Stereotipe gender

Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya

Stereotipe gender kerap menggeneralisir perempuan hanya berdasarkan karakteristik tertentu. Padahal, perempuan adalah kelompok dengan interseksionalitas yang kompleks dan tidak bisa dilabeli.

Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.

Sebagai perempuan, apa saja hal yang pernah kamu dengar mengenai sifat dan karakteristik perempuan?

Mungkin ucapan seperti, “Ah, cewek kan baperan!,” “Perempuan kalau cantik biasanya bodoh,” “Kodrat perempuan cuma jadi istri dan ibu,” dan sebagainya, sering bermunculan di sekitar kita. Nah, hal-hal seperti itulah yang dikenal sebagai stereotipe, dalam hal ini stereotipe gender bagi perempuan.

Kata ‘stereotipe’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai, “Konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat.” Stereotipe juga berarti generalisasi berlebihan dan kerap tidak akurat terhadap seseorang atau suatu kelompok.

Stereotipe cenderung menyederhanakan atau menghilangkan kompleksitas suatu kelompok. Deskripsi dan perspektif atas mereka hanya berfokus pada beberapa karakteristik tertentu. Padahal, sebuah kelompok sangat mungkin memiliki karakteristik dan latar belakang yang lebih beragam dan interseksional. Selain itu, stereotipe bisa terbentuk berdasarkan informasi yang tidak benar atau ‘basi’.

T. E. Perkins membagi pembedaan antara yang benar dan salah dalam stereotipe, serta bagaimana stereotipe memalsukan realitas sosial. Menurut Perkins dalam esai ‘Re-Thinking Stereotypes’, stereotipe menyajikan interpretasi kelompok yang menyembunyikan penyebab ‘sungguhan’ atas posisi mereka yang teropresi. “Kedua, stereotipe adalah deskripsi selektif atas ranah-ranah signifikan atau bermasalah tertentu serta sampai pada tahap berlebihan.”

Meski tidak semua stereotipe itu negatif, dampaknya memang lebih sering merugikan kelompok target dan individu di dalamnya. Stereotipe membatasi kesempatan, memicu diskriminasi, dan memperkuat ketidaksetaraan akibat sentimen yang terbentuk atas kelompok-kelompok yang terlibat. Dampaknya terutama dirasakan oleh kelompok yang teropresi, seperti perempuan.

Perempuan, Stereotipe Gender, dan Feminisme

Perkins melalui esainya menjelaskan, stereotipe mengenai sebuah kelompok cenderung berkembang karena ia memiliki, atau menampilkan, sebuah masalah. Misalnya perubahan status, hubungan yang rumit namun sentral, dan lainnya. Alhasil, kebanyakan stereotipe lebih berkaitan dengan kelompok teropresi dan rentan—sebab posisi kelompok dominan cenderung stabil dan tidak bermasalah. Inilah alasan stereotipe lebih mengkhawatirkan bagi perempuan.

Patriarki membuat perempuan mengalami opresi serta dianggap sebagai kelompok lemah dan inferior. Lazim pula stereotipe yang membentuk anggapan bahwa semua perempuan ‘cerewet’, ‘baper’, ‘tidak pintar’, dan sebagainya. Pelabelan tersebut sangat berdampak dan mengekang kehidupan perempuan sejak kecil hingga dewasa.

Dalam feminisme, stereotipe gender terhadap perempuan adalah konstruksi sosial yang membatasi dan menindas perempuan. Stereotipe dan stigma terhadap perempuan erat dengan konstruksi masyarakat patriarkis dan misoginis. Selain itu, stereotipe perempuan biasanya menilai karakteristik perempuan berdasarkan seberapa jauh ia dapat membuat laki-laki menyukainya. Ini membuat nilai diri perempuan seakan-akan hanya bergantung pada laki-laki.

Baca Juga: Apa Itu Patriarki? Kamu Harus Pelajari Makna Sebenarnya 

Generalisasi dan konstruksi realitas atas perempuan juga rentan terbentuk akibat representasi perempuan di media. Jika perempuan direpresentasikan dalam film, teks, iklan, hingga reality show dengan imaji ‘klise’ dan terbatas pada peran-peran tertentu, maka stereotipe bahwa semua perempuan sama seperti itu akan terbentuk di tengah masyarakat.

Stereotipe gender yang merugikan perempuan menuai protes dan kecaman dari banyak feminis di berbagai era. Penulis dan feminis asal Nigeria, Chimamanda Ngozi Adichie, menyampaikan kritiknya dalam buku ‘We Should All be Feminists’.

Ia menyoroti berbagai karakteristik yang diharapkan masyarakat dari perempuan sejak kecil, yang kemudian membentuk pribadi mereka hingga dewasa. Perempuan sering kali harus ‘menciutkan’ dirinya sendiri, tidak boleh terlalu sukses, menyandang status ‘menikah’ dulu agar dihargai orang lain, dan sebagainya.

Dari ekspektasi-ekspektasi tersebut, muncullah stereotipe terhadap diri perempuan; bahwa perempuan pasti enggan jadi pemimpin, tidak ambisius, tidak pintar, dan seterusnya. Atau, perempuan mesti pandai memasak, handal mengurus rumah tangga, dan cuma peduli tentang penampilan fisik.

Bagi Adichie, ekspektasi gender seperti itulah yang menjadi masalah. “Ia menentukan bagaimana diri kita seharusnya alih-alih menyadari bagaimana diri kita saat ini,” kata Adichie dalam bukunya.

Jauh sebelum Adichie, para feminis lainnya menyuarakan keresahan yang sama terkait stereotipe yang disematkan kepada perempuan. Misalnya Betty Friedan lewat buku ‘The Feminine Mystique’, yang membahas stereotipe perempuan sebagai ibu dan istri yang bahagia di rumah.

Feminis sekaligus filsuf Judith Butler juga mengembangkan konsep performativitas gender. Ia menunjukkan bahwa stereotipe gender adalah hasil dari tindakan dan penampilan yang diulang-ulang, dan dapat dirubah melalui perubahan perilaku.

Baca Juga: Judith Butler: Memahami Filsafat Gender yang Tidak Biologis, Tapi Performatif

Sementara lewat bukunya ‘The Second Sex’, de Beauvoir mengkritik bagaimana perempuan menjadi ‘perempuan’ berdasarkan ekspektasi masyarakat karena ia diajari demikian. Menurutnya, seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan secara gender; ia menjadi perempuan karena lingkungan membentuknya seperti itu. Konstruksi gender juga dibentuk berdasarkan kehendak laki-laki dan lingkungan masyarakat patriarki, sehingga muncul stereotipe bahwa perempuan harus menjalani peran domestik, submisif, tidak berdaya, dan sebagainya.

De Beauvoir menentang pandangan bahwa perempuan secara alamiah lebih dekat dengan alam, tubuh, dan reproduksi. Sementara laki-laki dianggap sebagai subjek yang lebih aktif dan rasional. Baginya, stereotipe seperti ini membatasi perempuan dalam kebebasan dan pengembangan pribadi mereka.

Dalam karyanya, de Beauvoir menekankan pentingnya pendidikan dan kesetaraan dalam memberikan perempuan akses ke kehidupan yang lebih bebas dan berarti. Ia menantang ide bahwa perempuan seharusnya terbatas pada peran tradisional sebagai ibu dan istri.

De Beauvoir juga mengajukan pertanyaan tentang bagaimana konsep-konsep ini mempengaruhi kemerdekaan dan identitas perempuan. Menurut de Beauvoir, perempuan bukan hanya objek dari pandangan atau norma yang ada. Melainkan individu yang memiliki hak-hak dan potensi yang sama dengan laki-laki. 

Memutus Stereotipe Gender terhadap Perempuan

Sudah bukan zamannya lagi melanggengkan stereotipe gender, terutama terhadap perempuan. Kini upaya-upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang kekeliruan dari stereotipe kian gencar digaungkan oleh para feminis. Kita juga bisa menantang stereotipe perempuan dengan membuktikan bahwa perempuan adalah kelompok dengan kompleksitas, dan setiap individu perempuan adalah entitas yang punya kebebasan atas dirinya sendiri.

Feminisme juga mendorong representasi perempuan di media menjadi lebih positif dan multidimensional. Alih-alih karakteristik yang digeneralisir, sosok perempuan yang muncul di media menjadi lebih beragam dan interseksional dengan persoalan dan pemberdayaannya masing-masing.

Baca Juga: Apa Itu Personal is Political? Betapa Politisnya Pilihan Perempuan

Yang tidak kalah krusial dalam upaya memutus stereotipe gender adalah kebijakan pemerintah yang lebih mempromosikan kesetaraan gender dan melindungi perempuan dari diskriminasi.

Penting untuk menyadari stereotipe yang ada di masyarakat, serta bagaimana stereotipe tersebut dapat memengaruhi cara kita berpikir dan berperilaku. Dukungan terhadap perempuan yang mendobrak batas-batas stereotipe tradisional dan patriarkis tentu sangat diperlukan.

Kita juga bisa mendukung organisasi dan gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender demi dunia yang bebas dari stereotipe gender.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!