Bercocok tanam dan urusan dapur adalah ekofeminisme

Siapa Bilang Urusan Dapur Adalah Urusan Perempuan yang Remeh Temeh? Stop Lakukan Stigma

Dapur tentu saja bukan urusan remeh-temeh, mengolah sampah-sampah dari dapur bisa jadi sesuatu yang berguna. Ekofeminisme mengajarkan ini.

Perempuan sering kali dilekatkan dengan urusan dapur, sumur, dan kasur dalam kehidupan bermasyarakat yang cenderung konservatif seperti di Indonesia. 

Narasi usang ini tentunya bermasalah, maka mari kita stop stigma ini. 

Siapa sangka cap dapur sebagai urusan perempuan bisa dijadikan langkah untuk mendobrak stereotipe ini. Seperti seorang perempuan asal Bali yang memilih urusan dapur menjadi alat untuk bertempur. 

Namanya Ni Luh Putu Sri Gunawati. Demi mencerdaskan anak bangsa sekaligus melestarikan lingkungan hidup, ia bekerja dan berkarya sebagai kepala sekolah dan penggiat lingkungan.

Tak ayal, upaya menemui Ibu Sri, begitu sapaannya, menjadi tidak sulit. Sebentar saja bertanya, saya sudah mendapatkan petunjuk menuju kediamannya. Rupanya warga sekitar mengenal dan menyegani dirinya. 

Baca Juga: Gerakan Chipko Menginisiasi Perempuan Untuk Menyelamatkan Lingkungan di India

Ketika hendak masuk rumahnya pun, saya langsung disambut halaman rumah yang meski tidak begitu luas, namun kehijauannya memanjakan mata.

Asrinya rumah dan lingkungan sekitarnya merupakan buah dari kepedulian dan ketekunan Ibu Sri. Di tengah kesibukan mengurus SDN 6 Ubung, Ibu Sri menyempatkan diri menjalankan hobinya melakukan manajemen sampah hingga bisa bercocok tanam. Semua itu dilakukan secara holistik. Bentar, maksudnya gimana nih?

Alat Bertempur Ibu Sri

Setiap dari kita pastinya menghasilkan sampah. Bagaimana tidak, ada perut yang butuh diisi setiap harinya. Sampah-sampah hasil konsumsi ini biasanya cuma angin lalu. Asal sudah dikumpulkan dan diangkut petugas, serasa sudah beres. 

Padahal itu sekadar dipindahkan ke tempat pembuangan akhir (TPA). Kian hari, kian menumpuk sampahnya hingga menyerupai gunung. Bila sudah begini, sampah akan jauh lebih susah dikelola. Alhasil, dampak buruknya kita kembali yang rasakan.

Barangkali kita sudah sering menemukan pemberitaan soal bagaimana sampah yang organik dan anorganik yang tercampur mengganggu keberlangsungan makhluk hidup. Ada petugas kebersihan yang menjadi rentan keselamatan kerjanya, potensi binatang dan tumbuhan kehilangan habitat akibat peralihan lahan untuk membuka TPA, hingga kesehatan dan keselamatan nyawa masyarakat yang bisa terdampak. 

Hal itu akan menjadi berbeda di tangan Ibu Sri. Ia menggunakan kembali sampah dapur di rumahnya untuk kegiatan cocok tanam. Sampah organik mampu diolahnya menjadi kompos dan insektisida alami yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan tanaman. Baru keduanya digunakan untuk membantu pertumbuhan tanaman. Sementara itu, sampah anorganik disetorkan ke Bank Sampah Induk Bali Wastu untuk didaur ulang.

“Saya mengompos, pemilahan sampah dapur sudah dari kira-kira lima tahun yang lalu karena kami sadar bahwa sampah itu tidak lagi sebagai (sesuatu) yang bau, tapi bisa dimanfaatkan”, ujarnya. 

Bagi Ibu Sri, alih-alih penghalang, urusan dapur menjadi “alat tempur” yang ia gunakan untuk melestarikan lingkungan dan memberdayakan orang sekitarnya.

Lompatan Ekonomi Hijau

Ibu Sri tidak sendirian. Ia mengajak keluarga untuk turut serta. Akan tetapi, itu tidak terjadi begitu saja. Ia yang berasal dari Kediri, Tabanan, sejak kecil memang biasa bercocok tanam dengan orang tuanya. 

Berbeda halnya dengan sang suami yang hidup di kota besar seperti Denpasar. Ini yang membuatnya punya keengganan untuk bergerak dalam isu lingkungan hidup.  Namun, Ibu Sri tidak kehilangan akal. Seperti proses menanam tanaman, Ibu Sri juga perlu menyebarkan benih dahulu. 

Pada awalnya, Ibu Sri sering melakukan obrolan seputar lingkungan dengan anggota keluarganya. Lama kelamaan sang suami luluh juga dan mau ikut terlibat. Bahkan, anaknya pun tertular memiliki ketertarikan dalam urusan pertanian.

Dengan latar belakang studi Ilmu Tanah di Fakultas Pertanian saat kuliah, kini sang anak aktif mengkampanyekan pelestarian lingkungan ke desa-desa dalam kapasitasnya sebagai penyuluh di sebuah kementerian berkat didikan Ibu Sri yang berdedikasi dalam hal ini.

Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Ekofeminisme Perjuangkan Lingkungan Ramah Perempuan

Ibu Sri sendiri mendapatkan pengetahuan dari mengikuti beragam kegiatan di banjar, sekolah, dan Sekaa Guru Peduli Lingkungan (sebuah gerakan para guru untuk lingkungan hidup). Berbekal dari sana, ia lantas mempraktikannya di rumah tangga, lalu berkembang di lingkungan kerja dan banjar. 

Ibu Sri juga gemar berselancar di dunia maya untuk belajar soal lingkungan. 

“Kalau sama Mbah Google, kan semuanya jadi gampang,” celetuknya bercanda. 

Kini, berkahnya Ibu Sri sekeluarga bisa menghemat biaya kebutuhan pokok sekaligus memberi rezeki orang lain. Hasil panen organik bisa dibagikan ke kerabat dan tetangga. Selain itu, pekerjaan petugas bank sampah menjadi lebih mudah dan anak-anak sekolah pun belajar menabung dari sampah.

Tanpa muluk-muluk, Ibu Sri sudah melakukan ekonomi hijau pada level yang paling sederhana. Ekonomi hijau sendiri merupakan aktivitas ekonomi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Lewat sampah dapur yang dikelola, Ibu Sri mampu menghasilkan olahan untuk dapurnya kembali. Manfaatnya pun berlipat mulai dari ekonomi, sosial hingga lingkungan.

Keandalan Para Perempuan

Ketika ditanya alasan di balik giatnya memilah dan mengelola sampah, Ibu Sri mengaku susah cuek dengan kondisi di lingkungan sekitarnya. Ibu  Sri berkata, “Saya dari dulu senang bersih. Tetap saja je saya milah (sampah) biar gimana. Tetap saja karena ini hati nuraninya”.

Memang ya, urusan lingkungan sangat menarik perhatian perempuan, bahkan dapat dikatakan mereka sangat andal di dalamnya. Hal ini tentu saja bukan asumsi belaka. Mintel, sebuah firma penelitian pemasaran dalam surveinya pada 2018 menemukan bahwa 71% perempuan berusaha untuk menerapkan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari ketimbang laki-laki yang hanya 59%. 

Salah satu penyebabnya adalah masih berlakunya nilai tradisional yang mana perempuan bertanggung jawab atas pekerjaan domestik dalam rumah tangga. Akibatnya, para perempuan yang menjadi target utama produk-produk ramah lingkungan. 

Selain itu, kerentanan perempuan terhadap bencana alam juga menjadi faktor. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan memperkirakan bahwa bencana alam seperti kekeringan, banjir, badai topan, dan kebakaran hutan telah mengorbankan 80% perempuan, dikutip dari artikel berjudul “Why Women Are Key To Solving The Climate Crisis”. 

Hal-hal di atas mungkin terdengar miris, namun ini  membuat perempuan punya kecenderungan berpikir kolektif dibandingkan hanya memikirkan dirinya sendiri. Perempuan pun memiliki kesadaran lingkungan yang baik diiringi aksi nyata untuk mempertahankan kelestariannya. Oleh karenanya, keputusan-keputusan dalam isu lingkungan yang mendukung kepentingan publik, menyediakan kesetaraan dalam penerimaan manfaat dan penghasilan, serta menggiatkan praktik-praktik berbasis etika dan kejujuran harus lebih banyak hadir.

Dorongan lainnya adalah bermunculannya tokoh-tokoh perempuan dalam pergerakan kelestarian lingkungan. Sebut saja yang tersohor seperti Greta Tunberg dan Alexandria Ocasio-Cortez. Hanya saja ini kemudian memunculkan stereotip baru di antara kelompok gender lain. Ada anggapan keliru bahwa laki-laki yang berurusan soal lingkungan sebagai sesuatu yang tidak maskulin seperti yang termuat dalam artikel bertajuk “The Eco Gender Gap: Are Women Greener Than Men?”. Kok, malah salah kaprah begini, ya?

Tidak Hanya Antar Perempuan yang Bergandengan Tangan

Meski sekarang isu lingkungan termasuk gerakan pelestariannya banyak ditekuni perempuan, tentu ke depannya saya berharap kampanye lingkungan ini bisa lebih inklusif. Kita harus bergandengan tangan karena mustahil satu kelompok gender mengurus hampir 8 milyar manusia di bumi. “Urusan dapur” harus menjadi pertempuran bersama. Jangan biarkan Ibu Sri berjuang sendirian.

Jangan pula ada stereotipe di antara kita yang menghambat gerakan pelestarian lingkungan. Semua pekerjaan pada dasarnya tidak mempunyai gender dan jenis kelamin. Sadarilah bahwa itu sekadar konstruksi sosial. Kodrat perempuan hanyalah menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan, kodrat kita sebagai manusia yang mendapatkan penghidupan dari lingkungan, tentu harus melestarikannya.

(Editor: Luviana Ariyanti)

Ni Komang Ayu Leona Wirawan

Perempuan asal Bali yang hobi menulis dan melakukan kerja-kerja relawan dalam komunitas kemanusiaan dan lingkungan. Salah satunya adalah Puan Menulis di mana ia bisa belajar soal gender dan kepenulisan. Karena kecintaannya itu juga, jurnalis menjadi pilihan karirnya saat ini
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!