Kekerasan Seksual Di Depok: Terduga Pelakunya Anggota DPRD, Aktivis Desak Pencopotan

Kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan anggota DPRD Kota Depok masih dalam proses penyidikan. Korban kini dalam perlindungan LPSK, dan berhenti sekolah. Sementara aktivis perempuan desak Ketua DPRD Depok dan Ketua umum PDIP mencopot terduga pelaku.

Sebuah pesan masuk lewat akun media sosial Sahat Farida, pendiri Paralegal Depok, komunitas yang selama ini melakukan pendampingan kepada perempuan dan anak korban kekerasan, pada Jumat (27/9/24) pagi.

Ketika Sahat Farida menghubungi balik si pengirim pesan lewat telepon, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, sebelum akhirnya sambungan telepon terputus.

“Ibu aku takut”

Sahat Farida menyampaikannya pada Konde.co, pesan itu dikirim oleh Asa (bukan nama sebenarnya), seorang anak berumur 15 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan RK, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok.

Setelah korban menyampaikan via telepon dan menyatakan bahwa dirinya merasa takut, pendamping korban baik dari LBH APIK Jakarta dan Tim Paralegal Depok, tidak lagi bisa menghubungi korban.

Kasus kekerasan seksual yang dialami Asa dilaporkan ke Polresta Kota Depok pada 22 September 2024. Proses pelaporan kasus ini dibantu oleh Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat PDI Perjuangan Kota Depok. Namun sebelum ke proses litigasi (jalur hukum), laporan kasus ini sudah lebih dulu masuk ke meja Paralegal Depok dan LBH APIK Jakarta.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Di Sekitar Pilkada, Para Calon Kepala Daerah Terduga Pelakunya

Laporan ke kepolisian kemudian berkembang dengan pemeriksaan. Dari pemeriksaan yang dilakukan, Kapolres Metro Depok, Kombes Arya Perdana menjelaskan bahwa orang tua korban dengan terduga pelaku, yaitu RK sudah saling kenal. Awalnya, orangtua korban yang mengenalkan Asa pada RK untuk mencari informasi sekolah, namun tidak menyangka jika setelah itu Asa malah menjadi korban.

Pada pemeriksaan pertama pasca pemeriksaan visum et repertum dan pemeriksaan psikologi di RS Polri, Sahat sebagai pendamping korban masih dapat mendampingi korban dan pelapor (ibu korban). Namun pada pemeriksaan tambahan, penyidik tidak menginformasikannya kepada pendamping, bahkan Sahat Farida dan Tim Paralegal Depok tidak diizinkan untuk mendampingi korban.

Pemeriksaan tambahan dilakukan pada Kamis 26 September 2024. Kepolisian langsung datang menjemput korban untuk melakukan pemeriksaan di Polresta Depok. Pemeriksaan berlangsung tertutup dan dilakukan di ruangan Kanit.

Pada hari pemeriksaan tambahan ketika korban tidak boleh didampingi, belakangan Paralegal Depok mendapat informasi bahwa pelapor bertemu dengan RK, di kantor Polresta Depok. Setelah itu keesokan harinya pada Jumat 27 September 2024, korban “menghilang”.

Baca Juga: Jadi Korban KBGO Karena Mendapat Kiriman Konten Seksual, Tapi Kenapa Malah Dikriminalisasi?

Pada 1 Oktober 2024, korban akhirnya “kembali” ke Depok. Kepada pendamping korban menyampaikan ingin agar proses hukum terus dilakukan. Sebelumnya saat pemeriksaan tambahan (26/9/24) korban diwakili ibu kandung dan kakak kandung, difasilitasi oleh penyidik, bertemu dengan pelapor. Pada pertemuan itu disepakati ‘damai’ untuk kasus ini.

Oleh penyidik, korban disuruh pergi jauh dari Depok, memulai hidup baru di kota lain. Penyidik bahkan menekankan, tidak akan ada yang membantu korban jika korban tetap di Depok. Namun, korban tidak mengerti mengapa harus dia yang pergi meninggalkan kota tempat kelahirannya, kota tempat dia bersekolah.

Korban juga tidak mengerti, sebagai anak yang lahir dan tumbuh di kota Depok, yang membangga-banggakan sebagai kota layak anak, mengapa tidak ada yang akan membela dia dalam masalah ini, seperti yang disampaikan penyidik.

Jaringan Masyarakat Sipil Desak Ketua DPRD Depok dan Ketum PDIP Bersikap Tegas

Dalam situasi tersebut Sahat Farida kemudian membuat rilis dan mengirimkannya ke sejumlah pihak. 

Tanggapan datang dari aktivis perempuan yang kemudian sepakat untuk menggelar pertemuan membahas kasus tersebut. Hasil pertemuan itu menyepakati sejumlah aktivis dan organisasi non pemerintah yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil memantau kasus dengan mendorong upaya non litigasi atau penanganan dengan cara-cara di luar pengadilan.

Jaringan Masyarakat sipil kemudian mengirim surat desakan ke Ketua DPRD Kota Depok dan Ketua Umum PDIP Perjuangan. Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), yang tergabung dalam jaringan tersebut, Mike Verawati menuturkan desakan dimaksudkan agar kedua pihak tersebut mengambil sikap tegas terhadap RK.

“Surat kami layangkan ke PDIP terutama Ketua Umum, Ibu Megawati supaya menindaklanjuti kasus ini. Anggota DPRD ini harus diproses, kalau perlu dicopot dari jabatannya, karena dari pernyataan korban, terduga pelaku sudah melakukan kekerasan seksual,” papar Mike Verawati kepada Konde.co Kamis (21/11/24).

Baca Juga: Belajar dari Kasus Kekerasan Seksual Panti Asuhan: Masyarakat Bisa Berperan dalam Perlindungan Anak

Desakan serupa juga disampaikan kepada Ketua DPRD Kota Depok, Ade Supriyatna. 

“Kami juga minta supaya terduga pelaku ini diproses dan dicopot dari jabatannya,” tambah Mike Verawati.

Surat dikirim ke kantor DPRD Kota Depok dan ke kantor DPP PDIP Perjuangan pada akhir Oktober 2024. Dari kedua instansi tersebut Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) menerima tanda bukti penerimaan surat.

Dalam surat tersebut Jaringan Masyarakat Sipil memaparkan temuan kasus yang diduga dilakukan oleh RK. Surat itu juga memuat dasar-dasar acuan sebagai pertimbangan penanganan kasus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA), paparnya.

Surat tersebut juga disertai dengan lampiran yang menjelaskan kronologi kasus, ada sekitar 8 poin kronologi. Mulai dari munculnya kasus, hingga proses penanganan dan advokasi yang sudah dilakukan. Seperti pelaporan ke kepolisian dan penguatan psikologis.

Selanjutnya surat tersebut memuat desakan kepada Megawati selaku Ketua Umum PDIP untuk memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Kalau salah satu kader partai bertindak buruk dan PDIP sebagai partai politik membiarkan, artinya partai juga ikut buruk. Jaringan Masyarakat Sipil juga menuntut parpol agar punya prinsip profesionalitas. Hendaknya parpol memproses tanpa pertimbangan-pertimbangan lagi mengingat kasusnya sudah jelas, begitu juga dengan kronologinya apalagi laporannya sudah masuk ke kepolisian.

Baca Juga: Perkosaan Anak di Manado: Sampai Korban Melahirkan, 8 Pelaku Belum Ditangkap, Aktivis Ajukan Amicus Curiae

“Semua itu seharusnya tidak boleh menjadi sebuah hambatan lagi karena ada pertimbangan oh ini mungkin sedang ingin menjatuhkan. Tidak, kalau menjatuhkan kan tidak ada dasar datanya. Nah ini sudah berbasis data, kasus pelaporan sudah ada termasuk nomor laporan ke polisinya,” urai Mike.

“Paling penting permintaan kami, PDIP memecat atau kita bilang memberlakukan sanksi tegas dengan memberhentikan si pelaku,” katanya.

Terduga Pelaku Diperiksa, Korban Berhenti Sekolah

Sementara itu proses pemeriksaan kasus sudah sampai pada tahap penyidikan. Pada Rabu (13/11/24) penyidik Polresta Kota Depok memanggil terduga pelaku untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi. 

Sejauh ini Sahat mengaku pihaknya belum mendapat informasi lebih lanjut terkait hasil pemeriksaan terduga pelaku.

“Dari kepolisian menginformasikan akan menetapkan tersangka di awal November 2024. Namun sampai hari ini kita belum dapat kabar soal penetapan tersangka,” ujar Sahat kepada Konde.co pada Selasa (19/11/24).

Sementara itu terdapat pergantian Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Kota Depok pada Kamis (14/11/24) lalu. Sahat mengungkapkan mendapat informasi soal pergantian jabatan tersebut dari Kanit PPA sebelumnya

“Dari pihak penyidik juga masih melakukan kerja-kerja agar proses pemeriksaan ini bisa memenuhi semua unsur yang diwajibkan,” tuturnya.

Baca Juga: ‘Menyingkap Rok sampai Mencubit Payudara’ Stop Normalisasi Kekerasan Seksual di Sekolah 

Sementara korban saat ini berada dalam lindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Karena itu semua kegiatan terkait pemeriksaan hukum yang berjalan dikoordinasikan dengan LPSK.

Pada Selasa (19/11/24) korban menjalani pemeriksaan psikologi khusus di RS Polri. Pemeriksaan ini diperlukan setelah dari proses pemeriksaan yang dilakukan sebelumnya ada kebutuhan untuk pemeriksaan psikologi khusus.

“Jadi sudah ada visum et repertum dan setahu kami juga sudah ada visum psikiatricum. Dari perkembangan lidik dan sidik ini ada kebutuhan pemeriksaan psikologi khusus. Saya juga belum paham komponen-komponen dari pemeriksaan psikologi khusus itu apa saja,” kata Sahat Farida.

Baca Juga: Viral Kasus Perkosaan dengan Pelaku Anak dan Orang Dewasa, Bagaimana Penanganan Hukumnya?

Korban saat ini berhenti sekolah. Di awal kasus ini setelah Paralegal Depok menerima pengaduan, Sahat membantu proses kepindahan sekolah korban demi keamanan dan keselamatan korban. Setelah pindah sekolah, korban sempat mengikuti pelajaran sebentar.

Namun saat korban “menghilang” ia tidak bisa sekolah sehingga korban absen untuk beberapa waktu. Kondisi ini membuat pendamping terpaksa menarik kembali berkas pendaftaran di sekolah yang baru. Korban saat ini belum bisa kembali bersekolah.

Konde.co lalu menghubungi Kasi Humas Polresta Kota Depok, AKB Hendra untuk menanyakan perkembangan kasus ini via pesan singkat. Hendra membalas dengan mengatakan.

“Saya tanya penyidik yang menangani dulu ya mbak.” 

Namun ketika Konde.co mengonfirmasi kembali, Hendra tidak memberikan tanggapan hingga berita ini dipublikasikan. Sampai saat ini para aktivis masih menunggu polisi menetapkan RK untuk dijadikan tersangka, pada November 2024 ini.

Artikel ini adalah bagian dari serial #BukanCumaSimbol yang mendorong representasi perempuan yang substantif dalam politik.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!