Arismunandar Samaoly (Ismu), warga Desa Buli, Kecamatan Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara hari itu mengamati air sungai di desanya. Ia khawatir dengan kondisi sumber mata air yang mengalir ke pemukimannya. Ini lantaran ada aktivitas tambang nikel yang dilakukan PT Priven Lestari di kawasan Gunung Wato-Wato yang merupakan lokasi sejumlah mata air yang menjadi sumber air warga.
“Di atas ada banyak sumber mata air,” katanya sambil menunjuk Gunung Wato-Wato.
Ia menambahkan ada 10 sungai besar di wilayah hulu yang airnya dialirkan ke rumah-rumah warga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Karena itu kalau perusahaan tambang beroperasi di kawasan tersebut ia khawatir akan berdampak pada sumber air warga.
Sebenarnya wilayah Gunung Wato-Wato sudah ditetapkan sebagai kawasan sumber mata air. Ketentuan ini ada dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Timur.
Namun ada upaya dari PT Priven Lestari yang meminta perubahan status tata ruang kepada Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur untuk memuluskan aktivitas tambang nikelnya. Upaya ini ditanggapi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Halmahera Timur dengan mengeluarkan surat rekomendasi.
“(Kalau) plateau ini dirusak, maka tidak (akan) ada lagi kehidupan, masa depan di sini musnah karena ruang hidupnya rusak,” ujar Ismu.

Situasi yang dihadapi Ismu dan warga Buli juga dialami warga di seluruh kawasan deposit nikel di wilayah Indonesia Timur. Kondisi ini lahir dari kombinasi kebijakan pemerintah, politik elektoral dan kekuasaan oligarki.
Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Tambang Nikel: Sumber Penghidupan Hancur, Kesehatan Terancam
Cerita Ismu dan warga Buli di Halmahera Timur ini menjadi pembuka serial ketiga “Bloody Nickel the series: Republik Rente”. Film dokumenter produksi koalisi masyarakat sipil ini mengungkap para aktor pemburu rente dari industri hilirisasi nikel. Proyek ambisius yang digadang-gadang pemerintah akan menaikkan pendapatan negara sekaligus mendatangkan kesejahteraan bagi warga.
Namun sepanjang 40 menit durasi film, penonton disuguhi fakta-fakta yang berkebalikan dari klaim pemerintah. Sejak bertekad mendorong hilirisasi nikel, pemerintah menggelar karpet merah bagi investasi dan industri ekstraktif di wilayah deposit nikel. Pembangunan smelter yang hingga 2024 sudah mencapai 55 unit menjadi salah satu ukurannya.
Seluruh proses tersebut menyebabkan dampak lingkungan dan dampak sosial yang dirasakan warga di sekitar tambang seperti yang dialami Ismu. Namun narasi peningkatan pendapatan yang selalu diusung pemerintah tak pernah memperhitungkan belanja yang harus dikeluarkan akibat biaya sosial dari penambangan.
Seperti diungkapkan Danang Widoyoko dari Transparency International Indonesia (TII), saat ini belanja-belanja tersebut mungkin belum terasa. Tetapi dalam 10-20 tahun mendatang belanja pemerintah seperti belanja kesehatan untuk BPJS bagi masyarakat di wilayah terdampak diperkirakan akan meningkat.
Di sisi lain tersedianya lapangan kerja kerap dipakai sebagai daya tarik dari investasi tambang. Ini juga yang membuat Sukriyadi datang ke Morowali, Sulawesi Tengah. Ia sempat bekerja sebagai buruh di kawasan IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park) selama sekitar 6 tahun. Sukriyadi di-PHK karena mempertanyakan prosedur keselamatan kerja perusahaan. Selama bekerja ia rentan mengalami kecelakaan kerja.

“Keselamatan kerjanya itu diperhatikan, cuma apa ya, kadang juga dilanggar begitu,” kata Sukriyadi.
“Kalau kecelakaan kerja banyak, minimal satu bulan 4 sampai 5 orang. Ada yang meninggal, ada yang kena cutter, dll,” tambahnya.
Baca juga: Tenaga Diperas, Penyakit Akibat Kerja Diabaikan: Derita Buruh Industri Nikel di Morowali
Trend Asia mencatat ada lebih dari 100 kecelakaan kerja terjadi di smelter nikel di seluruh Indonesia sepanjang 2015-2024. Sepertiganya terjadi di smelter yang berada di kawasan IMIP. Puluhan orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka akibat kecelakaan kerja di kawasan ini.
Sayangnya cerita-cerita warga yang terdampak dan buruh yang rentan ini tidak pernah muncul dalam narasi hilirisasi nikel yang diusung pemerintah.
Dengan teknik pengambilan gambar dari udara yang menunjukkan bentang hutan yang gundul dan tanah-tanah yang dikeruk, serta lanskap kawasan industri penonton diajak melihat masifnya industri nikel.
Produser film dari Watchdoc, Muhammad Sridipo mengatakan film ini merupakan narasi tanding atas pemberitaan media yang cenderung berorientasi pada views sehingga lebih mengedepankan aspek bombastis ketimbang memberi ruang pada suara-suara masyarakat yang jadi korban kebijakan pemerintah.
Sridipo menambahkan Republik Rente juga menggunakan pendekatan helicopter view. Dengan begitu penonton bisa mendapatkan gambaran besar dan menyeluruh atas kondisi ekonomi politik dan sosial dari proyek hilirisasi nikel pemerintah. Pernyataan ini disampaikan Sridipo dalam diskusi usai pemutaran film bagi jurnalis pada Senin (17/2/25) di kantor YLBHI, Jakarta.
Menyingkap Pemburu Rente dan Dugaan Keterlibatan Elite Politik
Alih-alih melakukan perbaikan, pemerintah justru terus mendorong investasi. Hal lain yang muncul dari hilirisasi industri nikel adalah praktik korupsi atau pemburu rente yang terjadi mulai dari tingkat lokal hingga nasional.
“Tambang ternyata memberi peluang untuk memburu rente, baik dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten hingga ke tingkat desa,” jelas Danang.
Pemburu rente ini mengacu pada seseorang atau sekelompok orang yang mencari keuntungan dengan mengandalkan pengaruh atau kekuasaan yang dimiliki. Mereka berperan sebagai operator yang membantu perusahaan mendapatkan sejumlah manfaat dari pemerintah. Entah itu berupa kebijakan, regulasi maupun fasilitas pengamanan dari pemerintah. Seperti misalnya pelarangan ekspor nikel mentah dan percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai.

Munculnya kebijakan baru atau disahkannya sejumlah perubahan regulasi ini tidak terlepas dari konstelasi politik di tingkat nasional. Keberadaan eksekutif yang mampu “membeli” partai-partai menjadikan lebih dari separuh anggota parlemen satu suara dengan pemerintah. Faisal Basri menyebutkan sekitar 80%. Dari situ perubahan regulasi terjadi baik di level undang-undang maupun di level peraturan kementerian atau lembaga-lembaga terkait.
Film ini kemudian membeberkan praktik pemburu rente di industri nikel yang melibatkan sejumlah aktor yang punya hubungan dengan elite politik di tingkat nasional. Praktik ini tersingkap dengan ditangkapnya Abdul Ghani Kasuba, mantan Gubernur Maluku Utara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ia ditangkap dalam kasus korupsi perkara suap dan gratifikasi terkait sejumlah izin pertambangan selama menjabat. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ternate menjatuhkan vonis 8 tahun penjara pada September 2024.
Laporan Jatam seperti dipaparkan dalam film menunjukkan kelindan kepentingan para aktor politik di daerah maupun nasional. Ditambah lagi sejumlah elite politik yang ada di pemerintahan turut menjadi pemburu rente bahkan punya usaha terkait industri nikel. Mereka ini pernah menjabat pada periode pemerintahan sebelumnya dan sebagian masih menjabat pada periode sekarang.
Revisi UU Minerba: Integritas Perguruan Tinggi Dipertanyakan
Sementara itu pada 18 Februari 2025 DPR mengesahkan revisi UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau Minerba dalam rapat paripurna. Aturan ini pada akhirnya menempatkan perguruan tinggi sebagai penerima manfaat dan bukan sebagai pengelola izin tambang seperti pada draf awal. Perubahan ini terjadi seiring dengan protes yang disuarakan mahasiswa dan masyarakat.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Watchdoc, Jatam, Trend Asia, Transparency International Indonesia, YLBHI, dan Greenpeace Indonesia menilai penting bagi akademisi dan perguruan tinggi untuk tetap menjaga integritas.

Koordinator nasional Jatam, Melky Nahar mengungkapkan perguruan tinggi dalam pemahaman umum tugas utamanya adalah memproduksi pengetahuan dan kebudayaan. Tetapi kemudian dengan memilih mengelola tambang, kesan yang muncul institusi pendidikan sedang mengarah pada fabrikasi kebodohan.
Menurut Melky menjadi ironis jika perguruan tinggi yang punya kajian komprehensif justru masih percaya tambang bisa membawa kesejahteraan.
“Bagaimana ceritanyanya perguruan tinggi kita yang punya banyak profesor dan doktor justru masih percaya bahwa ekonomi tambang itu berkelanjutan dan bisa berdampak pada kesejahteraan? Padahal realitasnya seperti yang ditampilkan oleh tiga seri film Bloody Nickel justru menunjukkan kenyataan yang sebaliknya,” kata Melky dalam diskusi usai pemutaran film, Senin (17/2/25).
Pertambangan dan hilirisasi nikel justru memicu kemiskinan yang ekstrem, terutama di wilayah-wilayah sentra nikel. Karena itu menurut Melky sangat disayangkan jika perguruan tinggi tutup mata bahkan memunggungi warga itu sendiri.
Sementara saat ini situasi masyarakat sudah melampaui kegentingan. Sejak Jokowi berkuasa lalu dilanjutkan Prabowo, situasi di lapangan benar-benar mencekam karena laju percepatan dan perluasan hilirisasi nikel makin masif. Namun tidak ada satu elite politik pun terutama yang sedang berkuasa yang peduli dengan situasi yang terjadi di lapangan. Termasuk para mantan aktivis yang bergabung dengan pemerintahan Prabowo yang mengklaim akan mengubah dari dalam.
Baca juga: Jadi Finalis Pemimpin Terkorup, Aktivis Tuntut Pengadilan Publik untuk Jokowi
Situasi ini termasuk kekerasan dan kriminalisasi yang dialami warga, kecelakaan kerja yang terus-menerus terjadi dan sengaja diabaikan. Karena itu Melky menegaskan pertambangan dan hilirisasi nikel memang hanya memperkaya para pelaku usaha dan sebagian elite politik di Jakarta. Dan di saat yang sama justru memiskinkan warga lokal terutama yang tinggal di wilayah hilirisasi dan tambang nikel.
Pandangan serupa disampaikan Staf Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edy Kurniawan. Terkait pendidikan Edy mengatakan hal ini menjadi salah satu tujuan dari didirikannya negara Indonesia. Seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini kemudian diturunkan dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945 bahwa negara wajib memprioritaskan minimal 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan.
“Di balik pasal-pasal itukan ada semangat dan filosofi bahwa pendidikan itu tanggung jawab penuh negara bukan tanggung jawab elite politik atau elite negara atau elite kampus. Supaya pendidikan betul-betul fokus untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan humanis tidak memikirkan tambang dan sebagainya,” papar Edy.
Ia menambahkan pemberian izin kelola tambang kepada perguruan tinggi sama halnya dengan tentara disuruh bertani. Dari tentara yang dilatih untuk berperang tiba-tiba mesti pegang cangkul. Sama halnya dengan kampus yang dilatih untuk menulis, mengajar supaya meningkatkan SDM tetapi tiba-tiba diminta untuk pegang proyek, mengelola tambang.
Menurutnya persoalan yang dihadapi kampus adalah komersialisasi pendidikan. Di sisi lain masalah pertambangan adalah kegiatan ekstraktif, pemburu rente dan tata kelola yang merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat. Pemberian pengelolaan tambang akan mengakselerasi masalah di dua wilayah, masalah pendidikan dan masalah tata kelola pertambangan.
Baca juga: Gelar Doktor Bahlil Lahadalia dan Raffi Ahmad Tunjukkan Pejabat Berintegritas Rendah
“Kita prihatin saja kenapa kampus mesti dilibatkan dalam perburuan rente ini. Kampus harusnya fokus saja mendidik sumber daya manusia atau sesuai tugas prinsipnya mengingatkan penyelenggara negara kalau ada kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam,” kata Edy.
“Kampus punya instrumen AMDAL untuk mengontrol sumber daya alam. Tetapi dengan mereka dilibatkan dalam pertambangan ini, fungsi kontrol mereka menjadi hilang. Lalu siapa lagi yang akan kita harapkan untuk mengontrol negara kalau kampusnya sendiri menjadi aktor dalam pengelolaan tambang? Padahal sudah terbukti tambang itu merusak,” pungkasnya.
Adapun sejumlah poin revisi dalam RUU Minerba di antaranya, adanya perubahan skema untuk pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) ataupun Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Yakni dari yang semula sepenuhnya melalui mekanisme lelang, kini berubah menjadi skema prioritas melalui mekanisme lelang.
Disebutkan bahwa skema ini diterapkan dalam rangka memberikan keadilan pembagian sumber daya alam kepada semua komponen bangsa. Baik itu pengusaha usaha mikro kecil menengah (UMKM), koperasi, maupun BUMD.
DPR dan pemerintah pun sepakat untuk pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), hingga badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.
Kemudian pemberian konsesi kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan juga diatur dalam RUU Minerba. Pemberian izin itu pun sudah disepakati antara eksekutif dan legislatif.
Kondisi Perempuan Belum Banyak Dibahas
“Republik Rente” memang memberikan gambaran yang komprehensif atas fakta-fakta di lapangan dan peta jaringan aktor yang terlibat. Meski begitu film ini belum banyak memberi ruang bagi para perempuan baik di tapak atau lokasi tambang maupun di pabrik atau kawasan industri nikel.
Tak dipungkiri bahwa film ini juga menyinggung kriminalisasi yang terjadi pada aktivis perempuan, Christina Rumahlatu, selain yang dialami Arismunandar Samaoly. Christina, aktivis dari Maluku dilaporkan ke polisi usai menggelar aksi di depan Kantor Pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Jakarta, Agustus 2024.
Selain warga yang dikriminalisasi tentunya ada juga warga yang merasakan dampak akibat beroperasinya perusahaan tambang, terlebih perempuan. Namun representasi perempuan ini belum banyak dimunculkan. Begitu juga dengan buruh perempuan yang bekerja di kawasan industri nikel. belum muncul dalam film.
Kemunculan perempuan ini sangat penting agar penonton bisa memahami persoalan khas yang dihadapi para perempuan yang berhadapan dengan korporasi tambang. Mengingat mereka juga merasakan dampak dari hilirisasi nikel.