Humor Seksis Calon Kepala Daerah di Pilkada Adalah Bentuk Pelecehan Verbal

Humor seksis yang diperlihatkan para calon kepala daerah sejatinya adalah bentuk pelecehan verbal yang mencerminkan pandangan rendah terhadap perempuan.

Feminis kontemporer meyakini bahwa perilaku seksis atau seksisme, tidak hanya akan membatasi ruang gerak perempuan, namun juga melakukan pembedaan antar jenis kelamin yang dilakukan tanpa pembuktian.

Karena seksisme sejatinya adalah hubungan sosial yang merendahkan perempuan. Namun, anehnya perilaku seksisme justru ditunjukkan oleh banyak calon kepala daerah dalam debut mereka di ajang Pilkada 2024. Padahal studi mengenai kosa kata seksisme telah banyak didokumentasikan selama ini, misalnya seksisme akan menstigma kan orang lain yang berakibat pada perendahan terhadap mereka.

Candaan dan kelakar seksisme yang dilontarkan para calon kepala daerah yang bersembunyi di balik sikap spontan ini, tentu bukanlah humor dan keisengan belaka. Di baliknya, tersimpan pandangan tentang ketidaksetaraan gender. 

Seksisme kemudian juga memunculkan misoginisme atau perilaku yang membenci perempuan. Perilaku ini sering terjadi begitu saja, sudah tertanam lama dalam benak dan pikiran orang-orang dan tidak disadari. bell hooks menyatakan, bahwa seksisme merupakan basis penindasan dan praktik dominasi terhadap orang lain.

Baca juga: Kekerasan Seksual Di Sekitar Pilkada, Para Calon Kepala Daerah Terduga Pelakunya

Candaan seksis yang banyak dilakukan calon kepala daerah seperti menjadi cerminan ketidakpekaan kandidat yang digadang-gadang menjadi pemimpin, yang ditahbiskan sebagai sang pembawa suara rakyat, sekaligus penentu kebijakan suatu wilayah; terhadap isu kesetaraan gender. Upaya meneguhkan penghapusan konstruksi bias gender yang selama ini diperjuangkan para feminis seakan langsung runtuh, ketika secuil celetukan yang keluar dari calon kepala daerah ini.

Celotehan bermuatan seksisme yang terselubung tersebut dapat mengokohkan stereotipe dan ketimpangan relasi gender. Fenomena ini pernah diungkap oleh Glick dan Fiske (1996), keduanya mengusung konsep “hostile sexism” (seksisme bermusuhan) dan “benevolent sexism” (seksisme yang tampak baik hati). Apabila candaan bernada seksis ini terus berkelindan dan diwajarkan kemunculannya pada ruang-ruang publik, maka ditakutkan akan menggoyahkan persepsi publik serta melanggengkan narasi patriarkal yang menjegal partisipasi perempuan dalam politik dan berkarya secara leluasa. 

Seksisme bermusuhan, yaitu bentuk sikap yang memperlihatkan antipati atau ketidakpercayaan terhadap perempuan. Sedangkan yang kedua yaitu seksisme baik hati yang merupakan gambaran pemikiran yang seolah-olah positif terhadap perempuan, namun justru mengekang perempuan. 

Pada seksisme baik hati, perempuan hanya diperbolehkan berfokus menjalankan peran-peran tradisional dan domestik seperti menjadi pengasuh dan ibu rumah tangga (Glick & Fiske, 1996). Seksisme baik hati ini memang sering disalah sangkakan sebagai upaya memproteksi perempuan dan memuji, namun sebenarnya di balik itu termuat dominasi secara implisit. Sehingga acapkali benevolent sexism dinilai tidak diskriminatif dan melindungi perempuan. Namun kita perlu tegas, kedua seksisme ini sama-sama mendukung ketidaksetaraan gender. Hostile sexismmengendalikan perempuan secara eksplisitik, sementara benevolent sexism merawat gagasan patriarki dengan cara mengelabui, yang dilihat di permukaan tidak berbahaya dan merugikan perempuan (Glick & Fiske, 1996). 

Baca juga: Nasib Perempuan di Pilkada: Diserang Identitas Gendernya, Dipertanyakan Apakah Bisa Memimpin

Di layar kaca, kita kerap menyaksikan bagaimana para petarung yang berlaga di kancah politik ini justru mengglorifikasi dan menguatkan kedua seksisme tersebut secara terus-menerus. Kita acap kali menemukan para aktor politik ini menertawakan perempuan yang dianggap terlalu emosional atau mereka rasa tidak layak untuk jadi pemimpin. Ini menjadi gambaran bagaimana calon pemimpin sekaligus para pemimpin kita malah menyuburkan praktik-praktik hostile sexism. Mereka secara simultan membangun keraguan terhadap kemampuan perempuan dan memelihara stereotip negatif pada perempuan. 

Sedangkan kemunculan benevolent sexism tampak ketika para aktor politik ini memuji perempuan atas sifat “kelembutannya” namun disertai embel-embel yang mendorong perempuan untuk berkutat di ranah domestik saja, ketimbang mengaktualisasikan diri di ruang publik. Contoh praktik ini pernah diulas dalam studi Sulatri yang menyoroti pernyataan seksisme oleh Yoshiro Mori, mantan presiden Olimpiade Tokyo. Ia mengatakan bahwa perempuan akan memperlambat jalannya sebuah pertemuan karena terlalu banyak bicara. Omongan yang keluar dari Yoshiro Mori ini mungkin tujuannya hanya sebatas candaan, namun sayang, dia telah menormalisasi tuduhan bahwa perempuan kurang efisien dan kompetitif dibandingkan laki-laki. 

Humor seksis dapat dikategorikan sebagai bentuk pelecehan verbal yang mencerminkan pandangan rendah terhadap perempuan. Hal ini dikonfirmasi dalam penelitian yang sama, yang menyebutkan bahwa humor seksis adalah salah satu bentuk seksisme halus yang sering tidak disadari oleh banyak orang sebagai seksisme karena dianggap normatif dalam kehidupan sehari-hari (Sulatri, 2021). Seksisme halus ini, walaupun sering kali tidak dianggap serius, akan memperkuat stereotip negatif dan meremehkan kapasitas perempuan, yang pada akhirnya menurunkan posisi sosial perempuan dalam masyarakat (Sulatri, 2021).

Baca juga: Dear Komika, Stop Humor Seksis! Itu Pelecehan dan Gak Ada Lucunya

Candaan seksis bukanlah sekadar lelucon; ini membawa dampak serius terhadap kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam politik. Studi dari Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan masih menghadapi tantangan besar karena stereotipe gender yang meremehkan kemampuan mereka. Banyak perempuan tidak diberikan ruang untuk maju sebagai pemimpin karena dominasi nilai-nilai maskulin seperti kompetisi dan agresivitas dalam organisasi politik dan sosial. Perempuan sering kali tidak diberi ruang dalam pengambilan keputusan karena stereotipe bahwa mereka lebih emosional daripada rasional, yang membuat mereka dianggap kurang mampu dalam peran kepemimpinan (Amanda et al., 2022).

Lebih lanjut, penelitian tersebut menunjukkan bahwa candaan seksis memperkuat ekspektasi sosial yang bias gender. Ketika calon kepala daerah menggunakan candaan tersebut, mereka tidak hanya mencerminkan keyakinan pribadi, tetapi juga memperkuat norma sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Ini sejalan dengan gagasan bahwa bahasa memiliki peran dalam melanggengkan struktur patriarki, di mana ujaran seksis digunakan untuk menjustifikasi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. 

Selain itu, seksisme yang dilanggengkan melalui humor juga menciptakan hambatan dalam pelaporan pelecehan seksual. Berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa banyak korban pelecehan seksual, terutama perempuan, merasa enggan melapor karena takut tidak akan dianggap serius, adanya candaan seksis di ranah politik menambah rasa tidak aman bagi korban dan memperkuat sikap permisif terhadap pelecehan seksual (Jannah, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa lelucon yang seksis tidak hanya berdampak pada persepsi individu, tetapi juga terhadap respons masyarakat terhadap isu serius seperti pelecehan seksual.

Baca juga: Praktik Seksisme di Sekitar Kita: Ini Bom Waktu Yang Siap Meledak

Penting bagi masyarakat, terutama pemilih dan pemimpin politik, untuk tidak mengabaikan candaan seksisme. Konsep bystander intervention menekankan bahwa para penonton atau pendengar candaan memiliki potensi untuk mencegah normalisasi seksisme. Ketika seseorang berani menegur atau tidak tertawa terhadap candaan seksis, hal ini dapat mengubah norma sosial dan mempromosikan kesetaraan (Jannah, 2021). 

Kesadaran publik tentang dampak negatif candaan seksis memang dapat mendorong perubahan kebijakan yang lebih inklusif. Dengan mempromosikan kesetaraan gender dan membatasi penggunaan bahasa diskriminatif, masyarakat bisa mencegah normalisasi seksisme dan memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama dalam politik dan ruang publik.

Bahkan, partai politik dan lembaga terkait dapat memainkan peran penting dengan menyusun kode etik untuk mencegah perilaku seksis. Perubahan ini bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi juga laki-laki, yang perlu menyadari bahwa seksisme merugikan iklim demokrasi secara keseluruhan.

Shela Kusumaningtyas

Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!