Kisah Kanal Musik MTV: Si Pendisrupsi yang Akhirnya Terempas

MTV umumkan akan menutup hampir semua siaran kanalnya di akhir tahun ini. Kini MTV harus menerima fakta bahwa streaming telah menggantikan video.

Penayangan video musik band The Buggles berjudul “Video Killed the Radio Star” pada Selasa, 1 Agustus 1981 silam jadi momen bersejarah bagi dunia industri pertelevisian dan musik. Hari tersebut merupakan hari rilis kanal Music Television (MTV).

MTV segera menjelma menjadi acuan tren yang bertahan hingga 2 dekade lebih. MTV menawarkan sesuatu yang revolusioner: aliran video musik tanpa henti, kisah visual, dan budaya anak muda yang dikemas dalam satu format yang diterima oleh dunia.

Melalui pemutaran lagu plus video di layar kaca, inovasi MTV mendisrupsi radio. Jauh sebelum ada YouTube, TikTok, dan rekomendasi berbasis kecerdasan buatan, MTV-lah yang menjadi ‘algoritma’ tersebut.

Semua orang menantikan countdown dan ajang penghargaan MTV, menciptakan ritual bersama yang membentuk budaya anak muda, selera musik, dan bahkan komunitasnya tersendiri.

Namun roda berputar bagi MTV. Pekan lalu, mereka mengumumkan akan menutup beragam kanal musiknya di Inggris akhir tahun ini. Hanya kanal MTV HD yang dipertahankan. Namun kanal tersebut lebih berfokus pada konten reality show ketimbang musik.

Alasannya, jumlah penonton TV menurun drastis. Algoritma menggantikan peran video jockeys (VJ) atau pembawa acara. Scrolling tanpa akhir menghapus rasa antusias menunggu lagu atau acara berikutnya.

Saat MTV perlahan menghilang dari sejarah, yang lenyap bukan hanya saluran TV, tetapi juga era ketika musik mempersatukan banyak orang dalam detak yang sama.

Masa Keemasan

MTV langsung menggebrak di awal kemunculannya. Publik terpukau cara MTV menyulap sajian musik yang tidak lagi hanya didengar, tetapi juga dilihat dan dirasakan melalui video musik.

Para musisi pun memanfaatkan momentum ini untuk menceritakan kisah lewat video, memadukan musik, fesyen, dan performa visual. Michael Jackson, sang Raja Pop, adalah bukti nyata pengaruh MTV terhadap kariernya.

Lagu-lagu seperti Thriller, Beat It, dan Billie Jean membawa Michael menuju puncak ketenaran.

Baca juga: Belajar dari Sukatani: Meski Otoritas Menekan, Musik Punk Tetap Melawan

Seniman lain seperti Duran Duran dan Madonna turut memanfaatkan MTV untuk mengantarkan mereka pada popularitas yang cukup awet.

MTV kian mendominasi usai Viacom Inc. (kini Paramount Global) membelinya pada tahun 1985 senilai US$667,5 juta atau Rp11,5 triliun.

Bersama Paramount, MTV menghadirkan berbagai program berbasis genre seperti Yo! MTV Raps dan Headbangers Ball yang menargetkan segmentasi turunan budaya anak muda dan menumbuhkan rasa identitas bersama.

MTV dibuat lebih dari sekadar jaringan televisi. Ia juga simbol budaya bersama tentang bagaimana orang mendengarkan musik, berpakaian, dan memimpikan masa depan mereka.

Ekspansi MTV sukses besar. Paramount mengantar MTV ke puncak kejayaan yang berjalan sejak 1992, ketika jaringan ini meraup pendapatan US$400 juta dolar atau senilai Rp6,6 triliun dengan jangkauan 112 juta rumah tangga hanya dalam waktu setahun.

Kehilangan Arah dan Telat Beradaptasi

Memasuki awal abad ke-21, perkembangan teknologi mengubah wajah hiburan. Revolusi digital mulai mengguncang televisi tradisional, termasuk MTV.

Orang-orang yang dulunya menonton TV mengalihkan perhatiannya ke internet. Kehadiran platform hiburan musik dan video yang menawarkan layanan berbasis on-demand juga membuat kanal musik MTV terasa kuno.

Melalui Spotify, Apple Music, dan YouTube, masyarakat mendapat akses instan dan tak terbatas ke musik tanpa harus mencatat jadwal penayangan acara favorit lagi.

Pergeseran ini lahir dari perubahan perilaku konsumen, tekanan korporasi, dan evolusi media digital. Berakhirnya MTV dan disrupsi baru dari platform on-demand mencerminkan perubahan besar dalam lanskap budaya global.

Baca juga: Pilih Streaming, CD, Piringan Hitam? Cara Dengarkan Musik Bisa Berdampak Buruk Pada Lingkungan

Tekanan pun datang dari internal. Mantan Kepala Digital MTV UK, Matthew Kershaw, mengatakan salah satu faktor utama runtuhnya MTV terjadi karena keengganan manajemen untuk keluar dari model bisnis lamanya.

Banyaknya kanal yang ditawarkan ke masyarakat sejatinya adalah inovasi. Di bawah arahan korporasi, MTV mulai bergeser ke acara realitas (reality show) seperti Jersey Shore, MTV Cribs, dan Jackass. Meskipun program-program ini sempat populer, MTV justru menjauh dari akar musiknya.

Tapi inovasi tersebut tidak relevan di masyarakat. Dulu, saluran ini menyatukan penonton karena semua orang menonton video musik yang sama, membicarakannya di sekolah, dan merasakan identitas kolektif yang serupa.

Kini, algoritma dan kecerdasan buatan memilihkan konten berbeda bagi setiap individu. Cara menikmati musik masyarakat berubah ke arah personalisasi dan kustomisasi pribadi.

Hingga akhirnya per Juli 2025, MTV Music hanya menarik sekitar 1,3 juta penonton, jauh dari masa kejayaannya pada 1980-90an yang mencapai ratusan juta.

Tidak Berbuat Salah Tapi Hancur

Kejatuhan MTV ini menjadi pengingat bahwa dalam era digital, adaptasi teknologi, manajemen waktu, dan kemampuan beradaptasi terhadap perilaku konsumen adalah segalanya.

MTV memang menorehkan sejarah sebagai pendisrupsi model lama. Namun, seiring waktu, MTV-lah yang kini menjadi model lama. MTV justru jadi pihak yang terdisrupsi oleh hal yang sama yakni teknologi.

Dengan kemajuan teknologi, masyarakat bisa memilih apa yang ingin ditonton kapan pun dan di mana pun. Kini orang tak perlu lagi menunggu jam tertentu untuk bisa menikmati artis favoritnya.

Bahkan platform pendisrupsi masa kini pun tidak bisa berpuas diri. Perlahan tapi pasti, TikTok kini didapuk sebagai platform musik nomor satu. Media sosial asal Cina ini sukses mewadahi tren masyarakat yakni berjoget ria dengan iringan lagu.

MTV sebenarnya memiliki sumber daya yang tidak kalah bagus dengan platform yang kini menguasai hiburan musik seperti Spotify dan Youtube.

Namun, MTV tak lagi mampu memenuhi kebutuhan generasi yang tumbuh dengan algoritma, bukan dengan saluran musik di televisi.

Dulu MTV fenomenal dengan jargon video menggantikan radio. Kini MTV harus terima bahwa streaming menggantikan video televisi.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Foto: IG 10and5

Farhan Mutaqin dan Naufal Rafiansyah

Farhan Mutaqin, PhD Researcher, University of Edinburgh dan Naufal Rafiansyah, Marketing science, University of Edinburgh.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!