Dari Listrik Jeglek sampai Mancing Sanyo: Cerita Kesenjangan Sosial di FYP Kita

Bercanda soal listrik, pompa air, atau tidur di samping motor mungkin terdengar lucu, tapi bercandaan itu sering datang dari tempat yang gelap. Kesenjangan sosial kini menemukan tempatnya di ruang digital.

Kalau kamu sering main TikTok, pasti akhir-akhir ini sering nemuin konten-konten soal kesenjangan sosial.

Konten ini dibikin dengan menampilkan percakapan pasangan atau teman yang menunjukkan perbedaan cara hidup yang jomplang. Misal percakapan pasangan yang sedang video call seperti berikut. 

“Udah ya, aku matiin lampu dulu”. 

“Mau tidur?” 

“Nggak, mau masak nasi biar listriknya nggak jeglek (anjlok)”

Atau berikut. 

“Bentar ya, aku mau mancing dulu.” 

“Mancing ikan?” 

“Mancing Sanyo (merek pompa air)”. 

Tak jarang, komentar-komentar di video itu langsung dipenuhi cerita-cerita pribadi yang cuma bisa dimengerti oleh mereka yang juga mengalami. Seperti berikut. 

“Aku masak air nih”. 

“Mau bikin kopi?” 

“Nggak, buat nyiram tikus”.

Lucu? Iya. Sedih? Juga iya. Coba bayangkan, kamu harus memilih antara menyalakan lampu atau masak nasi karena daya listrik nggak cukup. Kita sedang melihat realitas perjuangan yang ada dalam hidup seseorang tiap hari. Orang yang harus memakai pompa air tentu relate dengan istilah “mancing Sanyo”. 

Walau terdengar simpel, cerita-cerita ini ternyata membawa kesadaran bahwa banyak orang di luar sana yang hidup dengan cara yang sama. Dan kita tidak merasa sendiri. Konten tentang kesenjangan sosial ini ternyata jadi semacam ruang pengakuan bersama. “Oh, ternyata banyak yang hidup seperti aku.”

Di tengah gempuran konten flexing kekayaan di media sosial, tren ini datang sebagai bentuk perlawanan. Orang-orang yang sering dicibir dan bahkan malu menunjukkan kehidupannya karena dianggap “kurang estetik”, mulai mengambil alih ruang mereka di dunia digital. Kalau flexing kekayaan itu menunjukkan jarak sosial, maka flexing kemiskinan atau keterbatasan justru memperlihatkan kedekatan pengalaman, berbagi keterbatasan, dan cara-cara kreatif bertahan hidup. 

Baca juga: Harus Glowing untuk Ngikutin Standar Kecantikan di Tiktok: Sejauh Apa Kita Mengejar yang Tak Realistis?

Tren kesenjangan sosial menggambarkan fenomena di TikTok ketika orang-orang dari kelas bawah dengan jujur dan jenaka menampilkan kerasnya hidup. Namun selama ini realitas tersebut tertutup dengan konten kehidupan yang menyenangkan dari kelas atas. 

Buat mereka yang hidup miskin di tengah lingkungan pergaulan yang berkecukupan, perasaan terasing itu sangat kuat. Setiap interaksi dengan orang-orang yang hidup dalam kenyamanan finansial makin menegaskan ketimpangan status sosial dan ekonomi yang ada. Bukan cuma soal nggak punya, tapi juga merasa sendiri dengan ketakpunyaan itu. Sendiri dan miskin adalah dua keadaan paling sunyi yang bisa dialami manusia. 

Bukti menunjukkan bahwa hidup dengan pendapatan rendah mengurangi tingkat kepercayaan diri seseorang. Sementara perasaan ketidakberdayaan membatasi orang hanya bisa mengambil keputusan jangka pendek untuk bertahan hidup. Bukan berarti orang yang hidup dalam kemiskinan menjadi pesimis atau tidak peka terhadap peluang yang ada. Tetapi mereka justru lebih bijaksana dalam mengelola emosi dan energi agar tidak terjebak dalam kekecewaan yang berulang. Di sisi lain mereka sekaligus menghindari ancaman yang tidak akan dihadapi oleh orang berpunya.

Memberi Rasa Lega dan Menumbuhkan Solidaritas

Maka, melihat orang lain bercanda soal listrik yang dimatikan gantian, atau tidur di samping motor yang diparkir di ruang tamu, bisa bikin ketawa kecil yang bukan cuma lucu, tapi juga lega. Bahwa penderitaan ini bukan bebanku sendirian. Walaupun kenyataannya tetap nggak berubah, dompet masih tipis, utang masih ada, tapi sejenak, rasa solidaritas itu menghangatkan. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa ketangguhan itu tidak cuma soal bertahan, tapi juga soal kemampuan beradaptasi dengan keadaan yang terus berubah. Salah satu cara bertahan adalah melalui humor, yang punya kekuatan untuk menghadapi kesulitan dengan cara yang lebih ringan. 

Humor memberikan kita pelepasan sejenak dari beban, serta alat untuk menghadapinya meskipun hanya dalam hitungan detik. Selain itu, humor juga memperluas fokus kita, mendorong kita untuk lebih kreatif, fleksibel, dan mencari peluang di tengah kesulitan. Bahkan, humor bisa jadi alat buat menghadapi ketakutan dan kecemasan dengan cara yang tak terlalu menakutkan.

Orang dengan akses terbatas punya berbagai cara kreatif dalam bertahan hidup. Cepat dan solutif juga. Saya dan teman pernah kagum melihat bapak penjahit sepatu yang setelah duduk di kursi yang tidak rata, langsung mengganjalnya dengan bungkus rokok yang ia temukan di tempat sampah. Keterbatasan justru mengasah kemampuan memanfaatkan sumber daya secara maksimal. 

Baca juga: Hubungan Standar di TikTok: Bisakah Kita Mencapainya?

Orang kaya mungkin tidak mengerti tentang cara bertahan hidup semacam ini. Seperti ungkapan Sendhil Mullainathan seorang profesor ekonomi, “Terus terang saja, jika saya membuat Anda miskin besok, Anda mungkin akan mulai berperilaku dengan cara yang sama seperti yang kita lakukan terhadap orang miskin. Dan seperti banyak orang miskin, Anda mungkin akan terjebak dalam perangkap kelangkaan.” Meski mengagumkan, kreativitas ini seharusnya tidak perlu ada jika sistem lebih adil.

Buat yang hidup dengan segala kemudahan, penting untuk berhenti sejenak dan bertanya, “Mengapa sampai harus begini?” Kenapa ada orang yang harus pilih antara masak nasi atau nyalain lampu? Kenapa lucu-lucuan soal mancing Sanyo justru terasa relate bagi ribuan orang? Ini bukan sekadar konten yang cocok jadi bahan FYP, tapi gambaran tekanan struktural yang nyata. 

Bagi Sara Ahmed, hak istimewa termasuk kekayaan, ras, atau kelas sosial adalah bentuk perlindungan yang membuat seseorang tak perlu tahu apa yang dialami orang lain. Dalam bukunya Living a Feminist Life, ia menulis bahwa hidup dalam privilese berarti bisa memilih untuk tidak peduli. Ini lantaran sistem sosial memang tidak menuntut mereka untuk merasakan atau mengubah apa pun. Ketimpangan menjadi sesuatu yang bisa diabaikan, bahkan dianggap tidak terlihat, justru karena orang yang paling berkuasa tidak dipaksa untuk melihatnya. 

Privilese, menurut Ahmed, bukan hanya soal memiliki lebih, tapi tentang tidak harus tahu, tidak harus bersinggungan, dan tidak harus berubah. Maka, memahami penderitaan orang lain bukan soal rasa kasihan, tapi soal keberanian untuk merasa tidak nyaman, untuk terganggu, marah, dan akhirnya, bertindak.

Apakah Cinta Beda Kelas Bisa Berhasil?

Sebagian besar tren ini dibuat oleh pasangan. Kesenjangan sosial dalam hubungan itu menarik bukan hanya karena bikin baper, tapi karena seperti cerita yang dari awal sudah ditakdirkan sulit atau malah mustahil terwujud. 

Cinta antara dua dunia yang beda kelas ini selalu punya daya tarik tersendiri, karena mengandung harapan dan bahaya dalam satu paket. Kisah-kisah seperti Cinderella, Aladdin, atau Jaka Tarub juga hidup dari fantasi tentang cinta beda kelas yang mungkin cuma bisa dikhayalkan. 

Di dunia nyata, hubungan yang berjarak kelas sering kali jauh lebih rumit dari sekadar jatuh cinta. Ada kecanggungan, ada rasa malu, ada ketimpangan dalam cara memandang hidup. Sering kali ada rasa dari pihak yang kelasnya lebih rendah bahwa “Kamu nggak bakal ngerti sih rasanya jadi aku, kamu kan nggak pernah miskin”. Belum lagi menghadapi pihak eksternal yang memandang sinis dengan tudingan “pasangan tidak selevel”.

Apakah hubungan beda kelas bisa berhasil? Jawabannya tidak ada yang tahu. Perbedaan kelas bisa menyelinap ke dalam percakapan sehari-hari, pilihan cara-cara hidup, bahkan cara mendefinisikan masalah pun bisa jadi berbeda. Bagi pihak tak berpunya, motor rusak bisa jadi masalah besar dan stres berat karena tidak bisa berangkat kerja. Bagi pasangannya yang berpunya mungkin akan menganggap itu cuma masalah kecil.

Tentu tidak semua hubungan beda kelas berakhir dengan jurang yang makin lebar. Ada banyak kisah di mana cinta lintas kelas justru berhasil. Yang satu belajar menghargai kerja keras dan kesederhanaan, yang satu lagi belajar mengenali privilese dan menggunakannya untuk kebaikan bersama. Tidak memandang rendah dan juga tidak insecure. Perbedaan itu justru memperkaya cara melihat dunia.

(Editor: Anita Dhewy)

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!