Video-video singkat before-after produk skincare dan tutorial gym merajalela di fyp TikTok, seakan memberi tahu kita bahwa ada standar baru yang harus dicapai.
“Pakai skincare berbahan niacinamide nggak works buat mencerahkan wajah? coba pakai alpha arbutin, nggak works juga? ganti dengan vitamin C, nggak works lagi? Ah mungkin harus beli skincare yang kadar niacinamide lebih tinggi.”
Begitulah ulasan yang sering saya baca di toko skincare online atau di kolom komentar yang membahas produk-produk skincare pencerah kulit yang jenisnya sangat beragam. Itu baru produk skincare yang berfungsi untuk mencerahkan wajah, belum lagi kalau kita mau coba retinol dan turunan vitamin A lainnya untuk membuat kulit tampak lebih muda.
Jika niacinamide atau retinol di skincare merek A nggak ngefek, mungkin harus beli merek B yang lebih mahal. Begitu seterusnya sampai kita tidak sadar telah melakukan belanja berlebihan atau over consumption terhadap produk perawatan kulit.
Bukan hanya uang yang habis, tetapi kita juga ikut menyumbang pada tumpukan sampah kemasan.
Pada akhirnya, berapa banyak produk yang sebenarnya kita butuhkan? Menggunakan skincare memang penting, namun dokter menyarankan untuk menggunakan 3 produk penting saja yaitu pembersih wajah, pelembab, dan tabir surya. Basic skincare ini sudah cukup untuk melindungi dan menjaga kulit tetap sehat.
Dari “Kulit Putih” Menjadi “Kulit Cerah”
Jika dulu kulit putih menjadi lambang kecantikan, kini standar itu bergeser menjadi “kulit cerah bercahaya.”
Influencer sebagian besar tampaknya telah sadar jika menggunakan kata “putih” untuk mempromosikan produk skincare adalah tidak sopan. Tapi lepas dari kulit putih sebagai standar kecantikan, kini standar kecantikan semakin bertambah banyak, lebih rumit dan tidak realistis. Belum puas dengan kulit cerah, kulitmu juga harus bersih tanpa cela: bebas jerawat, pigmentasi, chicken skin, skin tag, kerutan, sampai wajah berminyak. Bahkan kini orang-orang ingin punya glass skin ala Korea.
TikTok berpengaruh besar membentuk standar kecantikan baru ini. Bermodal video pendek yang dibuat menarik menunjukkan before after penggunaan produk, jutaan pengguna bisa terpengaruh hanya dalam waktu beberapa menit. Tentu saja hasilnya menjadi ladang cuan bagi owner-owner skincare mulai dari yang BPOM sampai skincare abal-abal. Selain TikTok memang ada Instagram dan YouTube yang juga berperan dalam menggerakkan konsumen membeli beragam skincare dan kosmetik. Tapi TikTok yang pengguna terbesarnya adalah dari Indonesia sebanyak 157,6 juta dengan rata-rata menghabiskan 52 menit per hari menonton TikTok, membuat pasar skincare sangat luas di sini.
TikTok bukan hanya mempopulerkan kulit cerah tanpa cela, tren make up sampai punya tubuh ideal hasil nge-gym pun lagi-lagi bikin standar fisik semakin rumit dan detail. “Ih alisnya masih kayak alis tahun 2015, sekarang zamannya alis serat”. Bahkan video seorang perempuan menghias alisnya pun harus mendapat komentar dari ‘juri netizen’. Sama dengan skincare yang laris manis, produk make up dan segala perintilannya seperti cetakan alis dan catokan rambut juga menjadi hype di TikTok.
Tubuh dengan Standar Baru
Tak hanya soal kulit, tubuh juga ikut jadi target obsesi. Tubuh hasil gym atau pilates yang ramping, bokong kencang, tubuh berotot (tapi tidak terlalu berotot), kini menjadi gambaran tubuh ideal yang diburu banyak orang.
Punya tubuh gemuk misalnya, diasosiasikan dengan malas berolahraga dan tidak apik dalam memilih makanan sehat. Sementara tubuh langsing identik dengan orang yang rajin dan sehat. Contohnya saat dulu ada seorang ibu yang menunjukkan video memberi makan anaknya dengan makanan tinggi karbo dan kental manis, komentar hujatan pun bermunculan seperti “Keliatan sih dari badannya, makanannya aja kayak gitu”. Seakan wajar berkomentar seperti itu dengan alasan “demi kesehatan” si pemilik video. Orang-orang yang tidak memiliki privilese terhadap makanan sehat dan olahraga seakan dihakimi terus menerus.
Influencer fitness juga berlomba-lomba menunjukkan latihan demi latihan untuk mendapatkan perut rata dan bentuk bokong yang sempurna. “Strong is the new sexy,” kata mereka.
Para peneliti menemukan bahwa hampir dua pertiga dari 100 “fitfluencer” istilah untuk influencer yang mengunggah konten terkait kebugaran — tidak memberikan nasihat yang baik. Dengan kata lain mereka mengunggah pesan yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik orang-orang. Misalnya, dengan mempromosikan olahraga sebagai alat untuk menjadi lebih kurus dan membuat orang menjadi tidak pernah puas dengan tubuhnya.
Alih-alih mengikuti tutorial dari fitfluencer yang cocok dengan kondisi tubuh, orang-orang memilih fitfluencer berdasarkan jumlah like atau pengikut. Padahal bisa saja mereka tidak memiliki sertifikat kebugaran dan ujung-ujungnya jualan produk kesehatan. Memilih fitfluencer hendaknya disesuaikan dengan kondisi tubuh, kemampuan dan usiamu. Atau misalnya kamu tergiur melihat video seseorang yang berhasil menurunkan berat badannya, belum tentu jenis diet dan olahraganya cocok buatmu. Hati-hati mengikuti saran diet dari yang bukan nutrisionis.
Apakah Semua Ini Membawa Kebahagiaan Atau Justru Menambah Kecemasan?
Kita hidup di ‘Era Kebugaran’, tulis Jürgen Martschukat dalam bukunya, The Age of Fitness.
Industri kebugaran kini telah mencapai rekor valuasi yang melebihi $100 miliar. Kini juga terlihat bugar dianggap lebih penting daripada menjadi bugar yang sebenarnya. Akibatnya orang-orang menghabiskan waktunya dan merasa bersalah ketika tidak “cukup keras” berolahraga. Martschukat menyebut kita baiknya memikirkan kembali peran olahraga dan kebugaran dalam kehidupan kita. Apakah kita telah memperlakukannya sebagai hukuman untuk tubuh, dan kehilangan rasa gembira serta relaksasi dalam melakukannya?
Kecantikan yang terlihat mudah terwujud di media sosial sebenarnya bukanlah hasil satu atau dua produk ajaib, melainkan rutinitas yang memakan waktu dan biaya.
Ingin punya glass skin misalnya, sejumlah produk yang mungkin diformulasikan untuk kulit orang Korea (di mana iklimnya jauh lebih dingin dan kering) tidak selalu cocok untuk kulit orang Indonesia yang hidup di bawah panas terik dan kelembaban tinggi kan?
Media sosial seperti TikTok di satu sisi dianggap memperluas informasi tentang tubuh dan kecantikan. Pengetahuan kita menjadi bertambah tentang bahan skincare atau bermacam latihan kebugaran. Tapi, mari kita jujur apakah akses ini benar-benar terbuka untuk semua orang? Bahkan punya wawasan tentang bahan skincare saja pun tidak cukup.
Baca juga: Trend Kecantikan Bergeser dari Barat ke Korea? Girls, Bebaskan Kamu Dari Standar Kecantikan!
Baru-baru ini viral dokter detektif yang menunjukkan uji lab produk-produk skincare yang over claim dan berbahaya. Itu karena kita tidak punya akses menguji sendiri isi produk itu di laboratorium kan? Produk-produk itu harganya selangit, belum lagi rutinitas yang menghabiskan waktu lama mengaplikasikan lapisan skincare setiap hari, jelas bukan sesuatu yang bisa diakses semua kalangan. Alih-alih memberi rasa tenang, tren ini justru memicu kecemasan baru. Tidak punya waktu atau uang untuk skincare rutin bisa membuat kita merasa seolah-olah kita belum cukup merawat diri.
Begitu juga dengan tubuh yang sempurna. Jika dulu berolahraga demi manfaat kesehatan fisik, kini, olahraga menjadi gaya hidup yang membuat orang berlomba memamerkannya. Seperti upload story hasil lari di Strava sampai pakaian olahraga mewah dan kelas pilates mahal. Bahkan demi punya tubuh ala gym, banyak yang sampai menggunakan stereoid anabolik dalam dosis tinggi tentu diikuti dengan berbagai efek negatif pada tubuh.
Sonya Renee Taylor dalam bukunya The Body is Not an Apology: The Power of Radical Self-Love menjabarkan bahwa berbagai kekuatan budaya telah menjauhkan kita dari rasa cinta diri yang hakiki, katanya, dan untuk kembali ke keadaan itu kita perlu menyingkirkan pesan-pesan beracun selama bertahun-tahun (atau puluhan tahun) seperti lapisan-lapisan bawang. Kita merasa malu terhadap tubuh kita sendiri karena komentar dan ejekan yang kejam dari orang lain, padahal sejak awal dilahirkan kita tidak memiliki relasi yang negatif terhadap tubuh sendiri.
Baca juga: Tren Gyaru, Saat Perempuan di Jepang Mendobrak Standar Kecantikan
“Cara kita menghargai dan menghormati tubuh kita sendiri mempengaruhi cara kita menghargai dan menghormati tubuh orang lain.” tulisnya.
Di buku ini Sonya yang juga seorang feminis membahas asal-usul rasa malu terhadap tubuh, dan bagaimana ingatan awal kita tentang rasa malu terhadap tubuh mempengaruhi kehidupan kita saat ini. Buku ini cocok dibaca bagi yang sedang berjuang melawan rasa malu terhadap tubuh, atau bahkan kamu yang sadar telah cenderung menghakimi tubuh orang lain.
Di tengah gempuran standar kecantikan yang terus berkembang entah sampai kapan ini, mungkin kita perlu menarik napas sejenak dan bertanya: untuk siapa kita melakukan semua ini? Apakah kulit mulus seperti kaca dan tubuh ala gym benar-benar membuat kita lebih bahagia? Ataukah justru menambah daftar panjang hal-hal yang membuat kita merasa kurang?
Mungkin, sudah saatnya kita menurunkan standar dan menerima fakta bahwa kulit sehat tidak harus berkilau seperti kaca dan tubuh yang ideal tidak harus sempurna bak model fitness.
Kecantikan, pada akhirnya, bukan soal memenuhi standar orang lain, tetapi bagaimana kita merayakan apa yang sudah kita miliki.