Trigger Warning: Tulisan ini memuat berita tentang bunuh diri. Bagi pembaca yang merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, berkonsultasilah ke pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental terdekat.
Bulan lalu, di tengah perayaan dan ibadah bulan Ramadhan, Gita Savitri, content creator perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak, menyoroti soal tantangan dan trauma religius yang dihadapi oleh perempuan yang dianggap tidak mengikuti standar masyarakat.
Apa itu trauma religius? Trauma religi kurang lebih adalah trauma yang mengancam kesehatan dan keselamatan fisik, emosional, mental, seksual, atau spiritual seseorang karena ia dianggap tidak hidup sesuai dengan standar atau norma-norma yang ada. Konsep religious trauma bukanlah hal yang baru, namun sering kali diabaikan atau disalahpahami. Trauma agama terjadi ketika keyakinan dan praktik keagamaan seseorang menyebabkan kerugian psikologis yang mengarah pada perasaan bersalah, malu, serta takut.
Bagi perempuan seperti Gita Savitri yang memilih jalan berbeda dari harapan agama tradisional, trauma yang ia alami bisa sangat parah. Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma agama dan norma masyarakat. Ditambah dengan konflik internal dalam mendamaikan keyakinan pribadi dengan ajaran agama dapat menciptakan rasa terisolasi dan tertekan secara mendalam.
Lebih mudahnya, kalau kamu tidak melakukan sesuai norma, maka kamu akan menanggung akibatnya. Dalam hal ini, seperti ada aturan tertulis bahwa semua perempuan wajib punya anak, namun ketika seseorang memilih tidak punya anak, maka dihujat lah mereka. Sepertinya semua orang boleh mengkritiknya, dan yang tak mau menikah harus terima ketika dihujat atau dikritik.
“I was so close to doing it (Aku hampir saja bunuh diri) lho. Gw di-harass-nya gila-gilaan sama orang-orang ini. Apalagi yang bikin berat itu dihakimi dan disalah-salahi sama orang yang ngakunya lebih agamis dan lebih islami,” Cerita Gita di Instastory-nya pada (12/03/2025) merespons akun lain yang bangga terhadap dirinya karena mampu bertahan.
Baca Juga: Influencer Mendobrak Tabu Soal Perbincangan Childfree
Pilihan yang dianggap tidak sesuai pandangan atau norma inilah yang membuat perempuan menjadi berat, padahal hidup adalah pilihan, bukan dipilihkan.
Sebelumnya, Gita Sav memilih jalan hidup untuk tidak memiliki anak atau child free. Meskipun pilihan tersebut merupakan hak pribadi, tetap saja menuai kritik pedas dari oknum beragama. Ia sering menerima pesan-pesan yang tidak menyenangkan dan nasihat yang tidak diinginkan dari sesama penganut agamanya. Pesan-pesan ini sering kali datang dalam bentuk ajaran agama yang menolak otonomi dan kebebasan perempuan untuk membuat keputusan tentang tubuh mereka sendiri. Tekanan dan penghakiman yang tiada henti ini telah menyebabkan trauma agama bagi Gita, sebuah trauma yang sayangnya sangat umum dialami oleh perempuan dalam mengalami situasi yang sama.
“Ngeliat gimana nasty-nya behavior mereka (orang-orang yang intimidatif), at the same time mereka bawa-bawa ayat… Wahh, itu rasanya campur aduk. Marah, frustasi, felt so wronged, and obviously violated karena mereka udah breaching boundaries,” tulis Gita.
Di media sosial, di mana ruang publik semakin terbuka, banyak warganet yang dengan semangat moralistik kemudian menyebarkan nasihat yang tidak diminta. Pesan-pesan tersebut seringkali berisi penafsiran ajaran agama yang menekankan peran tradisional perempuan, misalnya menjadi ibu, serta menganggap pilihan child free sebagai penyimpangan dari norma yang terdengar mapan.
Meski dikemas dalam bahasa religius, tekanan ini membawa dampak psikologis yang mendalam. Ia menciptakan rasa bersalah dan trauma pada perempuan yang memilih jalan hidup tidak sesuai dengan norma konservatif agama.
Religious Trauma dalam Perspektif Feminisme
Religious trauma bukanlah sekadar reaksi emosional sementara. Trauma ini dapat mengakar akibat terus-menerus menerima penolakan dan kritik atas pilihan hidup yang dianggap melanggar nilai-nilai keagamaan.
Feminisme melihat agama sebagai institusi yang sering difungsikan untuk mempertahankan nilai-nilai patriarki, seperti nilai-nilai yang membuat situasi yang tak adil bagi perempuan dan dibiarkan untuk mempertahankan status quo.
Dalam perspektif feminis, hal ini merupakan cermin nyata dari nilai patriarki yang menyatu dalam struktur keagamaan. Ketika perempuan ditekan untuk mengikuti peran tradisional yang membatasi kebebasan berkreasi dan berkehidupan sesuai keinginan sendiri, maka trauma yang muncul tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga merupakan fenomena sosial yang memerlukan pembongkaran sistematis.
Nawal El Saadawi, seorang penulis dan feminis Mesir juga bergulat dengan sifat menindas dari budaya religius yang patriarkis. Dalam karyanya “Perempuan di Titik Nol”, El Saadawi mengeksplorasi kisah Firdaus, seorang perempuan yang mengalami kemiskinan, kekerasan, dan eksploitasi pada konteks sosial-politik Mesir. Khususnya penindasan terhadap perempuan dalam struktur patriarki dan fundamentalisme agama.
Baca Juga: Feminis Mesir Nawal El Saadawi Meninggal, Kita Mengenang Karya dan Perjuangannya
Perjalanan Firdaus untuk merebut kembali otonomi dan suaranya mencerminkan perjuangan yang dihadapi oleh banyak perempuan yang menentang norma agama dan masyarakat. Terlihat ada interseksi antara gender, kelas, dan agama dalam membentuk pengalaman trauma perempuan di Mesir. Narasi El Saadawi menjadi pengingat yang kuat akan ketahanan dan keberanian yang diperlukan untuk menghadapi dan mengatasi trauma agama.
Banyak interpretasi agama yang mengutamakan kepatuhan tanpa ruang untuk pertanyaan. Perempuan yang memilih jalan berbeda seperti child free atau yang lain, sering kali dianggap telah melanggar norma. Sehingga menghadapi penilaian keras yang mengakar pada dogma tersebut. Saran yang tidak diminta (unsolicited advice) yang diterima perempuan melalui media sosial, sering kali menjadi simbol dari upaya memaksa kembali ke dalam kerangka tradisional. Ini menciptakan lingkungan dimana kebebasan individu dianggap sebagai sesuatu yang harus disesuaikan dengan norma kolektif yang kaku.
Tekanan yang terus-menerus dapat memicu perasaan tidak berdaya, cemas, bahkan depresi. Hal ini merupakan bagian dari religious trauma, dimana pengalaman spiritual yang seharusnya membebaskan justru berubah menjadi sumber penderitaan.
Dampak Religious Trauma Tidak Main-main, Hati-hati dalam Berpendapat!
Dalam ruang digital terutama di media sosial, diskursus mengenai pilihan hidup perempuan kerap kali berubah menjadi medan pertempuran ideologis. Pesan-pesan unsolicited advice yang mengedepankan norma keagamaan seringkali datang tanpa diminta, menyamar sebagai nasihat moral namun menyisakan pengalaman traumatis.
Dampak trauma agama terhadap kesehatan mental tidak dilebih-lebihkan. Rentetan pesan negatif yang terus menerus dan perjuangan internal untuk mendamaikan keyakinan pribadi dengan ajaran agama dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Annette Jerome dkk. dalam penelitian mereka tentang koping religius dan spiritual, menekankan pentingnya mengintegrasikan keyakinan religius dan spiritual ke dalam intervensi yang peka dan responsif.
Penelitian mereka menyoroti pengalaman perempuan dari berbagai tradisi agama yang mengandalkan keyakinan mereka untuk mengatasi peristiwa kehidupan yang berat. Meskipun keyakinan agama dan spiritual dapat menjadi sumber kekuatan dan ketahanan, keyakinan tersebut juga dapat menyebabkan trauma ketika digunakan untuk membenarkan penindasan dan kontrol.
Bagi Gita, terapi membantunya untuk memproses dan sembuh dari trauma yang dialaminya. “Through therapy gw bisa berangsur membaik”. “At one point gw menerima aja kalo memang orang konservatif itu template-nya akan toxic dan sombong. They have to prove to me otherwise. Bukan gw yang harus making excuse for them. I cannot anymore. I’ve tried it for years,” Tulisnya.
Baca Juga: Aku Tidak Takut Meski Puluhan Kali Diserang dan Dikucilkan: Pengalaman Beragama Perempuan Ahmadiyah
Kritik oleh dogma agama, meskipun mungkin dilandasi oleh niat untuk mengarahkan ke jalan yang dianggap benar, justru memperkuat struktur patriarki yang mengekang kebebasan berpikir. Hal ini menciptakan atmosfer di mana perempuan merasa harus terus-menerus mempertahankan keputusannya. Sambil berjuang melawan stigma dan rasa bersalah yang mengakar.
Diskursus mengenai religious trauma mengajak kita untuk mempertanyakan kembali bagaimana interpretasi ajaran agama dapat dikaji ulang. Perempuan, dalam konteks ini, tidak seharusnya dipaksa untuk menyeret nilai-nilai yang tidak lagi relevan dengan keinginan mereka.
Para cendekiawan dan aktivis feminis dapat berperan penting dalam mengkaji ulang interpretasi ajaran yang menindas. Melalui pendekatan yang lebih humanis dan kontekstual, nilai-nilai spiritual dapat diselaraskan dengan kebebasan dan kesetaraan gender.
“Padahal tipe-tipe muslim ada banyak. Mau mereka suka gak suka, cara orang menginterpretasikan agama beda-beda… Toh agama itu ideologi,” Tulis Gita.
Jika muncul pikiran bunuh diri atau ada orang di sekitarmu ada yang berniat bunuh diri, kemana kamu harus menghubungi?
Kamu bisa mengakses LISA Suicide Prevention Helpline (Love Inside Suicide Awareness), layanan dukungan kesehatan mental dan psikososial yang inklusif. Layanan ini tersedia dalam bahasa Indonesia dan Inggris selama 24 jam. Kamu bisa mengaksesnya di kontak +628113855472.
(Editor: Luviana)