Kamila Andini, sutradara film “Yuni” menyatakan, bahwa di dalam film ia kemudian belajar tentang dunia perempuan dan feminisme. Film adalah subjek yang selama ini menggerakkan hidupnya.
“Bahasa ekspresi saya adalah bahasa audio visual dan story telling. Saya suka bicara yang tidak bisa dibicarakan dan kadang di bawah permukaan, jadi saya melakukan proses dan merasakan. Jadi film adalah medium yang membuat saya bisa bicara dengan banyak elemen, dan itu adalah menariknya film.”
Kamila Andini menyutradarai film pertamanya Rahasia Dibalik Cita Rasa pada tahun 2002. Filmnya pada tahun 2011, The Mirror Never Lies berhasil memenangkan Piala Citra untuk Cerita Asli Terbaik. Ia juga menerima penghargaan khusus sebagai sutradara pendatang baru terbaik. Film tersebut juga memenangkan berbagai penghargaan internasional. Seperti Festival Film Internasional Tokyo, Festival Film Internasional Hong Kong, dan Festival Film Internasional Berlin. Pada tahun 2017, ia menyutradarai film Sekala Niskala Yang berhasil kembali masuk nominasi Piala Citra di FFI 2018. Film tersebut juga dinominasikan di Festival Film Internasional Toronto, Festival Film Internasional Shanghai, dan Festival Film Internasional Berlin.
Kamila Andini merasa, kerjanya selama ini sangat dipengaruhi oleh elemen-elemen yang ia pelajari di film. Antara lain: dialog, kostum, make up, lighting, produksi desain, tata kamera dan semuanya yang bisa bicara dengan tata caranya masing-masing.
“Keharmonisan ini yang saya bilang tertarik untuk dieksplorasi.”
Baca Juga: Film ‘Mudik’, Ketika Pulang Kampung Bikin Perempuan Menanggung Beban Sosial
Kamila Andini menyatakan ini dalam diskusi berjudul “Estetika Film Feminis” yang diselenggarakan Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) pada 9 Maret 2025 melalui online. Acara ini digagas SPP dalam merayakan Hari Perempuan Internasional 2025. Tujuannya agar melalui percakapan, perempuan dengan lingkungan atau pekerjaannya kemudian bisa mengetengahkan bagaimana pemikiran perempuan, dalam hal ini di naskah film dan bagaimana film feminis membongkar dan melawan penindasan gender, kelas dan ras dan melawan narasi imperial.
“Dan bagaimana estetika film feminis meruntuhkan hirarki penguasa. Serta melihat bagaimana feminis membongkar nilai-nilai ini. Juga bagaimana secara praksis berkarya dan membagikannya secara kolaboratif,” kata Intan Paramaditha, pengelola SPP yang menjadi moderator acara ini.
Kamila Andini belajar feminisme dari film. Ia mengakui bahwa selama ini ia banyak mendapatkan privilege untuk belajar di dunia film dari ayahnya, seorang sutradara film, Garin Nugroho.
“Film adalah sekolah bagi saya untuk belajar soal feminisme. Saya bertumbuh sebagai perempuan dalam karya-karya saya selanjutnya. Proses pembuatan film adalah fase hidup saya sambil mempelajari perempuan dan memahami perubahan dunia dari waktu-waktu.”
“Waktu kuliah saya belajar persoalan sosial dan saya mencintai seni sejak kecil. Walau saya tidak begitu suka tentang pelajaran dan lebih banyak menghafal. Saya sangat privilege dan mendapatkan banyak pendidikan seni di rumah. Karena ayah saya mendekatkan saya kesana dan cukup progresif bicara soal seni, budaya dan antropologi. Tapi keluarga saya juga konvensional yang bicara soal feminisme, jadi pelajaran soal ini tidak sederhana dan tidak cepat.”
Baca Juga: Misteri Kematian Paus dalam ‘Conclave’, Ada Peran Biarawati Walau Tampil Tipis
The Mirror Never Lies adalah film pertama panjang Kamila yang bercerita tentang seorang anak yang kehilangan ayahnya di Suku Wajo Wakatobi. Umurnya kala pembuatan film itu masih 23 tahun. Waktu itu belum begitu tahu kekuatan dan kelemahan dalam pembuatan film.
“Semua orang berekspektasi karena saya adalah anaknya filmmaker dan ini pressure untuk saya.”
Disitulah dalam hari-hari berikutnya, Kamila Andini mulai berpikir tentang pentingnya memunculkan karakter perempuan.
“Tapi bicara soal perempuan itu bukan secara intens di dalam diri saya. Walau saya juga ingin ada perempuan dalam karakter saya dalam film itu, dalam diri anak perempuan ke bapaknya. Memang sulit mencari tokoh anak perempuan, lebih mudah mencari aktor anak laki-laki. Tapi saya menemukan anak perempuan dan saya dekati akhirnya ia mau, saya kemudian menemukan koneksi sebagai kreator dengan pemain saya. Di balik ketidaktahuan saya karena saya masih pemula, tapi saya merasa ini seperti ruang nyaman yang bisa saya miliki sepenuhnya,” kata Kamila Andini. Iamenceritakan proses pembuatan Film The Mirror Never Lies dimana ia menemukan karakter anak perempuan.
Di Film, Kamila juga sering diberikan nasehat harus menjadi sutradara yang kuat, tidak boleh emosi, jadi harus jadi sosok pemimpin yang kuat.
“Karena saya sebenarnya anak perempuan yang cengeng dan sentimental, apakah saya bisa menjadi diri saya sendiri di ruang produksi film ini?”
Baca Juga: Seri Ketiga Bloody Nickel, “Republik Rente”: Menyingkap Aktor Pemburu Rente Hilirisasi Nikel
Saat filmnya jadi, dari situlah Kamila punya kelemahan dan kelebihan selama bekerja. Juga bagaimana mengakses funding untuk seni dan melakukan banyak interview termasuk bagaimana menjadi sutradara perempuan di industri film.
Lalu proses selanjutnya, Kamila mengalami proses di dunia ini dimana ada yang baik dan ada yang tidak baik. Lalu Kamila menulis film berjudul Sendiri Diana Sendiri.
Kamila juga mengakui, setelah menikah dan punya anak, perspektifnya tentang hidup jadi berubah karena ia mulai memikirkan anak dan kematian.
“Setelah itu saya membuat film ini dan duduk di kursi sutradara yang membuat saya tidak mau meninggalkan film. Ini momen kuat yang saya rasakan.”
Namun ada kebutuhan untuk membawa bayi ke tempat shooting. Di sinilah Kamila kemudian belajar tentang perempuan dan secara organik menemukan gaya sendiri. Dan dalam berkarya ini kemudian ia menemukan perspektif ‘tentang saya’ atau produksi film ‘menurut saya’.
“Saya lalu berusaha menulis naskah dalam persoalan ibu ini ke naskah. Saat mencuci, memasak, melipat baju, memandikan anak dan cerita yang bergulir ketika di dalam rumah. Ini saya menggunakan pendekatan realis tentang ibu yang saya lihat dan apa adanya.”
Kamila Andini dalam refleksinya menyadari bahwa sebagai perempuan, ia masih terus harus berproses, teori feminisme yang ia pelajari ternyata tidak sepenuhnya terefleksikan dalam kehidupan nyata nya.
Dan film seperti diyakini Kamila Andini adalah representasi bagi mereka yang masih berproses dan dialog-dialog setelahnya yang memunculkan daya pada pada Kamila sebagai kreator dan juga kekuatan lain pada yang menontonnya.
(sumber foto: Instagram @kamilandini / @snap.nuel)