Suatu hari di sebuah taman, banyak laki-laki berkumpul dengan gaya penampilan serupa: totebag menggantung di bahu, tangan menggenggam segelas matcha, earphones kabel mencuat. Tangan lainnya yang bebas mungkin menenteng buku ‘kritik sosial dan feminis’ populer seperti karya Haruki Murakami atau Simone de Beauvoir. Belakangan, para lelaki dengan penampilan demikian disebut sebagai ‘performative male’.
Istilah ‘performative male’ masih baru, belum punya definisi tunggal. Ada yang menyebut ini fenomena laki-laki yang menampilkan gaya hidup tertentu demi validasi sosial. Seperti anak gym yang rutin pamer progres otot, pelari ‘kalcer’ yang menggabungkan lari dan penampilan demi media sosial. Atau ‘anak senja’, softboi, atau mereka yang tampil seperti abang-abang aktivis. Dalam versi yang lebih spesifik dan belakangan ramai dibicarakan, performative male adalah laki-laki dengan gaya persis seperti disebutkan di awal. Pakai totebag, earphone kabel, minum matcha, bawa buku feminis.
Gaya ini tampak ‘woke’. Itu istilah yang merujuk pada kesadaran terhadap ketidakadilan sosial dan politik, isu gender, lingkungan, dan minoritas. Dalam budaya populer, laki-laki woke disebut-sebut lebih menarik. Sebab mereka tidak ragu menunjukkan sisi emosional, mempraktikkan komunikasi yang setara, dan menjauh dari pola maskulinitas toksik. Tampak aman bagi perempuan dan berpihak, dengan gaya yang artsy.
Namun, belakangan, banyak yang berpenampilan demikian bukan karena itu gaya asli mereka. Melainkan dibuat-buat hanya demi mendapat perhatian perempuan.
Baca juga: 5 Ciri Laki-Laki Feminis, Apakah Pasanganmu Sudah Memenuhi Kriteria Ini?
Gaya baru performative male ini menjadi populer hingga dibuatlah acara bertajuk Performative Male Contest di Taman Langsat, Jakarta Selatan, pada 2 Agustus 2025 silam. Dari cuplikan tayangan yang beredar, tampak beberapa peserta menampilkan dirinya dengan cara yang sangat simbolik. Seperti membagikan pembalut, membawa buku feminis, mengucapkan, “I’m a woman lover,” di depan kamera. Serta memberikan pernyataan seolah-olah sangat memahami perempuan.
‘Menghibur’ barangkali adalah tujuan utamanya. Akan tetapi, sejujurnya, menyedihkan ketika melihat buku-buku feminis yang lahir dari rasa sakit, kemarahan, dan perjuangan panjang perempuan diperlakukan hanya sebagai gimmick.
Mengutip dari TikTok USS Feed, panitia menjelaskan bahwa acara ini hanya buat seru-seruan. Kala itu, Konde.co berusaha menghubungi panitia penyelenggara untuk memahami maksud di balik acara ini. Namun hingga artikel ini ditulis, belum ada balasan yang diberikan. Ketidakjelasan ini memberi kesan ambigu. Apakah kontes ini dimaksudkan sebagai kritik, lelucon, atau refleksi terhadap kegelisahan identitas laki-laki hari ini?
‘Jebakan’ Performative Male
Acara serupa juga dihelat di Seattle, Amerika Serikat, pada 1 Agustus 2025. Penyelenggara acara, Lanna Rain, memberikan deskripsinya tentang performative male.
“Deskripsi terbaik saya adalah laki-laki yang mengenakan feminisme, kelembutan, dan musik tertentu untuk memikat perempuan. Tanpa benar-benar tahu apa yang mereka kenakan atau bicarakan.”
Di media sosial, banyak warganet mengangkat kekhawatiran bahwa fenomena performative male bukan sekadar bentuk kepura-puraan. Melainkan jebakan emosional yang halus dan berbahaya bagi perempuan. Mereka memainkan peran sebagai sosok yang aman, progresif, dan peka. Sayangnya, bukan untuk mendorong perubahan, tapi untuk memperoleh kepercayaan, validasi, dan perhatian semata.
Yang membuat jebakan ini sulit dikenali adalah karena mereka tidak mendominasi secara terang-terangan. Melainkan dengan berpura-pura lembut, penuh pengertian, dan mendukung.
Mereka membaca buku feminis hanya di permukaan, mungkin beberapa bab atau kutipan viral. Lalu menggunakannya sebagai modal sosial. Mereka ikut aksi di jalan bukan karena komitmen, tapi karena ingin dilihat. Mereka memahami isu sosial secara dangkal, ibarat seseorang yang memalsukan kompetensi di CV demi lolos dapat kerja.
Dalam konteks hubungan, ‘performative male’ adalah serigala berbulu domba yang tampak peduli, sadar isu, dan berpihak. Namun, di balik itu, mereka tetap mempertahankan logika relasi yang timpang. Mereka menggunakan bahasa progresif untuk memperkuat kontrol secara emosional. Sebab mereka tahu keresahan dan penindasan yang dialami perempuan.
Tujuannya bukan mendukung kesetaraan, melainkan keuntungan pribadi seperti afeksi, bahkan seksualitas. Sedangkan ketika perempuan menyatakan keresahannya, sang ‘performative male’ ini justru menginvalidasi mereka.
Bayangkan seorang perempuan yang mengutarakan rasa tidak suka atau menceritakan kerentanannya dalam hubungan. Lalu dijawab dengan kalimat seperti, “Kayaknya kamu masih dipengaruhi traumamu, deh.” Atau, “Sepertinya kamu memproyeksikan masalahmu ke aku,” atau, “Kamu belum belajar regulasi emosi.” Pengetahuan dalam feminisme justru dipakai untuk membungkam dan memutarbalikkan pengalaman perempuan.
Makin Woke, Makin Menarik?
Kesadaran sosial dan progresivisme kini menjadi nilai tambah yang dicari banyak orang. Terutama dalam konteks kencan dan hubungan. Namun, di tengah tren menjadi woke, sebagian orang justru memilih memanfaatkannya. Bukan karena mereka sungguh-sungguh memahami atau mempraktikkan nilai tersebut, melainkan hanya demi terlihat menarik. Hal ini bisa membuat frustrasi dan bahkan berbahaya bagi orang-orang yang mencari hubungan serta dukungan yang tulus.
Yang membuat hal ini semakin rumit adalah ketika laki-laki seperti ini bergabung dalam komunitas-komunitas progresif, ruang yang mestinya aman dan setara. Mereka hadir di lingkaran diskusi feminis, atau organisasi sosial, sambil membawa citra “laki-laki baru” yang penuh empati dan kesadaran. Maka perempuan yang berada dalam lingkaran yang sama kesulitan membedakan mana yang tulus dan mana yang performative. Ketika akhirnya perempuan menjadi korban kekerasan seksual dari laki-laki yang mengaku progresif ini, dampaknya akan sangat dalam. Perempuan bisa terisolasi, malu, dan ragu untuk bersuara karena pelakunya sering kali adalah sosok yang disukai banyak orang dan dianggap mengerti tentang isu kekerasan berbasis gender.
Untuk memahami akar dari istilah performative, kita perlu menengok pada pemikiran Judith Butler. Dalam bukunya ‘Bodies That Matter’, Butler mengembangkan gagasan bahwa gender bukan sesuatu yang kita miliki atau kita jadikan. Tapi sesuatu yang terus-menerus kita lakukan.
Gender bersifat performatif, sebut Butler. Artinya, identitas gender dibentuk melalui pengulangan tindakan, bahasa, dan ekspresi yang sesuai dengan norma yang dikenali masyarakat. Performa bukan selalu berarti kepalsuan, bisa saja proses dari pembelajaran dan perubahan. Tapi saat masyarakat mengharuskan performa tertentu—misalnya: “jadi laki-laki ya harus begini”—maka penghayatan bisa tergeser jadi kepatuhan kosong. Oleh karena itu, konteks performative male yang lagi hype ini harus dipertanyakan. “Apakah kamu benar-benar peka terhadap perempuan, atau hanya mengulangi gaya ‘laki-laki peka’ karena itu norma baru di lingkunganmu?”
Baca juga: Judith Butler: Memahami Filsafat Gender yang Tidak Biologis, Tapi Performatif
Jika sebelumnya laki-laki performanya adalah bersikap dominan, tahan banting, tidak menangis. Maka ketika hari ini sebagian laki-laki tampil lembut, sadar isu gender, dan emosional, itu pun adalah bentuk performa baru yang muncul dari perubahan selera sosial. Dalam kerangka ini, tidak ada diri sejati yang berada di balik performa. Justru diri dibentuk melalui performa itu sendiri. Maka, semua orang termasuk laki-laki pada dasarnya sedang terus “berlaku sebagai” berdasarkan skrip sosial yang tersedia. Yang membedakan, barangkali, adalah sejauh mana seseorang menyadari skrip itu dan mengkritisinya. Atau bahkan menggunakannya untuk keuntungan pribadi.
Lantas, apakah benar laki-laki Gen Z lebih woke daripada generasi sebelumnya?
Di permukaan, kita melihat tren itu. Tapi sayangnya menurut survei Policy Institute di King’s College London dan Global Institute for Women’s Leadership, 3716 laki-laki berusia 16 tahun ke atas percaya bahwa feminisme lebih membawa keburukan daripada kebaikan. Tiga dari lima laki-laki muda bahkan mengatakan bahwa mereka merasa harus melakukan terlalu banyak untuk mendukung kesetaraan.
Meskipun data ini berasal dari Inggris, hasilnya memberi gambaran menarik tentang laki-laki muda, bahkan di negara dengan pendidikan progresif, yang masih merasa terancam oleh narasi kesetaraan. Data ini menguatkan dugaan bahwa tren performative male bisa jadi merupakan sisi lain dari kebingungan status maskulinitas dan rasa kehilangan identitas dalam konteks ekonomi dan sosial yang semakin menekan.
Dalam ‘Men Who Hate Women’, Laura Bates memperingatkan tentang komunitas incel dan pick-up artist (PUA) yang menjadi ajang peluruhan empati. Laki-laki berpura-pura simpati dan berpihak, tapi menumbuhkan pandangan misoginis yang licik. Para pelatih PUA mengajarkan meniru empati. Berpura-pura menjadi pendengar yang baik, atau mengadopsi nilai yang disukai perempuan hanya sebagai taktik, bukan karena kesadaran.
Jangan Menjadi Stereotipe Baru
Di tengah kritik terhadap ‘performative male’, jangan sampai ia menciptakan stereotipe baru.
Tentu saja tidak semua laki-laki yang pakai tote bag, minum matcha, atau baca buku feminis sedang berakting demi disukai. Bisa jadi gaya mereka memang seperti itu. Atau mereka memang sedang belajar, mencari bentuk maskulinitas yang lebih sehat, dan sekadar menyukai gaya hidup itu tanpa agenda apa-apa. Jika semua penampilan alternatif laki-laki langsung dicurigai sebagai performatif, kita justru mengulang cara lama yang membatasi ruang ekspresi dan memenjarakan laki-laki dalam ekspektasi publik. Apabila bingung cara membedakan yang pura-pura atau tidak, tenang saja; kepalsuan pasti tidak bertahan lama.
Banyak laki-laki muda hari ini tumbuh dalam kebingungan. Diajari untuk kuat, tapi juga diminta untuk peka, dituntut sadar gender, tapi dicurigai saat mencoba belajar. Jika kita ingin orang berhenti berpura-pura, kita harus berhenti menghukum mereka karena ingin menjadi diri sendiri. Selama kita tidak memberi ruang bagi kerentanan, keinginan menjadi diri sendiri, kita hanya akan melahirkan lebih banyak kepalsuan. Sebaliknya, ketika kesempatan membuka ruang itu dimanfaatkan demi agenda palsu, konsekuensinya adalah ketidakpercayaan yang kian niscaya.
Foto: https://en.wikipedia.org/wiki/Performative_male
(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)






