Tubuh perempuan dan queer diatur oleh negara dan agama

Tubuh Ini Milik Siapa? Menjadi Perempuan dan Queer dalam Bayang-Bayang Moralitas Publik

Tubuh perempuan dan minoritas gender-seksualitas selalu menjadi medan konflik tafsir moral, agama, dan negara. Dalam masyarakat yang patriarkis dan heteronormatif, tubuh-tubuh ini seolah bukan milik sendiri, melainkan dikontrol oleh hukum, budaya, bahkan tafsir agama yang tidak memihak. Tapi siapa yang diuntungkan dari semua kontrol ini?

“Aku nggak bisa jadi diri sendiri di sini. Kalau mereka tahu aku queer, aku bisa kehilangan semuanya: beasiswa, teman, mungkin juga keluargaku.”

Ucapan tersebut datang dari teman saya, seorang lesbian yang tidak (dapat) terbuka tentang orientasi seksualnya di lingkungan kampus. Kami mahasiswa di kampus berbasis nilai-nilai religius. 

Kalimat itu bukan sekadar curhat, melainkan cerminan realitas: menjadi minoritas gender dan seksual bukan cuma soal identitas, tapi juga soal risiko hidup. Dalam keseharian saya pun, sering kali muncul perdebatan internal dalam diri saya sendiri. Antara hasrat untuk merdeka sebagai perempuan muda, dengan ekspektasi lingkungan yang konservatif. 

Tentu saja pergulatan ini bukan kami semata yang mengalami. Nyatanya, banyak kasus persekusi dan penindasan di Indonesia terhadap perempuan dan komunitas queer. Yang terbaru adalah kasus penggerebekan ‘gay party (pesta gay)’ di Bogor pada 22 Juni 2025. Sebanyak 75 orang ditangkap saat menghadiri pesta privat di sebuah villa. Polisi menyita kondom dan mainan seksual sebagai “barang bukti,” lalu menginterogasi peserta soal aktivitas seksual pribadi mereka. 

Baca Juga: Ribut Mendebatkan Queer, Tetapi Pernah Gak Melibatkan Mereka dalam Forum Kamu?

Kontan, banyak media mengangkat peristiwa ini dengan nada sensasional. Media menempatkan mereka yang hadir sebagai “penyimpang moral”. Padahal, aktivitas itu dilakukan di ruang privat. Tidak ada yang dilanggar kecuali standar moral mayoritas yang selalu mendiskriminasi kelompok LGBTQ+.

Kasus lain terjadi di Aceh pada Februari 2025. Dua laki-laki dihukum sebanyak 77 dan 82 cambukan di depan publik. Pasalnya, mereka dituduh menjalin hubungan sesama jenis. Warga mendobrak kamar kos mereka, menyerahkan mereka ke polisi syariah. Seperti biasa, aparat menjustifikasi dengan hukum lokal. Tapi apakah kita bisa menyebut ini sebagai penegakan keadilan jika satu-satunya ‘kesalahan’ mereka adalah mencintai sesama jenis?

Maka ketika bicara tentang perempuan dan queer, tubuh kami milik siapa? 

Dalam banyak perbincangan publik, terutama yang bersinggungan dengan agama, seksualitas, dan moralitas, perempuan dan queer kerap kali dihadirkan sebagai objek yang harus ‘diatur’. Berbagai peraturan hadir dalam rupa undang-undang, fatwa keagamaan, norma sosial. Hingga ucapan yang seolah penuh kepedulian tapi sesungguhnya mengontrol. “Pakaiannya harus sopan,” “Jangan terlalu terbuka,” “Jangan menyalahi kodrat.” Itu adalah frasa-frasa umum yang mungkin sudah ratusan kali kita dengar. Tapi jarang kita bertanya, mengapa tubuh perempuan dan queer selalu menjadi objek pengawasan?

Ketika bicara soal penindasan, kita bicara soal lapisan demi lapisan. Ada kerentanan lebih pada individu atau kelompok dengan latar belakang tertentu. Dalam feminisme, hal itu dimaknai lewat teori feminisme interseksional yang dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw.

Baca Juga: Aku Ingin Merdeka, Bahasa Aksi dan Perjuangan Queer Lepas dari Kolonialisme

Crenshaw menjelaskan bahwa ketertindasan tidak pernah datang dari satu arah. Ras, kelas, gender, orientasi seksual, dan status sosial berkelindan membentuk lapisan-lapisan diskriminasi yang kompleks. Seorang perempuan queer dari kelas ekonomi bawah yang juga beragama minoritas, misalnya, akan mengalami bentuk kekerasan struktural yang jauh lebih dalam dibanding perempuan cis-hetero dari kelompok dominan.

Dua kasus persekusi terhadap individu dan komunitas gay di atas, juga LGBTQ+ pada umumnya, adalah contoh nyata dari teori feminisme interseksional. Kedua peristiwa tersebut menjadi penanda bahwa negara dan masyarakat belum melihat hak atas tubuh dan privasi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Terutama bagi mereka yang hidup di luar norma cisheteronormatif. 

Negara hadir bukan untuk melindungi mereka. Melainkan menjadi alat represi yang memfasilitasi kekerasan kultural dan hukum terhadap identitas mereka.

Seharusnya, di tengah tekanan tersebut, agama bisa menjadi ruang spiritual dan kasih. Namun, yang lebih menyedihkan, agama justru menjadi instrumen untuk mengukuhkan dominasi moral mayoritas. 

Baca Juga: Namaku Sam, Keluarga Sulit Menerimaku karena Aku Queer

Dalam diskursus keagamaan, hanya ada sedikit ruang untuk mendengar pengalaman hidup queer dan perempuan. Bahkan ketika perempuan bicara, mereka sering dicap emosional, tidak objektif, atau dianggap menafsirkan teks suci secara menyimpang. Padahal, justru dari pengalaman hidupnya yang penuh luka dan perlawanan, perempuan dan queer bisa membaca ulang teks agama dengan cara yang lebih kontekstual dan empatik.

Saya pernah mengikuti diskusi tafsir yang membahas ayat-ayat tentang aurat. Yang berbicara semua laki-laki. Yang jadi objek kajian: tubuh perempuan. Tidak ada satu pun perempuan yang dilibatkan. Padahal merekalah yang hidup dalam tubuh itu setiap hari. Mereka mengalami tekanan sosial, seksualisasi, dan kriminalisasi hanya karena berpakaian tidak sesuai standar mayoritas. Ini adalah bentuk pengabaian epistemik: pengalaman hidup perempuan dan queer dianggap tidak sah sebagai sumber pengetahuan.

Dalam kondisi seperti ini, tekanan ekonomi juga memperparah luka. Banyak perempuan queer terpaksa hidup dalam relasi heteronormatif demi mempertahankan pekerjaan, tempat tinggal, atau bahkan keamanan hidup. Beberapa teman saya—yang bekerja sebagai pekerja kreatif freelance—pernah ditolak klien begitu tahu bahwa mereka adalah bagian dari komunitas queer. Tidak ada mekanisme perlindungan, tidak ada perlindungan hukum. Mereka hanya bisa diam.

Sementara itu, muncul pula UU KUHP baru yang disahkan pada akhir 2022 dan mulai diberlakukan bertahap sejak 2025. KUHP ini justru mengancam lebih jauh kebebasan privasi. Pasal tentang “perzinahan” dan “kohabitasi” dapat digunakan untuk menargetkan pasangan non-menikah. Termasuk pasangan sesama jenis yang memang tidak diakui secara hukum. Meski tidak secara eksplisit menyebut LGBTQ+, tetapi karena hukum hanya mengakui pernikahan heteroseksual, maka seluruh hubungan queer secara otomatis dianggap ilegal.

Baca Juga: Survei: Perempuan, Queer, Disabilitas Lebih Rentan Jadi Korban Kekerasan di Dunia Kerja

Jika kita ingin membangun masyarakat yang adil, maka kita tidak bisa lagi menutup mata dari kenyataan bahwa tubuh dan identitas perempuan dan queer selalu menjadi ladang pertempuran ideologi. Ini bukan hanya soal hak individu, tapi juga soal bagaimana negara dan masyarakat memandang warganya yang berbeda. Kita perlu menggeser paradigma: dari kontrol menjadi empati, dari ketakutan menjadi keadilan.

Perubahan tidak akan datang dari atas. Ia harus lahir dari keberanian berbicara, dari narasi-narasi yang selama ini dibungkam, dari keberanian seorang perempuan muda untuk berkata, “Tubuhku bukan urusan negara.” Atau seperti teman saya yang perlahan mulai berani menulis puisi tentang cintanya yang tak bisa diumbar. 

Mungkin perlawanan kecil ini tampak remeh. Tapi dari sanalah revolusi dimulai—dari suara yang selama ini ditindas, yang akhirnya menolak diam.

Referensi Kasus dan Data:
  1. Indonesia: Police must release 75 people arrested in discriminatory raid on ‘gay party’ – Amnesty International (2025)
  2. Indonesia’s Aceh province publicly canes two men for same-sex relationship – Reuters (2025)
  3. Crenshaw, Kimberlé. Demarginalizing the Intersection of Race and Sex (1989).
  4. ILGA Asia. State-Sanctioned Discrimination in Indonesia, 2025 Report
(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Waode Sinta Nur Dzakiyyah

Mahasiswa Informatika di Universitas Muhammadiyah Malang yang percaya bahwa menulis adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang kerap dibungkam dalam ruang-ruang akademik dan sosial.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!