Perempuan Berhak Merayakan Dirinya, Tanpa Embel-Embel Standar “Kecantikan” 

Dalam hal apapun termasuk prestasi dan aktualisasi diri, perempuan tidak semestinya dibatasi dengan standar “kecantikan”. Beauty privilege yang lahir dari adanya standar “kecantikan” itu pun, hanyalah mitos!

“Setiap pencapaian yang dilakukan oleh perempuan akan dinilai dari kecantikannya, bukan dari prestasi dan usahanya.” – Tasya Farasya

Dalam acara Mata Najwa yang membahas tentang “Enaknya Jadi Laki-laki”, saya terfokus pada pernyataan Content Creator Tasya Farasya yang cukup menyentil: bahwa apa pun yang perempuan capai dengan kerja kerasnya, sering kali tetap direduksi hanya pada kecantikannya. 

Komentar seperti “Iyalah, dia menang karena cantik” atau “Pantas saja kepilih, dia kan cakep” masih sering terdengar. Ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menilai perempuan dari penampilan fisiknya dibandingkan dengan usaha dan kompetensinya. 

Dengan kata lain, kesetaraan gender belum benar-benar terwujud, terutama dalam cara kita mengapresiasi pencapaian perempuan.

Baca Juga: Stop Beauty Standard, Jangan Menilai dari Penampilan, Tetapi Juga Kebaikan dan Selera Humor

Keadaan ini memperlihatkan bagaimana standar ganda masih berlaku. Perempuan yang berprestasi kerap dihadapkan pada anggapan bahwa keberhasilannya terkait dengan “kecantikan”, sementara laki-laki jarang mengalami hal serupa. 

Jika seorang laki-laki tampan dan sukses, hal itu lebih sering dianggap sebagai bonus yang melengkapi kemampuannya, bukan faktor utama pencapaiannya. Sebaliknya, bagi perempuan, “kecantikan” justru bisa menjadi alasan utama yang disorot, seolah-olah usaha dan kemampuannya tidak cukup untuk membuktikan dirinya.

Beauty Privilege Itu Mitos

Bicara soal ‘cantik’ yang ada di konteks Indonesia, penulis L. Ayu Saraswati pernah mengkaji dalam bukunya, ‘Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional’. Disebutkan dalam buku itu bahwa ‘putih’ menjadi standar kecantikan yang ada di Indonesia.

Standar kecantikan ‘putih’ di Indonesia bukan baru-baru ini muncul. Ia sudah ada sejak zaman Nusantara masih terdiri dari berbagai kerajaan. Bukan pula baru muncul saat masa kolonialisme Belanda dan Jepang. Apa lagi jika disangka colorism dalam kecantikan baru hadir di tengah massifnya karya media populer di Indonesia saat ini.

Standar kecantikan ‘putih bercahaya’ senantiasa hadir di Indonesia. Hanya satu yang berubah seiring zaman: acuan ‘putih’ pada standar kecantikan yang berlaku di tengah masyarakat.

Dari standar ‘cantik’ lalu munculah beauty privilege. Itu adalah hak istimewa terhadap perempuan yang dianggap “cantik”. Jadi, penyikapan masyarakat bisa saja lebih istimewa terhadap mereka. Padahal, beauty privilege yang dikonstruksikan kepada perempuan itu adalah mitos.

Di satu sisi, ada anggapan bahwa perempuan ”cantik” lebih mudah mendapatkan peluang. Namun, di sisi lain, mereka lebih sering diremehkan dalam hal kompetensi. Dalam dunia kerja, misalnya, perempuan dengan penampilan menarik kerap menghadapi stereotip bahwa mereka memperoleh posisi tertentu karena kecantikan, bukan karena kemampuan. Tidak hanya disalahkan karena privilege, kemampuan mereka sering kali tidak diakui, tetapi juga dikambinghitamkan dalam hal lain, misalnya dianggap sebagai penggoda atau bahkan “menjual” tubuhnya demi mendapatkan posisi tersebut. 

Hal tersebut menciptakan beban ganda bagi perempuan: mereka dituntut untuk tampil menarik sekaligus harus bekerja lebih keras untuk membuktikan keahlian mereka.

Baca Juga: Anjani Kurang Cantik dan Tak Layak Dicintai? Stop, Bebaskan Ia Mencari Jalannya Sendiri

Fenomena ini juga terlihat dalam dunia akademik dan profesional. Perempuan yang sukses di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) sering dianggap sebagai pengecualian daripada norma. Padahal, di balik pencapaian mereka ada kerja keras, pendidikan tinggi, dan ketekunan luar biasa. Sayangnya, keberhasilan mereka sering disertai dengan anggapan bahwa daya tarik fisik memberikan keunggulan tambahan, mengaburkan kompetensi mereka yang sebenarnya.

Sebaliknya, laki-laki tidak mengalami fenomena serupa. Tidak ada istilah handsome privilege yang membuat seseorang mendapat pencapaian hanya karena tampan. Jika seorang laki-laki sukses, orang-orang lebih fokus pada kemampuannya, ketekunan, dan strategi yang ia bangun. Jarang ada komentar yang meremehkan perjuangannya hanya karena faktor fisik. 

Baca Juga: Harus Glowing untuk Ngikutin Standar Kecantikan di Tiktok: Sejauh Apa Kita Mengejar yang Tak Realistis?

Bahkan dalam bidang politik, bisnis, atau akademik, laki-laki tampan justru dianggap lebih karismatik tanpa anggapan bahwa tampangnya adalah faktor utama kesuksesannya. Hal ini menunjukkan ketimpangan persepsi yang perlu dikritisi.

Lantas, bagaimana cara mengatasi masalah ini? Salah satunya dengan mengubah cara berpikir kita sejak dini. Sekolah dan media punya peran besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. 

Pendidikan harus lebih banyak menanamkan nilai bahwa seseorang dinilai dari kompetensi dan kerja kerasnya, bukan sekadar dari penampilan fisik. Begitu pula dengan media massa, yang seharusnya tidak terus-menerus menjual citra perempuan sebagai objek visual semata, melainkan sebagai individu dengan prestasi dan pemikiran yang bernilai.

Baca Juga: Perempuan Cantik Harus Berkulit Putih? No! Bongkar Obsesi Kecantikan di Indonesia

Kita juga bisa belajar dari negara-negara yang lebih maju dalam hal kesetaraan gender, seperti Islandia atau Swedia. Di sana, perempuan dan laki-laki mendapat perlakuan yang lebih adil, karena sistem di masyarakat sudah terbiasa menilai seseorang berdasarkan kompetensi dan dedikasi, bukan sekadar penampilan. Indonesia bisa meniru langkah-langkah ini dengan lebih banyak membuat kebijakan yang mendukung kesetaraan di dunia kerja, pendidikan, dan sosial.

Pada akhirnya, kesetaraan gender bukan hanya tentang memberikan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan, tapi juga membongkar stigma dan stereotip yang selama ini merugikan perempuan. 

Perempuan berhak dihargai atas kerja keras dan prestasinya, bukan hanya karena kecantikannya. Sudah saatnya kita semua berhenti menilai seseorang hanya dari fisiknya dan mulai menghargai kualitas serta perjuangannya. Jika kita ingin benar-benar adil, kita harus mengubah cara pandang dan memberikan apresiasi yang lebih layak bagi semua orang, tanpa terkecuali.

(Editor: Nurul Nur Azizah) 

Nurul Husnul Humaerah

Lahir di Bantaeng saat ini berdomisili di Sulawesi Barat. Seorang Guru di siang hari, penulis galau di malam hari. Para pembaca bisa berinteraksi melalui IG @nhhumaerah.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!