Merayakan Gerakan Perempuan Indonesia, 40 Tahun Kalyanamitra dan 30 Tahun LBH APIK

40 tahun perjalanan Kalyanamitra dan 30 tahun perjalanan LBH APIK di tahun 2025 ini menandai catatan perjuangan gerakan perempuan di Indonesia.

Perayaan ulangtahun Kalyanamitra dan LBH APIK diisi dengan refleksi dan reorientasi gerakan perempuan di Indonesia.

Perjalanan kedua organisasi ini tak mudah, dimana mereka lahir di di masa orde baru dengan kondisi pemerintah yang melarang lahirnya organisasi. Kelahiran organisasi dianggap berbahaya dan bisa menggoyang kekuasaan orde baru.

Kalyanamitra kala itu mengambil jalan itu, berani memperjuangkan nasib perempuan di masa itu, dan melahirkan konsep-konsep dasar perjuangan gender dan feminisme di Indonesia sejak mereka lahir di tahun 1985.

Perjuangan ini terlihat dalam pameran ulang tahun Kalyanamitra yang ke-40 tahun yang digelar 24 Mei 2025 di Perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII) internasional di Depok. Perayaan ini sekaligus menautkan medan perjuangan bagi gerakan perempuan di masa itu dan di masa kini.

Dalam diskusi yang bertajuk 40 Tahun Kalyanamitra: Hidup Menghidupi Feminisme di ulang tahun ini, aktivis dan mantan Ketua Komnas Perempuan, Kamala Chandrakirana menyatakan tentang kritisnya kondisi kita saat ini, yang terjadi di Indonesia dan secara global.

Saat ini kita sedang berada dalam kondisi dan situasi krisis, ruang gerak sosial yang hilang, yang harus ditemukan kembali. Krisis ini bisa dilihat dari kondisi ekonomi, lingkungan dan situasi demokrasi sekaligus daur kemundurannya. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga secara global, misalnya situasi krisis ini ditandai dengan krisis demokrasi, penolakan terhadap feminisme, penolakan terhadap keberagaman, lingkungan yang memburuk dan konflik yang berkepanjangan. Kamala menyatakan, sistem kita saat ini sedang ambruk.

Baca juga: Manifesto Politik Perempuan Kritik Rezim Prabowo-Gibran Di Hari Pergerakan Perempuan

“Kita mengalami krisis, sistem lama sudah ambruk, sedangkan kita belum menemukan sistem yang baru” kata Kamala Chandrakirana.

Maka yang harus dilakukan adalah keluar dari kerja-kerja sektoral atau tidak hanya bekerja di satu isu saja. Jika kita tidak bisa meraih ruang politik, yang harus dilakukan yaitu bertarung di ruang budaya.

“Yang harus kita lakukan adalah merajut tali yang terputus dan bertarung di ruang budaya”

Pemimpin Redaksi, Konde.co dan aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Luviana Ariyanti yang juga berbicara di forum yang sama mengatakan setuju jika saat ini kita hidup di dunia yang sangat berubah, di tengah perubahan teknologi dan ancaman kembali berkuasanya anasir-anasir orde baru melalui militerisasi dan semakin ketatnya kontrol negara atas ruang publik. Maka ruang perlawanan harus di orientasi dan dibuka kembali. 

Jika zaman dulu gerakan sosial menuntut kedalaman, namun di masa sekarang, gerakan sosial menuntut kita untuk responsif. Ada isu yang harus disikapi cepat agar gerakan sosial tidak kehilangan momentum.  

Menurut Luviana, ada beberapa situasi politik perempuan yang terlambat direspons gerakan perempuan. Misalnya jumlah menteri perempuan yang minim, persoalan Makanan Bergizi Gratis (MBG) atau masalah situasi demokrasi dan HAM saat ini.

“Hal-hal seperti ini membutuhkan respons cepat karena persoalan datang begitu cepat dan sistematis, maka yang harus dilakukan melakukan konsolidasi. Karena melakukan kolaborasi atau kegiatan bersama saja tidak cukup, kita membutuhkan konsolidasi besar”

Baca juga: Feminis vs Ibu-Ibu PKK? Feminisme Tidak Tunggal, Stop Benturkan Gerakan Perempuan

Luviana juga mengatakan bahwa tipe gerakan sosial saat ini sudah mengalami perubahan. Ada gerakan tradisional seperti turun ke jalan dan gerakan modern seperti bersuara melalui media sosial atau dengan menggunakan teknologi.

“Respons cepat kadang diperlukan dalam berbagai bentuk. Tidak harus demo dalam skala yang besar, demo dalam skala yang kecil diperlukan dengan berbagai isu.”

Sartika, Dosen Universitas Gajah Mada (UGM) menyatakan, untuk menyikapi situasi saat ini, dibutuhkan gerakan sosial dan perjuangan yang harus dilakukan oleh banyak pihak. Dulu, Sartika yakin bahwa kampus adalah tempat untuk membangun nalar kritis. Namun dari tuntutan untuk cepat lulus dan cepat bekerja bagi para mahasiswa, Sartika jadi tidak yakin bahwa nalar kritis bisa dibangun secara mudah.

Ia lalu menawarkan untuk melahirkan banyak komunitas, karena komunitas merupakan salah satu ruang untuk melahirkan kekritisan.

“Penting untuk membangun ruang-ruang kritis di komunitas untuk belajar bersama” kata Sartika.

Muhammad Juani, dari Gema Alam dan aktivis Aliansi Laki-laki Baru menyatakan, pentingnya keterlibatan laki-laki dalam gerakan perempuan. Gerakan ini bisa dilakukan dengan mengajak laki-laki berjuang dari tempat terkecil, yaitu di rumah, bekerja bersama para perempuan di rumah.

Nurdiansyah Dalidjo, dari Project Multatuli dan aktivis queer merefleksi tentang pentingnya komunitas queer dan gerakan perempuan untuk selalu bekerja bersama-sama. 

“Selama ini bagi kelompok queer, gerakan feminis adalah gerakan yang menerima dan bisa bekerjasama, maka penting untuk bergerak bersama dalam situasi ini.”

Dalam ulang tahun Kalyanamitra, juga tampil Paduan Suara Dialita yang beranggotakan para perempuan penyintas 65. Juga ada pemberian apresiasi kepada para Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang saat ini tengah berjuang untuk disahkannya RUU Perlindungan PRT di DPR.

30 Tahun LBH APIK

LBH APIK pada bulan Mei 2025 ini juga memperingati ulang tahunnya yang ke-30 tahun. LBH APIK adalah lembaga bantuan hukum yang melahirkan perspektif bahwa hukum harus berpihak pada perempuan dan kelompok marginal.

Lahir dari keresahan dan kegigihan tujuh pengacara feminis pada tahun 1995, organisasi Asosiasi Perempuan untuk Keadilan atau APIK menolak tunduk pada logika hukum yang netral gender.

Bertempat di Perpustakaan Nasional, LBH APIK memperingati ulang tahunnya pada 21 Mei 2025. Dalam ulang tahun tersebut, salah satu pendiri LBH APIK, Nursyahbani Katjasungkana mengatakan tentang tantangan dan perjuangan yang dilakukan LBH APIK selama 30 tahun ini. 

Dalam rentang waktu 1995 sampai sekarang, Asosiasi LBH APIK Indonesia dengan segala dinamikanya juga telah tumbuh menjadi 18 kantor di Indonesia.

Pendiri LBH APIK yang berpidato dalam ulang tahun, Nursyahbani Katjasungkana menyatakan LBH APIK lahir dari mitos bahwa hukum adalah sesuatu yang netral. Maka LBH APIK kemudian berpihak pada perempuan dan kelompok marginal yang banyak dilupakan oleh hukum yang netral gender.

“LBH APIK memandang bahwa netralitas hukum adalah mitos dalam masyarakat patriarkal. Maka, keadilan yang diperjuangkan bukan hanya soal memenangkan perkara, tapi membongkar struktur yang merugikan perempuan.”

Baca juga: 22 Desember Disebut Hari Ibu Atau Hari Gerakan Perempuan? Kepentingan Politik Ubah Maknanya

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Karlina Supelli yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menyatakan bahwa perjuangan LBH APIK tak pernah mudah karena mengajak para perempuan di ranah domestik untuk berani bersuara di publik. Tak mudahnya, karena perempuan selama ini dinotasikan untuk diam di rumah. Maka ketika mendapatkan kekerasan, mereka harus diam. LBH APIK kemudian menemani para perempuan dan mengajak keluar untuk berbicara.

Dalam ulang tahun ini, LBH APIK juga mengadakan pameran perjalanan LBH APIK, dari menyelesaikan kasus-kasus perempuan sampai berjuang untuk mengubah kebijakan. Seperti misalnya memperjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sampai menjadi UU dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sampai menjadi UU.

Dari tahun ke tahun kasus yang diterima LBH APIK Jakarta saja misalnya sangat banyak, saat ini rata-rata mereka menerima kasus kekerasan hingga seribu pertahunnya, dari kasus KDRT, kekerasan seksual hingga kekerasan digital. 

Selama ini banyak perempuan korban yang mendapatkan kekerasan dari orang terdekat seperti dari suami, paman, pacar yang kemudian membuat korban sulit untuk jauh dari pelaku. Padahal mereka harus cepat diselamatkan.

Dengan situasi ini, LBH APIK Jakarta lalu membuat rumah aman. Karena rumah aman milik pemerintah di masa Covid-19 sangat sulit diakses. Misalnya harus ada laporan dari polisi terlebih dulu sebelum korban bisa masuk ke rumah aman. Korban juga harus mendapatkan surat keterangan bebas Covid-19, padahal ini merupakan hal-hal yang sulit diakses korban karena minimnya dana. Tak semua korban dengan secara cepat bisa melaporkan kasusnya ke polisi atau punya dana untuk tes Covid-19. Maka LBH APIK Jakarta kemudian membuat rumah aman sendiri.

Baca juga: Mengkaji Ulang Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Tak hanya itu, LBH APIK juga menerima penyerangan-penyerangan, misalnya pernah diintimidasi oleh segerombolan orang di kantor. LBH APIK Jakarta juga didatangi secara paksa oleh polisi dari Polsek Matraman Jakarta di tahun 2020. 

Penyerangan ini tak hanya menimpa di Jakarta, namun juga di beberapa LBH APIK daerah. Penyerangan yang sama pernah terjadi di LBH APIK NTB saat menangani kasus KDRT. Mereka adalah yang merasa gerah karena persoalan personalnya disuarakan oleh korban di depan publik.

Untuk mengatasi kondisi ini, LBH APIK kemudian juga membentuk paralegal. Yaitu komunitas perempuan yang mendampingi korban di komunitas, di desa dan kampung-kampung untuk menyelesaikan persoalan mereka. Paralegal ini menemani para perempuan untuk menyusun kronologi kasus yang mereka alami. Termasuk mengantarkan jika mereka butuh pendampingan LBH APIK hingga ke polisi dan pengadilan.

Dalam ulang tahun kali ini, LBH APIK juga berkolaborasi dengan Konde.co memproduksi dan me-launching buku berjudul 30 Tahun APIK/LBH APIK: Menyuarakan Kepentingan Perempuan, Memperjuangkan Demokrasi Berkelanjutan dan Berkeadilan.

(Foto: Konde.co)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!