Lagu “Bayar Bayar Bayar” milik band punk Sukatani mendapat perhatian publik setelah ditarik dari berbagai platform seperti Spotify dan YouTube. Pada 20 Februari 2025, dua personel band tersebut menyampaikan permintaan maaf di media sosial kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan institusinya atas lirik yang menyerukan frasa “bayar polisi”.
Ramai mendapat dukungan publik, band ini akhirnya manggung lagi. Dalam unggahan di medsos, mereka menjelaskan penarikan lagu itu dilakukan karena mendapat tekanan dan intimidasi akibat keberanian mereka menyuarakan ketidakadilan.
Kejadian ini mencerminkan pola yang sering terjadi dalam sejarah punk: kritik terhadap sistem berujung pada tekanan, sensor, dan pembatasan.
Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Pemberedelan Sukatani dan Karya Seni Kritis, Alarm Bahaya dari Rezim Antikritik
Bukan yang pertama–dan terakhir
Contohnya, The Clash di Inggris awalnya vokal terhadap isu politik seperti kekerasan polisi. Juga kurangnya kesempatan ekonomi bagi pemuda kelas pekerja, dominasi budaya hiburan komersil Amerika, dukungan terhadap Front Pembebasan Nasional Sandinista (FSLN) di Nikaragua, dan menentang intervensi Amerika Serikat (AS) di Amerika Tengah.
Namun, penyensoran lagu ‘White Riot’—sulit disiarkan di BBC karena liriknya kontroversial—membuat mereka akhirnya mengambil pendekatan lebih moderat.
Di negara otoriter seperti Uni Soviet dan Cina, band punk juga kerap ditekan dan dipaksa untuk menyensor musik mereka.
Kasus Sukatani memunculkan kekhawatiran bahwa musisi punk kini menghadapi lebih banyak batasan, terutama ketika kritik mereka menyentuh institusi yang berkuasa. Jika musisi semakin terpaksa menyensor diri sendiri atau meminta maaf atas kritik yang mereka sampaikan, esensi punk sebagai gerakan sosial bisa semakin melemah.
Sejarah musik punk
Punk muncul pasca Perang Dunia II. Tepatnya pertengahan 1970-an, saat AS dan Inggris mengalami tekanan ekonomi akibat krisis minyak 1973 dan kebijakan neoliberal yang baru diberlakukan.
Stagflasi—kombinasi antara inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan—melahirkan punk sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan otoritas yang menindas. Di Inggris, band seperti Sex Pistols dan The Clash muncul sebagai suara perlawanan terhadap kemiskinan, pengangguran, rasisme, xenophobia, neofasisme dan sistem kelas.
Sementara di AS, Dead Kennedys mengangkat kritik satir terhadap praktik politik dalam lagu-lagunya. Seperti “Holiday in Cambodia”, “California Über Alles” dan “Kill the Poor”. Subkultur straight edge—punk dengan gaya hidup menolak penggunaan alkohol, narkoba dan perilaku yang merusak—yang dianut Minor Threat menyuarakan feminisme dan gerakan perdamaian. Sementara, Riot Grrrls menjadi gelombang baru feminisme yang menangani isu-isu perempuan seperti seksualitas dan pelecehan seksual.
Beberapa studi menunjukkan bahwa punk terus berkembang menjadi gerakan sosial yang sering berhadapan dengan otoritas. Penelitian tentang punk dan pergerakan sosial membahas bagaimana musik dan subkultur punk bukan hanya simbol perlawanan. Melainkan juga alat untuk mengorganisasi protes, meningkatkan kesadaran, dan mendorong perubahan sosial.
Baca Juga: Menelisik ‘Wawancara Eksklusif’ Prabowo dengan 6 Pemred Media, Soal Klaim MBG Sukses Hingga Kekuatan Asing
Sementara itu, riset tentang subkultur punk di Meksiko melihat bahwa di negara tersebut, punk lebih fokus pada isu politik dibanding musik itu sendiri. Tema seperti perjuangan Zapatista di Chiapas, gerakan okupasi rumah kosong di Eropa, hak perempuan di Meksiko, serta gerakan sosial Eropa seperti Provos dan Situationists menjadi fokus pergerakan. Pada pertengahan 1980-an, punk bergeser dari perlawanan langsung ke strategi yang lebih eksperimental dan avant-garde. Seperti yang ditunjukkan oleh Dag Nasty dan Soulside.
Di Indonesia, punk juga berkembang dengan semangat serupa. Band seperti Marjinal dan Endank Soekamti sering menyuarakan ketidakadilan, diskriminasi, dan kebebasan berekspresi.
Pembelajaran dari kasus Sukatani
“Punk for me was a social movement” adalah pernyataan Joe Strummer, vokalis dan penulis lagu The Clash yang berada pada garis depan protes politik dalam gerakan punk rock akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Kritik yang disuarakan Sex Pistols, The Clash, Dead Kennedys di Inggris dan AS, hingga band punk di negara-negara otoriter, menunjukkan bahwa punk memiliki nilai penting dalam gerakan sosial untuk kesetaraan dan keadilan sosial. Punk tidak hanya menjadi bagian dari “budaya gerakan” yang mendukung aksi kolektif. Tetapi juga katalis yang memungkinkan mobilisasi sumber daya dan aksi protes terjadi.
Secara teori, skema interpretasi dalam subkultur punk dipengaruhi oleh sikap antiotoritarianisme dan kecurigaan terhadap kekuasaan korporasi serta negara. Ketika punk mengangkat isu politik, sikap antiotoritarian menjadi bingkai utama yang membantu memahami, mengenali, dan mengintepretasikan kejadian di sekitar kita.
Selain itu, punk juga selaras dengan konsep injustice frame—ideologi dan emosi kemarahan terhadap ketidakadilan dapat memobilisasi kelompok sosial untuk melakukan aksi politik. Artinya, melalui lirik lagu, aksi protes, dan gerakan kolektif, punk mengubah ketidakadilan menjadi perlawanan aktif terhadap sistem yang menindas.
Baca Juga: Kamus Feminis: Dari Ndasmu, Anjing Menggonggong Hingga Antek Asing, Label Sebagai Alat Pembungkaman
Kasus Sukatani menjadi pengingat bahwa punk selalu berhadapan dengan otoritas. Namun, sejarah menunjukkan bahwa meskipun punk kerap ditekan, semangat perlawanan yang menjadi inti dari subkultur ini tidak pernah benar-benar mati. Punk selalu menemukan cara baru untuk menyampaikan kritik sosial. Baik melalui lirik yang lebih subtil, aksi kolektif, atau gerakan di luar musik yang mencerminkan semangat perlawanan dan satir. Misalnya, dukungan publik melalui tagar #KamiBersamaSukatani.
Kasus ini juga bisa menjadi titik balik bagi punk di Indonesia. Apakah punk akan tetap menjadi gerakan kritis terhadap ketidakadilan sosial, ataukah akan lebih adaptif dengan tekanan eksternal?
Jika komunitas punk tetap bersuara dan menolak pembungkaman, mereka bisa mempertahankan peran sebagai penggerak perubahan sosial. Namun, jika insiden ini justru membuat musisi semakin takut mengkritik, bisa jadi punk di Indonesia akan kehilangan perannya sebagai suara perlawanan.
(sumber foto: Instagram @sukatani.band/@noisaresip)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.