Coba lihatlah di sekelilingmu, pernahkah kamu menemui teman perempuanmu yang terpaksa harus berhenti bekerja di kantornya? Alasannya beragam, mulai dari diminta suami mengurus domestik dan anak, dituntut merawat orang tuanya yang sakit, atau lingkungan kerjanya yang tak ramah bagi perempuan atau ibu pekerja?
Apa yang kamu saksikan, bahkan mungkin kamu alami sendiri, itu semua valid. Sebagai pekerja perempuan, realitanya kita harus berjibaku dengan lebih banyak hambatan. Jangankan untuk bisa meraih karier tertinggi, bahkan untuk sekadar bertahan. Secara metafora, istilah dari hambatan-hambatan perempuan menembus posisi tertinggi kariernya ini disebut glass ceiling (langit-langit kaca).
Catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkuat adanya fenomena itu. Indonesia berada di posisi terbawah se-Asia Tenggara dalam hal Female Labour Force Participation (FLFP) atau tingkat partisipasi ketenagakerjaan perempuan. Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan jauh lebih rendah dibanding laki-laki. Data Badan Pusat Statistik (BPS) selama 2021-2024 pun menunjukkan, partisipasi tenaga kerja perempuan tak beranjak pada kisaran angka 50%-an, sedangkan laki-laki sudah di angka lebih dari 80%.
Ironisnya, di aspek pendidikan tinggi, data dari PDDikti terbaru tahun 2024 menunjukkan jumlah lulusan jenjang diploma dan sarjana perempuan jauh lebih tinggi dibanding laki-laki. Terdapat 374,111 laki-laki dan 511,852 perempuan pada jenjang Diploma, 3,654,209 laki-laki dan 4,172,960 perempuan pada jenjang Sarjana.
Baca Juga: Jalan Terjal Ojol Perempuan, Bertaruh Pada Panas Aspal dan Algoritma: Hasil Riset Konde.co (1)
Pertanyaan mendasarnya adalah dimana perempuan-perempuan cerdas itu berada?
Merujuk data dalam dokumen Peta Jalan Ekonomi Perawatan Indonesia 2024-2045, perempuan dengan status perkawinan di rentang usia 19 – 29 tahun berada di garis paling bawah dalam hal keterserapan tenaga kerja. Artinya, sebagian besar perempuan sarjana dan diploma tersebut tidak terserap ke dalam sektor ketenagakerjaan karena mendedikasikan pikiran, waktu dan tenaganya untuk merawat anak dan anggota keluarga.
Mengapa harus perempuan yang mengerjakan kerja perawatan itu? Survei ekonomi perawatan yang dilakukan ILO dan Katadata tahun 2023, pernah mengungkap adanya normalisasi stereotip gender yang dikonstruksikan pada perempuan soal beban kerja perawatan. Sebanyak 68,3% responden laki-laki menyatakan bahwa wajar bagi perempuan untuk meninggalkan pekerjaan bergaji mereka demi tanggung jawab mengasuh sebagai bagian dari kewajiban menjadi ibu atau anak perempuan.
Sayangnya, beban ganda yang ditanggung perempuan itu juga tampak terinternalisasi dalam diri pekerja perempuan. 62% responden perempuan juga memiliki anggapan serupa bahwa mereka harus memprioritaskan kewajiban pengasuhan daripada karier.
Dikarenakan hambatan kerja perawatan dan domestik itu pula, ILO mencatatkan tenaga kerja perempuan yang kemudian terserapnya ke dalam sektor yang diinformalkan. Informalisasi pekerjaan dengan standar upah yang tak pasti juga kondisi kerja yang rentan. Kerja-kerja ini misalnya Pekerja Rumah Tangga (PRT), babysitter, tukang rias, dll. Sisanya bekerja di sektor formal seperti guru honorer, dosen, karyawan swasta, dll.
Baca Juga: Dilema Pustakawan di Indonesia: Tak Punya Kualifikasi Global, Sulit Bekerja di Luar Negeri
Bukan hanya minim partisipasi kerja, perempuan juga tersingkir dari ranah-ranah strategis. Misalnya, di ranah politik, merujuk data BPS, keterlibatan perempuan di parlemen hanya 22,46% di tahun 2024.
Hal ini tak sesuai dengan angan-angan kuota 30% yang diamanatkan dalam pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Regulasi tersebut mengatur bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.
Di sektor pendidikan tinggi, persentase dosen perempuan di Indonesia sekitar 48.2%, hampir setara dengan laki-laki. Namun, umum diketahui bahwa jumlah Guru Besar perempuan jauh lebih sedikit. Artinya, karir akademisi perempuan jauh lebih lambat dibanding laki-laki.
Belenggu Patriarki terhadap Tenaga Kerja Perempuan
Mendefinisikan “kerja” perempuan menjadi agak sedikit lebih rumit ketimbang laki-laki. Pasalnya, sebagian perempuan yang tidak terserap dalam dunia industri sebenarnya tidak juga menganggur. Mereka menjalankan fungsi maternitasnya berupa hamil, melahirkan, menyusui, dan menjalankan pengasuhan berupa melatih dan mendidik anak agar memiliki kecerdasan dan keterampilan dasar.
Selain itu, mereka juga menjalankan peran domestik dalam pekerjaan rumah tangga seperti menyiapkan makanan tiga kali sehari, mencuci, mengepel dan menyetrika setiap hari.
Dalam iklim budaya patriarkis, berbagai pekerjaan ini, maternitas, pengasuhan, rumah tangga, menjadi satu paket yang dibebankan kepada perempuan. Sayangnya, paket kerja komplit ini tidak terhitung sebagai nilai lebih dalam perekonomian nasional, apalagi global.
Katrine Marçal, dalam buku karya jurnalistiknya berjudul ”Who Cooked Adam Smith’s Dinner?” menyinggung bagaimana ekonomi konvensional yang maskulin melupakan kerja-kerja perawatan perempuan dalam menopang sistem ekonomi. Menurutnya, hal ini sangat bermasalah.
Buntut dari pengabaian kerja perempuan ini bisa panjang. Bukan hanya mengerdilkan nilai upah buruh di sektor ekonomi perawatan, namun juga mempengaruhi kesejahteraan ibu pekerja.
Baca Juga: Belajar dari Kasus NewJeans, Kelas Pekerja Gen Z Lawan Stigma dan Kekerasan di Tempat Kerja
Konsekuensi pertama, hak maternitas menjadi ditekan, sebab beban maternitas tidak tampak sebagai sebuah kerja. Hak maternitas berupa cuti hamil, melahirkan dan menyusui bagi ibu pekerja, kendati telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dengan durasi cuti maksimal 3 bulan dan diperkuat oleh UU KIA (Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak) dengan tambahan pasal tentang perpanjangan cuti hingga 6 bulan dalam kondisi tertentu, nyatanya tak selalu terpenuhi.
Bukan hanya soal anggaran yang tidak memadai untuk mendukung agenda tersebut. Tekanan budaya patriarki di masyarakat pun tak ramah pada ibu pekerja yang menjalani peran maternitasnya.
Hal ini paling kentara pada saat masa menyusui. Ketiadaan ruang laktasi ataupun ruang laktasi yang tidak memadai di tempat kerja sangatlah umum terjadi. Waktu menyusui bagi Ibu pekerja pun hanya terbatas pada tiga bulan pertama, dalam kondisi kelahiran yang normal. Padahal, secara biologis, produksi ASI akan berkurang ketika puting jarang bersentuhan dengan liur bayi. Sedangkan waktu untuk memompa ASI di tempat kerja pun terbatas.
Hal ini yang menyebabkan ibu pekerja rata-rata mengalami kendala ASI macet begitu masa cuti selesai. Tidak ada yang menganggap hal ini sebagai masalah selain ibu pekerja itu sendiri. Bahkan, sesama perempuan pun belum tentu mampu memiliki pemahaman perihal ini.
Kedua, konsekuensi dari pengabaian kerja perawatan adalah dilimpahkannya kerja pengasuhan sebagai tanggungjawab keluarga. Padahal, mengasuh generasi adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah mesti mengambil peran berupa menyediakan layanan Daycare dan PAUD yang berkualitas dan mudah diakses.
Jangan Cuma Wacana, Jalankan Solusi Konkret
Melibatkan pemerintah dalam hal domestik bukan sesuatu yang mustahil. Beberapa negara telah mempraktikkan hal itu melalui postur anggaran yang dinamakan public spending on family. Misalnya, pemerintah Prancis mengalokasikan €14,3 miliar untuk layanan pengasuhan anak bagi anak di bawah tiga tahun dan tunjangan cuti orang tua. Jumlah ini mencakup baik pengasuhan anak kolektif maupun individu, dengan biaya bersih yang dikurangi oleh kredit pajak.
Selain itu, sekitar 3,6% dari PDB Perancis digunakan untuk berbagai tunjangan keluarga, yang mencakup layanan pengasuhan anak, potongan pajak, dan bantuan tunai. Negara-negara lain yang memiliki format serupa adalah Denmark, Swedia, Irlandia.
Baca Juga: Overwork Sampai Union Busting Menimpa Septia, Sutradara Film Sampai Jurnalis CNN
Diluncurkannya Peta Jalan Ekonomi Perawatan 2024-2045 oleh KPPPA dan ILO merupakan sebuah langkah progresif yang patut diapresiasi. Akan tetapi, dokumen hanyalah sebuah uraian normatif jika tidak disertai dengan upaya serius. Untuk mewujudkannya, tentu diperlukan peran banyak pihak, koordinasi antar pemangku kepentingan dan aktor-aktor lain sekunder lainnya.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan dapat memformulasikan kebijakan untuk menjadi payung implementasi. Dalam pelaksanaan program, kementerian dan lembaga juga perlu berkoordinasi, sebab cakupan kerja isu ini setidaknya meliputi ketenagakerjaan, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, sosial dan kesejahteraan. Peran masyarakat melalui organisasi masyarakat sipil juga diperlukan untuk mengadvokasi isu ini.