‘Turang’ adalah sebuah film karya Bachtiar Siagian yang dirilis pada tahun 1957. Film ini mengisahkan perjuangan rakyat Nusantara melawan Belanda, khususnya di Tanah Karo, Sumatera Utara. Bukan hanya tentang laki-laki, ‘Turang’ juga mengangkat jejak sunyi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.
Dinobatkan sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1960, ‘Turang’ menandai pencapaian penting dalam dunia perfilman nasional. Film ‘Turang’ juga adalah bagian dari warisan sinema Indonesia yang sempat hilang dan dibungkam oleh sejarah. Kemudian arsip film ini ditemukan lagi oleh Bunga Siagian, putri Bachtiar Siagian di Moskow, Rusia.
Keberadaannya, seperti film-film lain yang dibuat oleh para sineas berhaluan ‘kiri’, menghilang seiring terjadinya Peristiwa 1965. Setelah itu, mereka yang diduga terlibat atau memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk para anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), diburu, ditangkap, bahkan dibunuh.
Bachtiar Siagian, yang aktif di Lekra, menjadi salah satu korbannya. Ia dipenjara selama 12 tahun di Pulau Buru. Hilangnya ‘Turang’ tak lepas dari upaya sistematis negara menghapus jejak pemikiran ‘kiri’, termasuk dalam bentuk seni dan budaya.
Menurut Bunga Siagian dalam pemutaran film ‘Turang’ di C2O Library Surabaya pada 27 April 2025, ajakan untuk memutar film itu tidak hanya terkait dengan kembalinya arsip penting sineas kiri. Namun juga mendiskusikan warisan gerakan dan gagasan anti kolonial dan anti imperialisme di mana mereka aktif merumuskannya.
Foto: Pemutaran film Turang di C2O Library Surabaya (27/4/2025)
Kisah ini bermula ketika Rusli (diperankan Omar Bach), seorang pejuang yang terluka parah, dibawa ke rumah Tipi (diperankan Nizmah Zaglulsyah) oleh Tuah, abang Tipi. Tipi sendiri adalah seorang perempuan muda yang tinggal bersama ayahnya di sebuah rumah kecil, hanya terdiri dari satu ruangan, tanpa ruang terpisah. Meski hidup dalam keterbatasan, ia dan ayahnya memutuskan untuk merawat Rusli. Di sisi lain, mereka tahu betapa besar risikonya jika Belanda mengetahui keberadaan mereka.
Di tengah kesempitan itu, Tipi dengan penuh kasih merawat Rusli, dari mulai masa tanam jagung sampai panennya. Akhirnya Rusli pun pulih. Ketika Rusli memutuskan untuk kembali ke medan perang, Tipi hanya bisa bingung dan menangis dengan perasaan campur aduk. Selama masa perawatan, sepertinya mereka saling jatuh cinta, meski perasaan itu tidak pernah diungkapkan.
Rusli meminta ayah Tipi untuk mengantarkan surat kepada komandannya. Namun, malang tak dapat ditolak, ayah Tipi ketahuan dan ditangkap Belanda. Belanda yang marah besar pun berangkat untuk mengobrak-abrik kampung Tipi. Ketika komandan pasukan datang untuk menjemput Rusli, ia dengan santainya mengabaikan Tipi yang bisa jadi incaran Belanda selanjutnya karena menyembunyikan buronan. Tuah, abang Tipi hanya diam saja. Rusli-lah yang maju mendebat komandan.
Militerisme dan Seksisme
“Tipi berwajah cantik, dia akan jadi gangguan bagi pasukan laki-laki,” ujar sang komandan dengan sinis. “Kalaupun dia ditangkap Belanda, mereka akan melepaskannya karena sudah tidak ada siapa-siapa di sini.”
Meski Rusli berusaha membela, keputusan sudah bulat. Tipi, seorang perempuan dianggap tidak punya tempat di medan perang. Bagi komandan yang mewakili sistem militer patriarki, perempuan seperti Tipi hanyalah objek yang nilainya ditentukan oleh kegunaannya bagi laki-laki. Ia dihargai hanya jika bisa membantu atau menarik perhatian, bukan sebagai manusia yang punya hak untuk memilih.
Tanpa ditanya kesediaannya, Tipi harus merawat tentara yang tidak ia kenal. Ia merawat Rusli dengan sepenuh hati, meski setiap detik bisa menjadi ancaman bagi nyawanya. Dalam ‘Turang’, kita menyaksikan bagaimana perasaan perempuan, seperti Tipi, tidak pernah mendapatkan ruang untuk diakui. Ketika ia takut dan bingung pun, perasaannya tak pernah dianggap penting. Cinta yang ia pendam untuk Rusli tidak hanya terhalang oleh perang, tetapi juga oleh batasan yang ditempatkan oleh patriarki yang memposisikan perempuan sebagai penunggu cinta. Tipi yang takut dan sedih karena ditinggal Ayah, abang dan Rusli, tidak dipedulikan perasaannya dan komandan memilih untuk menyelamatkan pasukan laki-laki daripada menghargai perempuan yang telah berjuang untuk menyelamatkan satu jiwa.
Film ini juga mengkritik seksisme dalam dunia militer yang kerap meremehkan peran perempuan. Ketika komandan menyebut Tipi sebagai “gangguan”, kita melihat bahwa tubuh perempuan selalu dilihat sebagai masalah. Ini adalah realitas banyak perempuan yang tak hanya menghadapi kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan sistemik. Bukan hanya dari penjajah, tapi dari pejuang sendiri. Padahal, Tipi mungkin tidak memegang senjata, tetapi perjuangannya nyata.
Hal yang dilakukan Tipi dalam film Turang sejatinya bukanlah hal yang biasa, meskipun beberapa orang mungkin menganggapnya sepele. Seolah apa yang dilakukan Tipi seperti merawat teman abangnya yang terluka, tetap bekerja di ladang di tengah perang hanyalah tugas sehari-hari yang tidak penting. Ini cerminan dari beban emosional yang sering dipikul perempuan dalam perang.
Dalam menonton film perang, penonton sering kali lebih tertarik pada aksi besar, pertempuran seru, dan strategi militer. Adegan tembak-menembak, ledakan, serta bentrokan antara pasukan sering kali menjadi fokus utama, membangkitkan sensasi ketegangan dan keberanian. Bagi banyak orang, ini adalah bagian yang paling menarik untuk melihat siapa yang menang dan kalah dalam perang. Namun, di balik segala yang dianggap keseruan itu, peran perempuan sering kali diabaikan atau dianggap tidak menarik.
Turang hadir dengan cara berbeda. Film ini jelas menantang genre film perang mainstream yang lebih sering menampilkan laki-laki sebagai protagonis yang terlibat langsung dalam pertempuran, dengan sedikit atau tanpa perhatian terhadap peran perempuan dalam konteks perang.
Film ini menyoroti kehidupan sehari-hari orang-orang yang terjebak dalam peperangan, perempuan yang bekerja sama kerasnya dengan laki-laki di ladang, perempuan merawat yang terluka, dan bertahan hidup di tengah ketidakpastian. Bachtiar Siagian memberi panggung pada mereka yang biasanya tak terdengar.
Film Turang menjadi dokumentasi penting tentang dampak perang terhadap masyarakat sipil di Tanah Karo. Mengutip artikel Martin Sitompul Historia.id, tentara Belanda di bawah pimpinan Van der Plank saat agresi militer Belanda tahun 1949 patroli ke kampung-kampung di Tanah Karo. Mereka menangkap penduduk dan ditanyai tentang TNI di mana basisnya, siapa saja penduduk yang bekerjasama dengan TNI. Mereka ditanyai sambil dipukul dan disengat listrik. Tindakan mereka sangat brutal, termasuk menjarah dan membakar beberapa kampung.
Tidak seperti kebanyakan film perang yang mengangkat kisah heroisme dengan akhir kemenangan di pihak protagonis, Turang justru menutup ceritanya dengan kekalahan. Turang tidak menawarkan kepuasan akan kemenangan, melainkan perasaan getir tentang harga yang harus dibayar dalam perjuangan.
Penonton tidak diajak bersorak atas keberhasilan, tapi diajak merenung tentang kekalahan, kehilangan, dan pengkhianatan yang menyelimuti perang. Dalam realisme pahit inilah Turang mengambil posisi berani menghadirkan perang sebagai kenyataan yang penuh luka dan tidak selalu berpihak pada yang berjuang dengan benar.






