Mungkin kamu pernah mendengar pertanyaan atau pernyataan yang mempersoalkan cara atau sikap seseorang dalam berelasi.
“Kok mau-maunya sih jemput cowok?”
“Split bill? Emang cowok kamu gak bayarin?”
Ucapan-ucapan semacam ini bisa jadi membuat seseorang mempertanyakan sikapnya atau bahkan meragukan tindakannya. Apakah sudah sesuai dengan ekspektasi masyarakat? Apakah ada yang salah dengan prinsip yang ia yakini?
Dalam dunia percintaan, perempuan sering kali dihadapkan pada stereotipe yang bertentangan dengan prinsip yang ia pegang. Stereotipe menggambarkan perempuan sebagai sosok yang diperjuangkan, ia tidak perlu mengeluarkan usaha lebih terhadap pasangannya.
Ada perempuan yang memang mampu memenuhi ekspektasi tersebut dan memegang prinsip bahwa laki-lakilah yang harus lebih berjuang. Termasuk dengan embel-embel “kalau memang cinta”. Namun sebagian lainnya mungkin tidak peduli siapa yang harus berjuang lebih keras.
Adanya perbedaan pandangan terkait bagaimana perempuan mengekspresikan cinta ini membuat kita membanding-bandingkan dengan anggapan umum yang berlaku di masyarakat. Terkadang pula kita menganggap bahwa pandangan atau sikap yang berbeda adalah hal yang tidak wajar.
Padahal sesungguhnya anggapan umum yang berlaku di masyarakat bukanlah hal yang muncul secara alami. Ada proses konstruksi yang berlangsung secara berulang dan terus-menerus hingga seakan-akan terlihat natural.
Stereotipe Perempuan Sebagai “Sosok yang Harus Diperjuangkan”
Hiburan layar kaca, entah film, sinetron, iklan, dsb, kerap menampilkan gambaran perempuan sebagai sosok yang selalu dijaga kehormatannya dan diperjuangkan. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang mengejar hati perempuan dan berkorban apapun demi mendapatkan hatinya. Nama tokohnya bisa berbeda, setting film bisa tidak sama, plotnya bisa berlainan tetapi pesan yang dibawa selalu sama.
Begitu juga dengan kisah dongeng, perempuan yang baik digambarkan sebagai putri cantik yang lembut dan menunggu cinta pangeran. Sementara perempuan yang berusaha mendapatkan cinta pangeran merupakan tokoh antagonisnya. Tentu saja pemenangnya adalah sang putri cantik yang tidak perlu berusaha keras mendapatkan cinta pangeran.
Baca juga: ‘Cool Girl’, Kebebasan atau Jebakan? Ketika ‘Perempuan Keren’ Lahir dari Stereotipe Patriarki
Pesan-pesan yang terkandung dalam berbagai budaya populer tersebut ketika diproduksi secara terus-menerus dan nyaris tanpa pembanding, maka bisa menimbulkan persepsi bahwa ia adalah penggambaran realitas yang sebenarnya. Meski sesungguhnya tidaklah demikian.
Kondisi ini makin memperkuat ekspektasi bahwa perempuan sebaiknya menunggu dan tidak perlu berjuang lebih. Dalam budaya Jawa, orang tua akan mengatakan “ora elok” yang artinya tidak pantas/tidak seharusnya perempuan memperjuangkan laki-laki.
Cara dongeng dan hiburan layar kaca tersebut, secara tidak sadar membangun pemahaman seakan-akan perempuan yang lebih aktif dalam mengekspresikan cinta adalah sosok yang tidak mengindahkan norma. Akibatnya, perempuan akan merasa ragu dan gengsi untuk mengekspresikan cinta.
Standar Perempuan di Platform Sosial
Bagaimana dengan media sosial, apakah penggambaran perempuan di medium ini sama dengan di media massa? Mari kita ulik bersama.
Media sosial sedang ramai dengan pembahasan soal “standar cewek TikTok”. Konten ini biasanya berisi tentang bagaimana seharusnya laki-laki memperlakukan perempuan. Laki-laki diharapkan mampu memberikan treatment kepada pasangannya selayaknya ratu, memahami segala keinginan perempuan tanpa diberitahu, melakukan hal-hal kecil yang dianggap manis, dan masih banyak lagi.
Sementara perempuan sendiri harus menjaga sikapnya agar tidak terlalu terlena dengan cinta laki-laki. Apabila perempuan terlalu jatuh hati dengan laki-laki akan dianggap “bucin” (budak cinta). Ekspektasi sosial tersebut acap kali menciptakan perasaan tidak nyaman bagi perempuan. Memang tidak ada salahnya jika ingin memenuhi ekspektasi sosial, tetapi tidak memenuhinya pun juga bukan dosa yang memalukan.
Baca juga: Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya
Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial ini bisa memicu overthinking pada perempuan. Termasuk menumbuhkan rasa tidak pantas dalam diri perempuan ketika sikapnya berbeda dengan ekspektasi yang dominan dalam masyarakat.
Selain terhadap dirinya, tak jarang pula fenomena ini merusak hubungan dengan pasangan. Ketidaknyamanan dalam hubungan akan muncul karena kecenderungan membandingkan treatment yang dilakukan pada pasangan dengan standar sosial yang sedang ramai diperbincangkan.
Bagaimana tidak? Perempuan bisa merasa kurang ketika pasangannya tidak dapat memenuhi standar ekspektasi media sosial. Sementara laki-laki akan merasa tertekan karena harus selalu memberikan yang terbaik demi dianggap sebagai pasangan greenflag. Dengan munculnya perasaan selalu kurang, hubungan cinta akan menjadi transaksional dan diukur dengan treatment-treatment yang viral.
Membatasi Perempuan dalam Berekspresi
Stereotipe perempuan sebagai sosok yang harus diperjuangkan justru menciptakan batasan bagi perempuan dalam mengekspresikan rasa cintanya terhadap pasangan. Perempuan yang berjuang kadung teranggap “bucin”, “tidak tahu malu”, atau bahkan sering dinilai “murahan” padahal perempuan bukan barang dagangan.
Sebaliknya, perempuan yang lebih memilih menunggu juga dianggap memiliki pemikiran konservatif atau dianggap sebagai penganut paham patriarki. Sementara orang lain sendiri tidak memahami apa yang telah dialami dan dilalui pasangan tersebut dan komitmen apa yang telah mereka bangun.
Adapula perempuan yang sudah terlabel sebagai independent woman dianggap tidak membutuhkan peran laki-laki, sehingga ketika tertangkap sedang mengekspresikan cintanya terhadap laki-laki akan dianggap gagal independent. “Katanya independent woman, tapi kok manja banget sama pacarnya?” kurang lebih seperti itulah kalimat yang akan terlontar seakan seorang independent woman tidak berkesempatan memenuhi kebutuhan emosionalnya untuk mencintai atau dicintai.
Baca juga: Girl Math Bentuk Lelucon atau Bukti Kecerdasan Finansial Perempuan?
Perempuan kini dihantui dengan standar ganda yang membingungkan dan membuat perempuan merasa serba salah. Perempuan yang mandiri dan aktif dalam mengekspresikan cintanya seringkali dianggap agresif, namun menjadi pasif pun akan dianggap terlalu bergantung dengan laki-laki. Kebingungan ini mempersempit ruang perempuan dalam mengekspresikan cinta sehingga yang terproyeksi justru akan terasa tidak murni, tidak sesuai kata hati.
Keluar dari Jebakan Stereotipe Gender
Kategorisasi perempuan dalam label-label tertentu bukanlah hal yang sehat. Pertama, pelabelan yang kemudian menjadi stereotipe merupakan upaya menyederhanakan atau menggeneralisasi manusia—dalam hal ini perempuan—yang pada dasarnya merupakan individu yang kompleks.
Kedua, generalisasi berlebihan yang dilakukan secara berulang dan diterima secara luas akan membentuk stereotipe negatif. Stereotipe ini bisa membatasi potensi dan peran gender kedua pihak, yakni perempuan maupun laki-laki. Lebih jauh bahkan bisa menimbulkan prasangka dan diskriminasi.
Jelas tidak ada hal positif dari stereotipe gender dalam berelasi. Tidak masalah perempuan ingin berjuang atau menunggu cinta. Keputusan ada pada diri perempuan itu sendiri. Masing-masing perempuan punya cara untuk mengekspresikan perasaannya dan tidak perlu saling diperbandingkan.
Cinta menurut saya adalah perjuangan dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Kita tidak perlu terjebak pada stereotipe gender yang membatasi dan keluar dari ekspektasi sosial yang mengungkung.
Kita juga tidak perlu menghakimi bagaimana seharusnya treatment terhadap pasangan diberikan. Sejauh tidak ada unsur kekerasan—yang tidak melulu berbentuk fisik—dalam sebuah relasi, intervensi pihak lain tidaklah dibutuhkan.
(Editor: Anita Dhewy)