Girl Math Bentuk Lelucon atau Bukti Kecerdasan Finansial Perempuan?

Ketika perempuan mengembangkan strategi pengelolaan uang kreatif seperti menghitung biaya pemakaian atau manfaatkan diskon maksimal, dunia justru menertawakannya dan menyebutnya sebagai “girl math.”

Girl math adalah istilah yang muncul sebagai tren di media sosial, khususnya TikTok, untuk menggambarkan cara-cara kreatif dan terkadang tidak konvensional yang banyak digunakan oleh perempuan dalam membenarkan keputusan mengelola uangnya.

Tren ini mulai populer pada tahun 2023, dan dianggap sebagai sesuatu yang berbeda karena banyak laki-laki sulit memahaminya.

Inti dari girl math adalah rasionalisasi pengeluaran dengan logika yang tampaknya tidak biasa. Seperti menganggap bahwa kalau belanja dengan uang tunai di bawah jumlah tertentu dianggap “gratis” karena tidak mengurangi saldo rekening. Atau yang menarik, misalnya seorang perempuan menjelaskan bahwa jika ia punya saldo Rp. 8.175.000, maka ia hanya bisa menggunakan Rp. 175.000 saja untuk menjaga jumlah saldonya bulat. Ada juga perhitungan yang lebih ekonomis, seperti menganggap harga tas mahal sebagai murah ketika dibagi dengan jumlah hari pemakaiannya selama bertahun-tahun.

Kita semua pernah melakukan girl math. Beli sepatu mahal sedikit? Tidak masalah, toh bakal awet dipakai berkali-kali. 

Tren ini awalnya hanya sekadar hiburan di TikTok, tapi lama-kelamaan berubah menjadi bahan cibiran. Katanya, perempuan tidak logis dalam mengatur keuangan. Tapi, kalau dipikir lagi, bukankah banyak orang juga melakukan hal serupa, hanya tidak diberi nama?

Meskipun tren ini dimaksudkan sebagai lelucon ringan, beberapa kritikus berpendapat bahwa girl math dapat memperkuat stereotipe negatif tentang perempuan dalam mengelola keuangan. Selain juga mempromosikan literasi keuangan yang buruk.

Girl math mungkin bisa dilihat secara terbuka sebagai cara berpikir yang lebih intuitif dan fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika seseorang merasa bahwa saldo rekening Rp8.175.000 berarti hanya Rp175.000 yang boleh digunakan, itu sebenarnya adalah bentuk bentuk anchoring dalam psikologi keuangan (seseorang menetapkan angka tertentu sebagai tolok ukur untuk membuat keputusan finansial).

Baca juga: ‘No Buy Challenge 2025’: Cerita Para Perempuan Bertahan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi 

Atau ketika melihat video perempuan yang menjelaskan kepada suaminya bahwa harga tasnya yang berkualitas tinggi hanya seperti harga nasi lemak saja, setelah harga tas dibagi jumlah hari dalam 3 tahun. Karena jika dipakai bertahun-tahun, biaya per use jadi sangat murah, itu adalah prinsip cost per wear analysis, yang juga digunakan dalam dunia bisnis untuk menilai investasi jangka panjang.

Lucunya, ketika strategi keuangan ini disebut girl math, ia malah jadi bahan lelucon. Padahal, pendekatan ini menunjukkan bagaimana perempuan mengelola uang dengan cara yang fleksibel dan masuk akal dalam realitas ekonominya.

Banyak perempuan justru sangat cermat menggunakan voucher belanja dari e-commerce dan menyetok barang saat diskon (termasuk saya) untuk bertahan di kapitalisme ini. Bukan hanya sekadar belanja impulsif, seperti stereotip yang sering dilekatkan, tetapi sebenarnya sedang menerapkan strategi finansial cerdas. Dengan kalkulasi yang teliti, kita bisa mengoptimalkan cashback, menggabungkan promo, dan memanfaatkan program loyalitas untuk mendapatkan harga terbaik. 

Seorang ibu, misalnya, mungkin tahu persis kapan harga kebutuhan pokok akan turun dan bagaimana menggabungkan promo agar belanja bulanan lebih hemat. Seorang pekerja bisa mengatur waktu pembelian skincare atau alat kerja saat flash sale agar tetap bisa merawat diri tanpa menguras tabungan. Semua ini adalah bentuk “survival math“, di mana perempuan menggunakan keterampilan berhitungnya untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi, terutama ketika harus mengelola gaji yang stagnan dengan biaya hidup yang terus meningkat.

Perilaku ini sering direduksi menjadi girl math, sebuah lelucon yang meremehkan bagaimana perempuan memanfaatkan logika untuk bertahan dalam sistem ekonomi yang tidak menentu. Padahal, di balik setiap strategi belanja ini, ada matematika perhitungan inflasi, manajemen anggaran, hingga prediksi harga berdasarkan tren pasar. Jika yang melakukan ini adalah investor di bursa saham, mereka akan disebut strategis dan visioner. Tetapi ketika perempuan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Kita justru ditertawakan.

Matematika Seharusnya Tidak Dianggap Eksklusif

Matematika sering kali hadir dalam bentuk yang mengintimidasi. Sejak sekolah, banyak dari kita diajarkan rumus-rumus tapi jarang diberi tahu bagaimana atau di mana menerapkannya dalam kehidupan nyata. 

Akibatnya, matematika terasa seperti dunia eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang dianggap jenius. Padahal, tanpa disadari, kita menggunakan matematika setiap hari. Namun, karena matematika sering dikemas dalam format yang kaku dan eksklusif, banyak orang akhirnya melihatnya sebagai sesuatu yang menakutkan dan jauh dari keseharian.

Sama seperti perempuan, laki-laki pun banyak yang kesulitan dalam pelajaran matematika di sekolah. Namun, perbedaannya terletak pada bagaimana masyarakat mempersepsikan kesulitan tersebut. Ketika seorang laki-laki mengalami kesulitan dalam matematika, sering kali dianggap sebagai masalah individual, ia mungkin kurang berusaha atau sekadar tidak berbakat dalam bidang itu.

Sementara itu, ketika perempuan kesulitan, sering kali muncul anggapan bahwa perempuan memang secara alami kurang unggul dalam matematika, seolah-olah ada keterbatasan bawaan yang membuat perempuan tidak cocok dengan angka dan logika. Stereotip ini berbahaya karena bukan hanya menghambat kepercayaan diri perempuan dalam bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), tetapi juga memperkuat anggapan bahwa matematika adalah dunia eksklusif yang lebih sesuai untuk laki-laki.

Baca juga: PPN Naik Jadi 12%: Bagaimana Pandangan Feminis Atas Pajak dan Kenapa Perlu Dorong Pajak Kekayaan?

Kemudian ketika muncul istilah girl math, bukannya membuka ruang baru bagi perempuan dalam memahami keuangan, justru malah dijadikan bahan lelucon. Padahal, perempuan selalu berhitung setiap hari agar bisa bertahan hidup.

Seperti seorang ibu setiap hari menghitung cara menyediakan makanan bergizi dengan budget minim. Kemudian menghitung waktu yang dibutuhkan untuk memasak, mengurus anak, bekerja, dan membersihkan rumah. Mengatur jadwal anak (sekolah, les, tidur) agar tidak berbenturan dengan pekerjaan rumah. 

“Kalau aku mulai masak jam 5 pagi, beres jam 6, lalu bisa antar anak ke sekolah jam 7 dan kerja jam 8, dan seterusnya”.

Atau saat perempuan terus-menerus menghitung probabilitas bahaya dalam berbagai situasi seperti menghitung risiko jalan mana yang lebih aman saat pulang malam, menganalisis seberapa jauh berdiri dari orang asing di tempat umum agar tidak dilecehkan dan menghitung seberapa cepat harus berjalan agar tidak terlihat rentan.

“Kalau aku jalan di sisi kanan, lebih dekat ke lampu jalan dan lebih banyak orang yang bisa melihatku karena arah kendaraan dari depanku.”

Atau matematika sederhananya, jika seorang perempuan ingin berjalan 500 meter dalam 10 menit agar terhindar dari ancaman, kecepatan yang dibutuhkan adalah jarak dibagi waktu: v= S/t. Maka v = 500 meter/10 menit = 50 meter per menit.

Kritik Feminis terhadap Sains

Feminis Sandra Harding dalam bukunya The Science Question in Feminism menjelaskan bahwa para akademisi feminis telah mempelajari hubungan sosial antar gender dan secara tegas menentang kerangka konseptual dari berbagai disiplin ilmu, termasuk kritik bahwa sains berjenis kelamin. 

Sesungguhnya ilmu pengetahuan, konsep, teori, metodologi, dan kebenaran transendental sangat jauh terbatas dari yang kita kira. Ilmu pengetahuan yang selama ini dianggap objektif dan universal, sebenarnya dipengaruhi oleh gender, kelas, ras, dan budaya penciptanya. 

Para feminis menyoroti bahwa ilmu pengetahuan modern tidak netral, melainkan sering digunakan sebagai alat dominasi sosial dan ekonomi. Hal ini menimbulkan ketakutan dan resistensi terhadap sains. Apalagi sains kerap mengabaikan atau meremehkan isu-isu perempuan.

Ilmu pengetahuan lanjut Sandra Harding, yang dulu hanya sebagai alat bantu, kini menjadi penggerak utama dalam akumulasi kekayaan dan kontrol sosial. Para ilmuwan tidak lagi bekerja secara independen, tetapi menjadi bagian dari sistem besar yang menuntut hasil penelitian segera dapat diterapkan dalam proyek sosial dan ekonomi.

Harding menulis bahwa kita terlalu terpaku pada ilmu pengetahuan yang sudah ada sehingga kurang membayangkan dan melakukan pencarian baru. Mungkin kita harus mendalami pemahaman intuitif untuk teori yang kita butuhkan.

Maka bisa saja girl math—atau bentuk matematika intuitif lainnya, diakui sebagai bagian dari khasanah ilmu pengetahuan baru yang lebih inklusif. Namun, agar bisa menjadi sains baru, girl math harus lebih dari sekadar tren media sosial. Ia perlu dikembangkan dengan metodologi yang bisa diuji, diperdebatkan, dan dipakai untuk membangun cara berpikir alternatif yang sah dalam dunia akademik dan sains.

Baca juga: Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas

Stereotipe perempuan “lemah dalam matematika” sangat bertolak belakang dengan kenyataan kontribusi tokoh-tokoh perempuan untuk matematika. Sejarah membuktikan bahwa perempuan bukan hanya mampu menguasai matematika, tetapi juga berperan besar dalam perkembangannya meski sering kali diabaikan. Salah satu tokoh paling awal adalah Hypatia (abad ke-4 M), seorang filsuf dan matematikawan di Alexandria. Kemudian Ada Lovelace muncul sebagai pionir dalam komputasi, Emmy Noether merevolusi dunia fisika dengan Teorema Noether, dan banyak lagi.

Perempuan juga selalu dianggap boros dan gegabah mengelola uang. Padahal survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu masing-masing sebesar 66,75% dan 64,14%. Indeks inklusi keuangan perempuan juga lebih tinggi, mencapai 76,08%, dibandingkan laki-laki yang sebesar 73,97%

Girl math mungkin berawal sebagai tren lucu di media sosial, tetapi jika ditelaah lebih dalam, ia mencerminkan banyak aspek penting dalam kehidupan perempuan. Dari cara perempuan dipandang dalam urusan keuangan hingga bagaimana matematika diajarkan kepada mereka, konsep ini menunjukkan bahwa perempuan tidak kekurangan kecerdasan finansial, perempuan hanya menghadapi tantangan dan ekspektasi yang berbeda. 

Jika kita benar-benar ingin menciptakan ilmu yang lebih inklusif, kita perlu mengakui bahwa logika perempuan dalam mengelola uang bukanlah sesuatu yang layak ditertawakan. Mungkin saatnya kita berhenti menyebutnya girl math dan mulai mengakuinya sebagai strategi finansial yang sah. 

Sebuah bentuk matematika yang lahir dari pengalaman hidup perempuan dan bisa menjadi bagian dari diskusi yang lebih luas tentang bagaimana ekonomi dan keuangan dapat bekerja untuk semua orang.

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!