Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.
Tanya:
Halo, Klinik Hukum Perempuan. Perkenalkan, Saya Akila. Kemarin, saya membaca penyerangan yang dilakukan oleh pelaku dan puluhan massa lainnya yang terjadi di Minahasa Utara. Keluarga korban mengalami luka-luka dan menjadi khawatir akan terjadinya penyerangan lagi oleh pelaku. Kenapa ini bisa terjadi dan apakah pelaku bisa dijauhkan dari korban dan keluarganya agar korban hidup aman?
Jawab:
Halo, Akila. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Dari berita yang kita baca, tentu kita dapat merasakan ketakutan korban dan keluarga korban menghadapi situasi ini. Apalagi ini bukan kali pertama terduga pelaku melakukan teror hingga ancaman pembunuhan pada keluarga korban. Kini, bukan hanya korban yang hidup jauh dari rasa aman tapi juga keluarga korban. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Dampak Buruk Penanganan Kekerasan Seksual
Dilansir dari Konde.co, Mawar (bukan nama sebenarnya), seorang anak perempuan berumur 14 tahun, diperkosa oleh 9 orang laki-laki. Kekerasan seksual itu terjadi dalam rentang pertama pada November dan Desember 2023, dan rentang kedua pada Januari 2024 lalu di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sembilan orang terduga pelaku ini terdiri dari 4 anak dan 5 orang dewasa, namun hanya 1 orang yang ditangkap. Mawar dipaksa dan dibujuk, lalu diperkosa. Perkosaan itu mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Mawar kini telah melahirkan dan tinggal bersama anak dan keluarganya.
Di tengah lingkungan tempat tinggal Mawar, perkosaan yang terjadi tidak dianggap sebagai kekerasan seksual. Konstruksi patriarki yang selama ini terbangun adalah mewajarkan laki-laki memperkosa perempuan. Di tengah lingkungan patriarki itu, keluarga Mawar melawan dengan menggunakan haknya untuk melaporkan kekerasan yang terjadi ke kepolisian. Upaya melawan kekerasan seksual ini bukanlah hal yang mudah, meskipun UU TPKS sudah ada sejak April 2022. Banyak hak Mawar dan keluarganya yang tidak terpenuhi, dari hak penanganan sampai dengan hak pelindungan.
Sejak 30 September 2024, Putusan telah dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Airmadidi. Meskipun telah diputus, dampak kekerasan seksual masih dirasakan oleh korban dan keluarganya. Pada, 01 Februari 2025, pukul 00.00 WITA, keluarga korban kekerasan seksual mendapat serangan dari puluhan massa yang melempar batu ke rumah keluarga korban. Salah satu dari puluhan massa tersebut juga mengancam akan membunuh keluarga korban. Di antara massa itu terdapat salah satu terduga pelaku kekerasan seksual inisial AL yang saat ini berkasnya masih tahap lidik di Polres Minahasa Utara.
Baca Juga: Femisida Terjadi Lagi, Gimana Hukum Indonesia Mengatur Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Perempuan Berbasis Gender?
Penyerangan yang terjadi adalah dampak dari buruknya penanganan kekerasan seksual. Aparat Penegak Hukum (APH) seharusnya mampu memahami kondisi dan kebutuhan korban. Mengingat UU TPKS jelas menyebutkan bahwa APH yang menerima laporan kekerasan seksual harus punya kompetensi. Yaitu kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban.
Dalam kasus ini sangat disayangkan APH gagal menggali dan melihat ancaman/potensi kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan. Padahal sejak awal sudah diketahui di lingkungan tempat tinggal korban dan keluarganya, perkosaan yang terjadi tidak dianggap sebagai kekerasan seksual. Karena itu laporan kekerasan seksual akan dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat setempat.
Wajar kalau keluarga korban menjadi cemas dan khawatir pelaku akan menyerang lagi. Karena itu keluarga korban berharap polisi bisa menindak tegas para pelaku penyerangan dan meminta jaminan keamanan agar tidak terjadi hal serupa. Bagaimana kepolisian melindungi korban dan keluarga korban kekerasan seksual? Apakah diperlukan perintah pembatasan/perlindungan untuk menjamin keamanan korban kekerasan seksual?
Perintah Pembatasan/Perlindungan Pada Korban Kekerasan Seksual di Indonesia
Secara sederhana, Perintah Pembatasan (Restraining Order) atau Perintah Perlindungan (Protective Order) adalah perintah agar pelaku kekerasan menjauhkan diri dari korban dalam jarak dan waktu tertentu. Praktiknya, penetapan yang dikeluarkan pengadilan untuk membatasi atau mencegah pelaku agar tidak melakukan perbuatan tertentu baik untuk sementara maupun permanen. Misalnya:
a. Berhenti mengganggu atau menyerang korban dan anggota keluarganya.
b. Menjauhkan pelaku dari tempat tinggal, sekolah atau tempat kerja korban dan keluarga korban.
c. Berhenti mengontak atau menghubungi korban dan anggota keluarganya untuk menghindari terjadinya intimidasi.
Di Indonesia, Restraining/Protective Order pertama kali diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang dikenal sebagai ‘penetapan kondisi khusus’. Ketentuan ini meliputi pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi korban.
Penetapan kondisi khusus ini diajukan melalui permohonan perintah perlindungan yang disampaikan ke pengadilan baik oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani dengan persetujuan korban. Meskipun dalam keadaan tertentu permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
Baca Juga: Pergub DKI Jakarta 2/2025: Benarkah Mengatur Poligami atau Justru Mendiskriminasi Perempuan?
Lalu, apakah korban kekerasan seksual dan keluarganya membutuhkan Perintah Pembatasan (Restraining Order) atau Perintah Perlindungan (Protective Order)?
Ya, jika berkaca pada kasus penyerangan ini dan dampak kekerasan seksual yang meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik juga sangat memengaruhi hidup korban serta keluarganya, tentu perintah pembatasan/perlindungan sangat dibutuhkan.
Bayangkan dari 9 orang pelaku, hanya 1 pelaku yang dipidana, 4 orang dewasa lainnya yang menjadi tersangka masih bebas dan tinggal di sekitar korban dan keluarganya. Tidak adanya pembatasan ini menimbulkan potensi terjadinya kekerasan dalam bentuk lain.
Untungnya UU TPKS telah mengatur adanya Restraining/Protective Order. Bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan dan ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melakukan tindak pidana kekerasan seksual, intimidasi, ancaman, dan/atau kekerasan kepada korban dan berdasarkan permintaan korban, keluarga, penyidik, penuntut umum, atau pendamping, hakim dapat mengeluarkan penetapan pembatasan gerak pelaku. Baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku (Pasal 44 ayat 1 UU TPKS).
Namun, penetapan pembatasan gerak pelaku diberikan dalam waktu paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang sebanyak 1 kali untuk waktu paling lama 6 bulan (Pasal 44 ayat 2 UU TPKS). Sedangkan penyerangan bisa terjadi setelah habis masa penetapan pembatasan gerak sehingga perlu dipertimbangkan kembali untuk memberikan opsi pembatasan secara permanen ke depannya.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Terhadap Turis Mancanegara Kembali Terjadi, Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi Perempuan WNA?
Selain dalam Pasal 44 ayat 1 UU TPKS, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam upaya pemulihan korban dengan memberikan pertolongan darurat kepada korban. Selain juga membantu pengajuan perlindungan karena menciptakan lingkungan bebas dari kekerasan adalah tanggung jawab bersama.
Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) melalui bit.ly/FormAduanKAKG atau email: konsultasi@advokatgender.org.
Editor: Anita Dhewy