Kalau Kamu Korban KDRT, Kamu Bisa Jadi Saksi Dalam Proses Pembuktian

Kasus KDRT marak. Kalau kamu korban, UU PKDRT memastikan kamu bisa jadi saksi dalam proses pembuktian. Ini terobosan hukum dalam pembuktian untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo kakak di Klinik Hukum Perempuan, saya mau tanya tentang proses pembuktian terhadap kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Apakah sama dengan proses pembuktian terhadap kasus-kasus kekerasan pada umumnya? (Adinda, Bali).

Jawab:

Halo Adinda, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami akan mencoba menjawab dua pertanyaan yang diajukan di atas. Tetapi sebelum kami jawab dua pertanyaan tersebut, izinkan kami memberikan penjelasan singkat tentang KDRT sebagai sebuah bentuk kekerasan yang khusus. KDRT ini banyak menimpa pihak perempuan sebagai korban dan lebih banyak ditemukan di ruang-ruang privat serta intim dalam keluarga.

Sejak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disahkan maka negara Indonesia telah mengakui bahwa KDRT adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.

Untuk itu para korban KDRT yang kebanyakan adalah perempuan harus mendapatkan perlindungan dari negara atau masyarakat. Agar korban KDRT terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Hal ini juga dimandatkan oleh CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan[1]. Undang-undang ini merupakan penerapan prinsip pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

Baca Juga: Yang Perlu Kamu Tahu: Apakah Cedaw dan Siapa Perempuan Indonesia Di Komite CEDAW?

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir ke-1 UU PKDRT, definisi KDRT adalah: “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Sedangkan definisi Penghapusan KDRT/PKDRT sesuai ketentuan Pasal 1 butir ke-2 UU PKDRT adalah: “jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga”.

Ruang lingkup dari UU PKDRT ini menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PKDRT, meliputi:

a.   Suami, istri, dan anak.

b.   Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c.   Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Terobosan Hukum Dalam UU PKDRT

Dengan melihat karakteristik kasus-kasus KDRT yang terjadi di ruang-ruang privat terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan yang intim, maka proses penyelesaian kasus-kasus KDRT juga memerlukan tindakan serta upaya yang berbeda dengan penanganan terhadap kasus-kasus kekerasan pada umumnya.

Hal ini terlihat dari proses pembuktian yang diterapkan dalam proses penyelesaiannya, yaitu sesuai ketentuan Pasal 55 UU PKDRT. Bunyinya: “sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.

Ketentuan Pasal 55 UU PKDRT ini menjadi sebuah terobosan hukum dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya untuk sistem hukum acaranya. Karena dengan hanya mengakui satu keterangan saksi/saksi korban dalam proses pembuktian telah memberikan upaya hukum yang berbeda dengan ketentuan hukum acara pada umumnya. Yakni ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menetapkan alat bukti yang sah meliputi: “(a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa”.

Sementara terkait Kesaksian diatur dalam Pasal 185 KUHAP, yaitu: (a) Pasal 185 ayat (1) KUHAP: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang peradilan”. Dan (b) Pasal 185 ayat (2) KUHAP: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. 

Baca Juga: Sikap Orang Muda terhadap KUHP: Banyak Pasal Bermasalah dan Tidak Berkeadilan

Maksud keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan yang diberikan di sidang, keterangan saksi di muka penyidik bukanlah alat bukti. Prinsip Unus Testis Nullus Testis atau yang berarti: “Satu saksi bukan saksi” dianut dalam KUHAP.

Saksi sendiri jika merujuk kepada ketentuan dari Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

KUHAP ternyata hadir tidak bisa memformulasikan peristiwa pidana dan membuat terang atas terjadinya sebuah tindak pidana. Teori pidananya, bahwa sebagian besar kasus-kasus KDRT terjadi di ruang-ruang privat atau tertutup. Akibatnya pembuktian terhadap kasus-kasus KDRT sangat minim alat bukti dan minim saksi.

Baca Juga: Aktivis: Pengesahan UU KUHP Merupakan Pukulan Mundur untuk Perempuan dan Demokrasi 

Oleh karena itulah kehadiran UU PKDRT menjadi bagian penting, serta mendobrak sistem hukum yang ada. Hal ini kemudian menjustifikasi lahirnya UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Sistem pembuktian dengan keterangan saksi menjadi formula penting untuk menentukan peristiwa pidana yang ditetapkan oleh UU PKDRT menjadi terobosan hukum dalam pembuktian untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Karena sistem hukum yang diterapkan dalam KUHAP belum berpihak kepada korban (khususnya pihak perempuan korban).

Ketentuan yang ada dalam KUHAP belum memberi ruang terhadap perempuan Ketika berhadapan dengan hukum. Akibatnya masih banyak penegak hukum yang juga belum memiliki sensitivitas dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Pentingnya Perubahan Perspektif Aparat Penegak Hukum

Hambatan terbesar minimnya pengaduan kasus KDRT yang dapat diputus di pengadilan adalah ketentuan pasal-pasal dalam UU PKDRT belum terimplementasi dengan maksimal. Dan salah satu pasal yang sampai sekarang belum terimplementasi dengan baik adalah Pasal 55 UU PKDRT tentang pembuktian. Yakni satu saksi/saksi korban dan satu alat bukti yang sah sudah dapat menghukum terdakwa. Banyak aparat penegak hukum (APH) beranggapan bahwa untuk kesaksian tidak dapat hanya menghadirkan satu saksi/saksi korban saja.

Karena itulah keberadaan UU PKDRT diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang atau perspektif APH. Ini lantaran melalui UU PKDRT para APH dapat menerapkan sistem hukum yang berpihak kepada para korban. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1 poin ke-2 UU PKDRT ditetapkan tentang pengertian dari PKDRT adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT.

Baca Juga: Terduga Pelaku Teror Keluarga Korban Perkosaan Anak, Begini Cara Menghadapinya

UU PKDRT merupakan pembaruan hukum yang berpihak kepada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat.

UU PKDRT sudah mengatur secara lengkap soal pembuktian dan kesaksian. Pengaturannya sudah sangat khusus untuk kasus-kasus KDRT. Aturan untuk pembuktian dan kesaksian terhadap kasus KDRT sesuai dengan ketentuan dari Pasal 55 UU PKDRT: “sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami istri adalah pengakuan terdakwa”.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Semoga, kasus-kasus KDRT yang banyak terjadi dapat ditangani atau diproses dengan menggunakan ketentuan hukum yang ada dalam UU PKDRT. Dan yang terpenting adalah para korban KDRT dapat memperoleh perlindungan hukum secara adil oleh APH.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email ke Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669. 

Editor: Anita Dhewy 

Danielle Johanna

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!