Gerakan “Rimpang”: Bagaimana Kaum Muda Jatuh Bangun Bergerak Melawan Rezim

gerakan rizomatik berciri tanpa pemimpin tunggal, terdesentralisasi, berbentuk kecil dan banyak, serta muncul di kota-kota ukuran menengah.

● Gerakan kaum muda semakin masif dan inovatif, berciri seperti tanaman rimpang

● Generasi kelahiran pasca-1998 semakin terlibat dalam aksi yang berciri spontan, sporadis dengan praktik senang-senang

● Gerakan orang muda berciri rizomatik perlu terhubung dengan gerakan lain agar menjalar dan mengakar kuat


Aksi protes #IndonesiaDarurat pada 2024 dan #IndonesiaGelap pada awal 2025 menjadi dua momen besar yang menandai peran sentral kaum muda (kelahiran pasca-1998) dalam gerakan sosial prodemokrasi. Gerakan ini lebih terkonsolidasi, lintas generasi, dan lintas kelas sosial.

Dalam gerakan ini, dan sejak 2010-an, media sosial secara konsisten menjadi alat memperbesar gerakan. Ini terlihat dari bagaimana penggunaan tanda pagar (tagar) untuk menggerakkan protes jalanan.

Ramainya penggunaan media sosial kemudian menjadi penghubung berbagai aksi di berbagai tempat di Indonesia. Hubungan ini menciptakan ciri gerakan tersendiri yang bernama “rizomatik” atau seperti tanaman rimpang.

Tulisan ini merupakan refleksi terhadap hasil riset kami mengenai gerakan sosial masyarakat sipil, orang muda, dan kelas pekerja. Kami melanjutkan studi Yatun Sastramidjaja mengenai gerakan rhizomatic protest serta merujuk pada gagasan Deleuze dan Guattari, tentang proses produksi pengetahuan di luar lembaga konvensional, dan Sastramidjaja mengenali praktik rizomatik pada gerakan jalanan bertagar.

Gerakan Rizomatik

Tanaman rimpang (seperti jahe ataupun lengkuas) bersifat menjalar di bawah permukaan tanah. Mereka tumbuh dengan banyak cabang dan subcabang yang kecil-kecil, serta sulit dikontrol pertumbuhannya.

Karena tumbuh cepat dan tidak hierarkis, setiap komponen dalam tanaman rimpang berhubungan satu sama lain secara organik. Lawan dari rizoma ini adalah entitas dengan praktik berakar gantung, berbatang silindris lurus, dan bertumbuh secara vertikal, persis seperti pohon.

Beda dengan pohon, gerakan rizomatik berciri tanpa pemimpin tunggal, terdesentralisasi, berbentuk kecil dan banyak, serta muncul di kota-kota ukuran menengah. Berbagai komponen dalam gerakan ini saling terkoneksi melalui media sosial, dengan algoritma juga berciri menjalar. Ia tidak mengikuti struktur ajeg dan logika hierarki, tetapi adaptif dan fleksibel.

Aksi turun ke jalan yang dilakukan mahasiswa, siswa, buruh dan aktivis masyarakat sipil dalam aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019, dan #TolakOmnibusLaw pada 2020, juga berciri rizomatik.

Simpul rizomatik terbentuk, menjalar dan bercabang karena dorongan berbagai kejadian yang signifikan. Dalam aksi Februari lalu, misalnya, intimidasi aparat kepada Sukatani, grup musik punk asal Purbalingga di Jawa Tengah, justru melahirkan tagar #KamiBersamaSukatani dan melipatgandakan #IndonesiaDarurat, #IndonesiaGelap, yang mencerminkan kekecewaan dan kemarahan publik. Lagu mereka kemudian banyak diputar saat demonstrasi besar di berbagai daerah.

Reaksi publik tersebut dipantik oleh video pemintaan maaf personel band Sukatani kepada Kepolisian RI lewat akun media sosial atas lagu mereka berjudul “Bayar Polisi”. Sukatani bahkan sempat mencabut lagunya dari platform Spotify. Belakangan, mereka mengaku telah diintimidasi oleh polisi karena lagu tersebut. https://poll.fm/15446788/embed

Peserta Makin Muda

Temuan riset kami juga menunjukkan aksi protes tahun 2024 dan 2025 melalui #IndonesiaDarurat dan #IndonesiaGelap ditopang oleh gerakan orang muda, termasuk mahasiswa, dan siswa. Mereka kebanyakan berlatar lintas kelas sosial kelas menengah dan kelas pekerja.

Aksi mendirikan tenda di depan DPR dalam rangka menolak UU TNI 2025, misalnya, melibatkan orang muda kelas menengah. Mereka mengemas aksi lebih fun, misalnya dengan latihan membuat keju mozzarela, membaca buku bersama, dan nail art.

Aksi ini kemudian bersinggungan dengan gerakan pekerja dalam rangkaian aksi yang sama.

Riset kami juga menunjukkan peningkatan keterlibatan siswa SMK pada aksi di jalan sejak 2019, dan menguat pada 2024 dan 2025. Kematian siswa di Semarang, Gamma Rizkynata Oktavandy, yang ditembak oleh polisi, memicu kemarahan siswa SMK pada kekerasan aparat negara.

Kemarahan ini tersambung dengan protes menolak revisi UU Pilkada yang bagian dari gerakan #IndonesiaDarurat.

Baca juga: Manifesto Politik Perempuan Kritik Rezim Prabowo-Gibran Di Hari Pergerakan Perempuan

Sebagian siswa SMK juga mulai bertemu dan bergabung dengan komponen gerakan lain, misalnya gerakan kelas pekerja, gerakan petani, dan gerakan miskin kota.

Pertemuan ini membantu mereka mengenali persamaan isu lintas kelas, sembari menyuarakan masalah ekonomi struktural yang mereka hadapi. Misalnya, mereka merasakan dan mengalami langsung dampak kesenjangan antara janji-janji pejabat negara, dengan realita kerja rentan yang tersedia untuk generasi mereka.

Kesenjangan ini diperparah perilaku rezim yang mengedepankan kepentingan elite, gaya hidup mewah, dan mengabaikan kekecewaan mereka.

Ini membuat jalaran isu ketimpangan sosial dan ekonomi yang dirasakan generasi pasca-1998 melahirkan cabang rimpang lain.

Gerakan Rimpang Masih Diabaikan

Pada 2020, mobilisasi tagar #ReformasiDikorupsi dan #TolakOmnibusLaw menjalar sebagai gerakan lebih luas. Gerakan tersebut cenderung bersifat sporadis, spontan dan berjangka pendek.

Mungkin karena inilah, rezim kerap mengabaikan dan menganggap mereka kecil. Ini terlihat dari penyataan presiden “anjing menggonggong kafilah berlalu”.

Ciri gerakan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara Asia Tenggara, seperti di Thailand dan Malaysia. Gerakan ini belum mampu mencapai perubahan mendasar karena terus-menerus dipukul balik rezim berkuasa.

Orang muda pun mulai terampil menghubungkan dan mengartikulasi (meskipun belum secara sistematis) dampak marjinalisasi sosio-ekonomi yang dialami sehari-hari secara lintas-kelas, misalnya uang sekolah yang mencekik, sulitnya mencari kerja layak dan regulasi yang menambah kerentanan.

Kami belajar dari kaum muda dalam hal bergerak bersama di tingkat tapak, termasuk dengan kelompok kelas pekerja dan kelompok miskin kota.

Aksi rizomatik yang didukung kaum muda menunjukkan bagaimana solidaritas terbentuk karena merasakan dampak kebijakan di banyak sektor. Gerakan rizomatik perlu terus didorong sembari konektivitasnya dengan gerakan lain, agar terus menjalar dan mengakar kuat guna merawat gerakan prodemokrasi.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Foto: Salsabila Putri Pertiwi/Konde.co

Amalinda Savirani, Diatyka Widya Permata Yasih, Inaya Rakhmani

Amalinda Savirani, Professor, Department of Politics and Government, Universitas Gadjah Mada ; Diatyka Widya Permata Yasih, Lecturer, Department of Sociology, Universitas Indonesia, dan Inaya Rakhmani, Head of Communication Research Centre, Universitas Indonesia.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!