Artikel dan zine ini untuk memperingati #Haripendidikannasional 2025 yang ditulis para siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tergabung dalam Girl’s Project Konde.co. Tulisan ini bagian dari #Meimelawan 2025

Anjani takut gagal, takut tidak diterima, takut jika ia tidak bisa memenuhi ekspektasi yang telah digariskan orang lain.
Remaja perempuan itu duduk sendiri di balkon rumahnya, menatap langit yang mulai berubah warna, dari biru cerah ke jingga keemasan. Suara angin sore yang berhembus pelan membawa kesunyian yang menenangkan, tetapi di dalam hatinya sebagai remaja perempuan, ada ribuan pertanyaan yang tak pernah berhenti berputar.
Sambil menyandarkan tubuhnya pada pagar balkon, ia meraih secangkir teh hangat yang ia buat sendiri dan memandang ke arah halaman rumah yang sepi.
Baca Juga: Dear Guru dan Lingkunganku, Remaja Perempuan Dibelenggu Aturan Berpakaian, Tugas Kalian Memperbaiki
Namanya Anjani, ia adalah remaja perempuan yang selalu ceria, namun dibalik keceriaannya, ada keraguan yang tak pernah berhenti mengusik pikirannya. Ia sering menatap dirinya di depan kaca, memeriksa setiap lekuk tubuhnya yang menurutnya tak sempurna seperti remaja perempuan lainnya. Ia merasa seperti ada yang kurang dalam tubuhnya, seolah dunia ini mengharapkan sesuatu yang lebih.
“Apa aku layak untuk dicintai?” pertanyaan itu selalu muncul dalam benaknya setiap kali ia merasa tak mampu memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya. Harapan yang tak pernah ia pilih, tapi selalu ada, membebani setiap langkahnya.
Pernah suatu kali, Anjani jatuh hati pada seseorang di sekolahnya. Mereka sering bertemu di taman belakang sekolah, berbincang ringan, tertawa bersama. Tapi, setiap kali hatinya mulai berdebar dan perasaan itu mulai tumbuh, ada rasa takut yang begitu besar. Takut jika dirinya tak cukup dianggap sebagai remaja yang pantas untuk mencintai. Takut jika dia tidak sesuai dengan ekspektasi orang itu. Juga takut kalau mereka hanya melihatnya dari luar, dari penampilannya yang biasa saja, dari tubuhnya yang tidak cukup langsing, dari wajahnya yang tak secantik teman-temannya.

“Ah, aku pasti bukan tipe nya, ia pasti suka dengan temanku yang lebih cantik, lebih pintar, lebih sempurna” pikir Anjani.
Dan karena ketakutan itu, Anjani memilih untuk memendam perasaannya, selalu saja begitu. Ia tak pernah berani untuk mengungkapkan perasaannya. Ia lebih memilih menjaga jarak, walaupun hatinya ingin sekali bersuara.
Namun, dunia terus menuntutnya untuk lebih, lebih, dan lebih lagi. Pernah di suatu waktu ia merasa sangat lelah untuk terus terusan mengikuti standar kecantikan orang lain, ia ingin menjadi kurus seperti teman-temannya, selalu memperhatikan berat badan, dan memastikan ia selalu terlihat sempurna. Ia harus memakai make-up agar terlihat lebih cantik, lebih menarik. Semua itu, seolah menjadi syarat untuk diterima oleh dunia.
Baca Juga: Saatnya Kita Bertanya Tentang Remaja Perempuan Yang Hidupnya Tidak Baik-Baik Saja
Terkadang, Anjani merasa seperti robot yang diprogram untuk mengikuti segala aturan, segala ekspektasi.
Padahal ia ingin bebas, ingin menjadi dirinya sendiri, tapi rasa takut selalu datang setiap kali ia ingin melangkah keluar dari zona nyaman. Ia merasa bahwa setiap kesalahan, sekecil apapun itu, akan membuatnya tak layak dicintai, dan tak layak dihargai.

Anjani menatap langit yang semakin gelap, dihiasi dengan bintang-bintang yang mulai bermunculan satu per satu. Dia menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon, matanya tertutup sejenak, mencoba menghilangkan segala pikiran yang terus berputar. Anjani merasa terjebak di antara dua dunia—dunia yang dituntut oleh orang-orang di sekitarnya, dan dunia yang ia inginkan untuk dirinya sendiri, yang entah di mana dan seperti apa bentuknya.

Pernah suatu kali, Anjani berani bertanya kepada ibunya tentang impiannya. Ia ingin melanjutkan studi ke luar negeri, mengejar cita-citanya yang lebih besar, tapi jawabannya membuat hatinya kembali rapuh.
“Untuk apa, Nak? Kamu perempuan. Ujung-ujungnya juga di rumah urus anak, kan?,” kata ibunya, dengan senyum yang seakan menyiratkan sebuah kebenaran yang tak bisa diperdebatkan.
Kata-kata itu begitu menancap dalam, apakah impian-impian besar yang selama ini ia miliki hanya akan berhenti di tengah jalan, hanya karena ia dilahirkan sebagai seorang perempuan?
Baca Juga: Demam ‘Thrifting’ Kalangan Gen Z: Sekadar Trendi Atau Benar-Benar Berkelanjutan?
Suatu sore, ketika ia sedang duduk di taman belakang sekolah, ia kembali bertemu dengan lelaki yang selalu ia perhatikan dari jauh. Mereka berbicara ringan, tertawa bersama, tetapi Anjani tak bisa mengabaikan perasaan yang ada. Setiap kali ia melihat mata lelaki itu, hatinya berdebar kencang, namun ketakutan kembali muncul. Apa dia tertarik padaku? batinnya. Aku tidak cukup cantik. Aku tidak cukup pintar, aku bukan tipe yang dia cari.

Dan seperti biasa, Anjani memilih untuk diam. Ia menyimpan perasaan itu dalam-dalam, bersembunyi di balik senyumnya yang ceria. Aku takut akan kehilangan diriku jika aku terlalu terbuka, pikirnya. Ia takut pada penolakan, pada kenyataan bahwa dirinya tidak cukup untuk siapa pun.
Setiap kali ia melihat dirinya di cermin, ia merasa semakin jauh dari gambaran ideal yang ada di kepalanya. Ia ingin menjadi seperti teman-temannya yang selalu tampak sempurna, tetapi untuk itu, ia harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Baca Juga: Jalan Terjal Ojol Perempuan, Bertaruh Pada Panas Aspal dan Algoritma: Hasil Riset Konde.co (1)
Akhirnya, dengan secangkir teh yang kini sudah dingin di tangannya, Anjani menatap bintang-bintang yang ada di langit, bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Apa aku punya hak untuk menjalani kehidupanku sendiri?

Tapi sampai saat ini, Anjani belum tahu jawabannya. Ia merasa terjebak dalam kebingungan yang tak berujung. Setiap kali ia mencoba melangkah, ada rasa takut yang menyelubungi dirinya. Takut gagal, takut tidak diterima, takut jika ia tidak memenuhi ekspektasi yang telah digariskan oleh orang lain. Di satu sisi, Anjani tahu bahwa ia harus berani untuk melangkah. Tetapi, di sisi lain, ia masih ragu—apakah ia bisa menemukan jalan yang tepat untuk dirinya sendiri, atau apakah ia akan terus terjebak dalam kebingungannya, menunggu jawaban yang mungkin tidak pernah datang.

Langit malam semakin gelap, namun bintang-bintang di atasnya semakin terang. Seperti dirinya, yang meski masih penuh kebingungan, namun masih memiliki harapan. Dia tidak tahu ke mana arah hidupnya akan mengarah, tetapi satu hal yang ia tahu—ia masih mencari. Ia berharap bahwa suatu saat nanti, ia akan menemukan jalan yang sesuai dengan dirinya, dan pada akhirnya, ia akan belajar untuk menerima diri sendiri apa adanya. Ia akan mencari jalannya sendiri.
(Editor: Luviana Ariyanti)
Tim Girl’s Project: Chaeilla Khaerani, Ellen Oktavia, Khansa Nayla Khairani, Laksita Mahesvari Hanindyajati, Ratu Sophia Ardhani, Savana Candid Nusantara
Tim fasilitator dan mentor: Sophie Trinita, Luviana Ariyanti, Terra Istinara