Beberapa waktu lalu sedang mencuat, sejumlah tenaga kesehatan dilaporkan melakukan kekerasan seksual dalam kasus-kasus yang berbeda. Di Bandung, Jawa Barat, seorang dokter residen anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dilaporkan melakukan pemerkosaan terhadap salah seorang keluarga pasien dengan menyalahgunakan obat bius.
Kemudian di Garut, seorang dokter kandungan dilaporkan melakukan pelecehan seksual kepada pasien dengan modus pemeriksaan ultrasonografi gratis. Sementara di Malang, Jawa Timur, dokter Instalasi Gawat Darurat dilaporkan diam-diam memotret tubuh korban saat pemeriksaan. Pelaku juga menyalahgunakan nomor pribadi korban untuk mengirimkan pesan-pesan bernada seksual.
Kasus-kasus ini hanyalah puncak gunung es dari kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dalam wawancara bersama Kompas, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Kompas Perempuan) mengatakan ada 15 kasus kekerasan seksual yang terjadi di layanan kesehatan sepanjang tahun 2020 hingga 2024. Sekitar 9 kasus di antaranya melibatkan dokter sebagai pelaku, sementara terapis atau perawat menyumbang 6 kasus sisanya.
Selain itu, menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan Tahun 2024, tidak sedikit pelaku kekerasan seksual berasal dari latar belakang pekerjaan yang tersumpah sebagai pelindung masyarakat. Catahu juga menyebutkan tenaga kesehatan bertengger bersama pegawai negeri sipil, guru, dosen, aparat penegak hukum, pejabat publik, dan tokoh agama. Jumlahnya mencapai 244 orang, atau 7,09% dari total pelaku yang diketahui profesinya.
Baca Juga: Sulit-sulit Jadi Sarjana, Tenaga Kerja Perempuan Dijegal Beban Domestik dan Informalisasi Pekerjaan
Fenomena tenaga kesehatan menjadi pelaku pelecehan seksual tentu tidak mungkin muncul begitu saja dari ruang hampa. Lantas, mengapa kekerasan seksual bisa terjadi di layanan kesehatan yang seharusnya bisa menjadi ruang aman bagi semua orang? Mengapa profesi tenaga medis yang seharusnya menjadi pelindung justru turut menjadi pelaku?
Budaya Profesional yang Toksik, Hierarki Kekuasaan, Hingga Praktik Bahasa
Mencuatnya berbagai kasus kekerasan seksual oleh tenaga kesehatan tidak boleh dilihat secara tunggal. Pasalnya berbagai kajian ilmiah mengungkapkan fenomena ini terjadi secara struktural dan sistemik. Hal ini berkait erat dengan kultur di dalam kerja-kerja medis yang membuat segala bentuk kekerasan—tidak hanya kekerasan seksual—bisa terjadi, dibiarkan, dan dinormalisasi begitu saja.
Merangkum kajian Funk dkk (2020) dan Mauzs dkk (2021), kekerasan sering kali dianggap wajar sebagai bagian dari habitus pekerjaan di dalam dunia medis. Banyak perlakuan antar sesama tenaga kesehatan yang sebenarnya mengarah pada kekerasan fisik, verbal, atau bahkan seksual. Namun sangat sedikit dari mereka yang berani melaporkannya. Bersuara berarti dianggap bukan pekerja yang kompeten dan tidak punya resiliensi. Dalam situasi ini, tenaga kesehatan perempuan atau ragam identitas gender punya kerentanan yang lebih besar untuk masuk dalam lingkaran kekerasan.
Lebih jauh lagi, iklim yang mewajarkan kekerasan bahkan sudah dibangun sejak masa pendidikan. Jika membaca kajian Saphiro dkk (2018) dan Hernandez dkk (2020), sekolah kedokteran kerap menetapkan sistem hierarki yang ketat. Siswa/i junior “dipaksa” bergantung pada senior dalam relasi kuasa yang timpang. Di situasi seperti inilah kekerasan makin dimungkinkan terjadi baik di dalam ruang kelas maupun di luar.
Baca Juga: “Negara Harus Hadir” Ribuan Ojol Demo Tuntut Kesejahteraan Sampai Hapus Skema Diskriminatif
Tentu kita tidak boleh lupa dengan kasus penganiayaan terhadap seorang dokter KOAS di Palembang yang mencuat pada akhir 2024 lalu. Penganiayaan ini berawal dari perselisihan terkait jadwal kerja antara korban dengan pelaku yang merupakan rekan kerja senior. Dari kasus ini saja, bisa terlihat kalau hierarki dan senioritas di dalam dunia medis tidak boleh diremehkan. Lantaran ini bisa menjadi ruang yang mengizinkan terjadinya kekerasan.
Berbicara mengenai kekerasan seksual, kajian milik Mulhivill (2022) juga mengatakan kalau kekerasan seksual di dalam kerja-kerja medis tidak jarang disembunyikan lewat praktik bahasa. Tenaga kesehatan acap kali menggunakan otoritas profesional mereka untuk membingkai ulang narasi kekerasan seksual sebagai pelanggaran kerja biasa. Hal ini tentu saja bermasalah karena mengaburkan realitas kekerasan seksual, meminggirkan suara pengalaman korban, dan pada akhirnya menghambat penanganan kasus.
Perlunya Perubahan Kultur Militeristik ke Empati dan Refleksi Kritis
Melihat betapa hegemoniknya budaya kekerasan di dalam kerja-kerja medis, sebenarnya tidak perlu heran mengapa layanan kesehatan bisa menjadi ruang terjadinya pelecehan seksual, bahkan dengan tenaga medis sebagai pelakunya.
Sayangnya, melihat perkembangan kasus yang ada, respons yang diberikan justru lebih banyak mengarah pada intervensi individu. Seperti pemberian sanksi dan pencabutan izin bagi pelaku, atau membebankan calon tenaga kesehatan dengan berbagai macam tes. Padahal, untuk memutus lingkaran kekerasan dalam kerja-kerja medis, yang lebih dibutuhkan ialah memperbaiki sistem yang membuat kultur kekerasan jadi tumbuh dan langgeng.
Menjelang akhir April 2025 lalu, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dikabarkan telah membuat komite untuk menyusun panduan Pencegahan Kekerasan Seksual di Pendidikan Kedokteran. Kendati lebih terdengar seperti langkah spontan yang baru diambil setelah berbagai kasus terlanjur mencuat, inisiatif ini tetap menjadi angin segar untuk membangun layanan kesehatan yang lebih aman.
Namun lebih dari itu, institusi kesehatan pun harus mulai belajar untuk mengembangkan prosedur pencegahan kekerasannya sendiri. Termasuk sistem pelaporan serta penanganan kasus yang transparan dan mampu mengutamakan pemenuhan hak korban di atas citra profesionalisme.
Baca Juga: Dilema Pustakawan di Indonesia: Tak Punya Kualifikasi Global, Sulit Bekerja di Luar Negeri
Demikian juga sebaiknya kurikulum pendidikan kedokteran diberikan sentuhan perspektif hak asasi manusia, gender, etika hubungan profesional dengan pasien maupun antar tenaga kesehatan. Para calon tenaga kesehatan perlu diajarkan pula untuk mengenal kekuasaan yang melekat pada kerja-kerja medis. Termasuk potensi bahwasanya kekuasaan tersebut dapat menjadi pembuka jalan terjadinya kekerasan yang tak terlihat apabila disalahgunakan.
Segala bentuk kekerasan dalam dunia kerja-kerja medis, tidak terkecuali kekerasan seksual, bukan sekadar kegagalan etika individu. Lebih dari itu ia buah dari struktur kekuasaan yang dibiarkan berkembang tanpa kontrol.
Selama sistem kesehatan mengabdi pada hierarki dan citra profesionalitas, maka kekerasan akan terus berlangsung dalam diam. Pemberian layanan kesehatan bukan cuma soal intervensi medis, melainkan juga penghormatan penuh atas tubuh, suara, dan hak setiap manusia.