimo dan aktivismenya di masa-masa represif itu. Utomo menyebutnya sebagai ‘4B’—’buru, bui, buang, bunuh’. Itulah gambaran nasib yang hampir pasti menghantui para aktivis yang melawan rezim Orde Baru.

Baca Juga: Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan

Sesuai judul filmnya, Utomo melanjutkan, ada hal-hal yang takkan pernah hilang meski anaknya diculik. “Dari ingatan, dari catatan, sampai kapan pun tidak pernah hilang sebelum mereka ditemukan,” tegasnya. “Dari perjuangan mereka enggak pernah hilang.”

Ibu Bimo, Genoneva Misiati, telah wafat sejak tahun 2018. Namun harapan untuk mendapatkan kepastian atas nasib anaknya tak lekang oleh waktu.

“Ibu selalu memanjatkan doa untuk Bima,” kata Misiati suatu hari, seperti dikutip dari tabloid ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’ terbitan IKOHI. “Yang kami butuhkan selama ini hanya satu, kepastian. Kalau memang masih ada sekarang, ada di mana?”

Film Sebagai Memorialisasi

Yang (Tak Pernah) Hilang’ lahir saat situasi politik dan HAM di Indonesia mengalami degradasi. Film ini merupakan memorialisasi yang mengingatkan publik, terutama generasi muda, bahwa korban-korban penculikan aktivis 1998 belum ditemukan dan mendapatkan keadilan.

Judul ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’ punya makna sendiri. Meski Herman Hendrawan dan Bima Petrus Anugrah dinyatakan hilang, perjuangan mereka dalam menegakkan demokrasi di Indonesia tak lantas turut raib. Film ini dibuat dengan tujuan tetap menghidupkan perjuangan para aktivis dengan agenda Reformasi.

Produser film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’, Dandik Katjasungkana menjelaskan, film ini digagas sejak 2019 oleh kawan Herman dan Bimo. Film ini dikerjakan secara ‘estafet’ oleh sutradara Hari Nugroho dan Anton Subandrio. Hari Nugroho wafat akibat serangan jantung pada 2020 dan digantikan oleh Anton Subandrio. Butuh waktu lama untuk memproduksi film ini sebab terkendala masalah dana. Akhirnya film dikerjakan dengan cara patungan, lewat penjualan kaos untuk menggalang dana, serta sumbangan dari kawan-kawan alumni Unair dan aktivis tahun 1990-an yang mengenal Herman dan Bimo.

Baca Juga: ‘Tiap 5 Tahun Kami Dibohongi, Janji Manis Tak Dipenuhi’ 17 Tahun Aksi Kamisan

Film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’ juga dimaksudkan sebagai memorialisasi oleh IKOHI. Memorialisasi tersebut menjadi bentuk pemulihan kolektif dan simbolik atas kasus pelanggaran HAM berat di tahun 1997-1998. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebut, memorialisasi bertujuan untuk memberikan ruang bagi korban untuk menjelaskan masa lalu. Serta mengajak masyarakat untuk mengenang pengalaman masa lalu sebagai upaya untuk mencegah keberulangan.

“Ini semua tidak bisa dilakukan sama sekali oleh negara. Dan mungkin inilah saatnya gerakan masyarakat sipil untuk melakukan suatu inisiatif-inisiatif tertentu, dalam mendorong penuntasan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia,” ujar Lilik HS dari Persaudaraan IKOHI dalam konferensi pers di kantor KontraS, Jumat (21/6/2024).

Lanjutnya, mewujudkan pengadilan HAM ad hoc oleh masyarakat sipil memang sulit. Tapi ada berbagai cara lain yang bisa ditempuh untuk melakukan truth-seeking initiative atau pencarian kebenaran atas inisiatif masyarakat sipil.

“Tentunya bisa melalui film. Bisa melalui karya sastra, bisa melalui lagu, dan lain sebagainya. Yang bisa kita terus menerus siarkan kepada publik, siarkan kepada sesama rekan kita. Kepada teman-teman kita, bahkan ke keluarga kita,” Lilik menuturkan. “Agar kemudian publik itu tidak menelan mentah-mentah apa yang dilakukan oleh negara hari ini untuk menguburkan narasi sejarah tersebut.”

Baca Juga: ‘Orde Baru Itu Masih Ada, Hanya Berganti Jas’: Film ‘Eksil’ Ceritakan Nasib Diaspora Penyintas 1965

Sebagai produser, Dandik sesungguhnya berharap pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat mau bertanggungjawab dan menyelidiki kembali kasus penghilangan paksa. Film ‘Yang (Tak Pernah) Hilang’ bisa memperkaya informasi untuk melengkapi data-data dan kesaksian yang dibutuhkan dalam penyelidikan. Ini mungkin dapat memperkuat tindak lanjut kasus secara yudisial.

Namun, Dandik realistis: harapan itu sulit terwujud. Maka ia lebih memfokuskan film ini agar dapat menginspirasi orang muda. ”Film ini secara khusus itu ditujukan untuk menyapa anak-anak muda untuk belajar tentang peristiwa kemanusiaan di masa lalu,” kata Dandik.

(Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!