Sekitar 15 tahun yang lalu, setiap hari Minggu saya selalu sempatkan menonton televisi. Saya pilih channel Indosiar atau RCTI. Saya langsung girang ketika mereka menampilkan Barbie dengan Indonesia dub. Bukan hanya di hari Minggu. Dulu itu saya ingat betul sebelum diganti ke Global TV, banyak acara anak-anak bernuansa centil, seperti Winx Club, di channel bernama LATIVI.
Awalnya, saya tertarik menonton Winx Club karena salah satu tokohnya bernama Stella, seperti nama saya. Tapi lama-lama saya enjoy mengikuti jalan ceritanya dari Season 1 hingga 3. Ceritanya unik, dan kalau saya putar lagi sekarang, soundtrack-soundtracknya sopan sekali masuk ke telinga saya sambil membawa angin nostalgia.
Selain Barbie dan Winx Club, ada juga Totally Spies! dengan salah satu tokoh utamanya, Clover, si centil yang doyan belanja tapi juga jago menyelamatkan dunia. Saat itu, saya belum sadar: para tokoh fiksi perempuan di TV itu bukan sekedar hiburan. Mereka adalah benih-benih imajinasi feminisme masa kecil yang tak disadari sedang tumbuh bersama saya hingga saat ini.
Heroine Masa Kecil: Feminisme Pop dalam Balutan Glitter
Tahun 2000-an adalah era keemasan bagi tayangan kartun dan animasi yang menghadirkan tokoh perempuan sebagai tokoh utama: dengan kekuatan super, kepribadian kuat, dan gaya yang modis. Mereka bukan sekadar sidekick atau damsel in distress, tapi pemimpin, pejuang, dan pahlawan (heroine).
Hingga saat ini, siapa yang bisa lupa dengan Powerpuff Girls? Tiga bocah perempuan hasil eksperimen ilmiah yang menjadi pelindung Kota Townsville. Blossom yang cerdas, Buttercup yang galak dan tomboi, dan Bubbles yang lembut tapi tak kalah kuat. Mereka menunjukkan bahwa kekuatan datang dalam berbagai bentuk kepribadian.
Ada pula Sailor Moon, Winx Club, W.I.T.C.H, Pretty Cure, yang semuanya saja menghadirkan perempuan-perempuan muda yang punya kekuatan magis untuk melindungi dunia, sekaligus menjalani kehidupan remaja dengan segala drama, cinta, dan persahabatan. Mereka memakai rok mini, rambut berkilau, dan sepatu hak tinggi sambil bertarung melawan kejahatan. Hal yang terpenting justru: itu semua tidak mengurangi kekuatan mereka, melainkan mempertegasnya.
Di luar anime dan kartun, ada juga sosok Barbie yang pada masa itu sebenarnya sudah mulai tampil dalam berbagai profesi: dokter, astronot, bahkan presiden. Saya pernah bermain game online Barbie di PC berjudul “Barbie: I Can Be”. Disitu kita bisa berimajinasi menjadi profesi apapun melalui point of view tokoh avatar Barbie yang kita buat. Lewat berbagai film animasi hingga pernak-pernik gamenya pun, sejak dulu hingga saat ini, Barbie berhasil menjadi simbol perempuan yang bisa jadi apapun, tanpa harus kehilangan pesonanya.
Heroine: Kecentilan Bukan Lawan dari Kekuatan
Di dunia yang kerap mengasumsikan bahwa kekuatan harus tampil dalam bentuk maskulin, heroine tahun 2000-an datang dengan pesan berbeda: bahwa femininitas bukan kelemahan. Mereka mengajarkan kita bahwa memakai lip gloss, menangis, atau menyukai fashion bukanlah antitesis dari keberanian atau kekuatan.
Totally Spies! adalah contoh nyata. Salah satu hal paling ikonik dari Totally Spies! adalah bagaimana serial ini secara cerdas memadukan atribut feminin seperti alat makeup dan fashion item sebagai bagian dari perlengkapan agen rahasia. Lipstik berubah jadi laser pemotong, bedak compact jadi pemindai wajah, dan sepatu hak tinggi punya roket tersembunyi di solnya. Perangkat-perangkat yang selama ini dianggap simbol “kecentilan” justru diubah menjadi senjata strategis yang mendukung misi penyelamatan dunia. Ini bukan sekadar gimmick, tapi pesan kuat bahwa atribut feminin tak mengurangi kekuatan namun justru bisa menjadi bagian dari kekuatan itu sendiri.
Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, salah satu tokoh utamanya, yaitu Clover, merupakan tokoh yang sangat girly, suka belanja, punya obsesi dengan cowok tampan tapi sangat profesional dalam menumpas kejahatan, memata-matai penjahat internasional, dan menyelamatkan dunia. Hal serupa juga menjadi ciri khas karakter-karakter Winx Club yang tokohnya dapat melawan kejahatan walaupun mereka memakai rok mini atau atribut yang feminim. Hal ini dapat menjadi konklusi baru bahwa apa yang sering diremehkan sebagai “kecentilan” justru adalah bagian dari jati dirinya sebagai pahlawan.
Tokoh-tokoh ini mengganggu narasi dominan bahwa perempuan yang kuat harus “tangguh seperti laki-laki.” Justru mereka hadir dengan pesan: jadi perempuan kuat tak berarti harus menghapus sisi femininmu. Ini adalah bentuk feminisme yang membebaskan: feminisme yang memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi siapa pun, dengan caranya sendiri. Bahkan jika itu berarti bertarung sambil pakai kerlap-kerlip atribut ber-glitter.
Menginspirasi Generasi
Para heroine ini bukan hanya tokoh animasi. Mereka adalah representasi alternatif bagi generasi perempuan yang tumbuh besar saat itu, termasuk saya. Di tengah keterbatasan representasi perempuan dalam media, tokoh-tokoh ini menyediakan ruang imajinasi baru tentang perempuan yang mandiri, berani, dan tetap merayakan sisi personalnya.
Kini, sekitar hampir dua dekade kemudian sejak kartun-kartun tersebut lahir, nilai-nilai itu masih hidup. Kita melihat banyak perempuan muda yang mengadopsi semangat girlboss dengan cara yang inklusif dan beragam. Tak harus maskulin, tak harus keras. Bisa lembut, bisa centil, bisa emosional, dan tetap memimpin.
Perempuan muda kini jadi aktivis, pemimpin komunitas, entrepreneur, dan konten kreator yang berbicara lantang soal ketidakadilan, sambil tetap tampil sesuai gaya mereka. Feminisme tak lagi hadir dalam satu rupa. Ia hadir dalam berbagai gaya, suara, dan warna.
Rekomendasi Rewatch Saat Gabut
Kamu pengin kembali pada semangat masa kecilmu? 5 film dan serial animasi tentang heroine centil dan badass ini bisa kamu tonton ulang saat senggang. Bisa jadi pula, tayangan berikut ini dapat menyentuh sisi lembut dan kuat dari inner child-mu.
- Totally Spies!
Menceritakan tentang trio agen rahasia remaja perempuan dengan fashion stylish dan gadget canggih namun feminim. Lucu, penuh aksi, dan penuh girl power yang ringan tapi nendang. - Winx Club (Season 1-3 klasik)
Enam peri remaja dengan kekuatan elemen yang hidup di dunia magis. Drama, cinta, persahabatan, dan pertarungan melawan kegelapan, paket lengkap pokoknya! - Barbie Klasik (2000 – 2009), Barbie Era Modern Fashionista ( 2010 – 2016 )
Kisah klasik Barbie yang mengajarkan solidaritas perempuan, pilihan hidup, dan bahwa perempuan bisa menyelamatkan dirinya sendiri (dan orang lain) walaupun tanpa selalu ada peran pangeran atau laki-laki di dalamnya. - Sailor Moon
Tidak hanya tentang pertarungan, tapi juga soal sisterhood dan cinta. Ikonik, magis, dan tetap relevan sebagai simbol kekuatan kolektif perempuan. - The Powerpuff Girls (versi klasik)
Kalau kamu butuh tawa, nostalgia, dan semangat pemberontakan dalam wujud bocil dengan kekuatan super, inilah jawabannya!
Tokoh-tokoh ini mungkin “fiksi,” tapi imajinasi mereka membentuk banyak dari kita hari ini. Mereka menunjukkan bahwa menjadi perempuan tidak harus mengikuti satu pola. Kamu bisa centil, bisa kuat, bisa feminim, bisa keras, bisa semua sekaligus, dan itu sah-sah saja!
Karena dalam dunia yang terus menekan perempuan untuk menyesuaikan diri, menjadi diri sendiri adalah bentuk perlawanan. Tak ada yang lebih badass daripada perempuan yang memimpin dengan caranya sendiri.