19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban

Selama 19 tahun pelaksanaan UU Penghapusan KDRT di Indonesia, para aktivis masih menemukan bahwa KDRT tetap jadi ancaman serius bagi kehidupan perempuan.

Hari ini, 22 September 2023 kita memperingati 19 tahun pelaksanaan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Apa yang terjadi selama 19 tahun pelaksanaan UU PKDRT?

KDRT merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih menempati urutan pertama. Ini merujuk dari data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan bahwa 61% kasus kekerasan di ranah privat, 90% nya adalah KDRT

Hal ini sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak/ PPPA dari bulan Januari – Juni 2023, KDRT adalah kasus yang paling banyak dialami oleh korban yaitu sejumlah 7,649 kasus. Seperti beberapa waktu lalu, masih mencuat kasus pembunuhan perempuan oleh pasangannya setelah sebelumnya korban melaporkan KDRT yang ia alami ke kepolisian. 

Setelah 19 tahun lahirnya UU Penghapusan KDRT pada 22 September 2004, Perempuan Mahardhika, Forum Pengada Layanan, JALA PRT dan Konde.co menemukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi ancaman serius hidup perempuan. Hal ini terungkap dalam acara konferensi pers peringatan 19 tahun implementasi UU PKDRT di Jakarta 22 September 2023 hari ini.

Pekerja Perempuan Belum Terlindungi dari KDRT

Pada tahun 2020 Perempuan Mahardhika melakukan studi Pengalaman KDRT pada buruh perempuan dengan melakukan wawancara kepada 28 buruh perempuan korban KDRT yang bekerja disektor garmen.

Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika mengungkap, bahwa dari penelitian tersebut sejumlah temuan penting antara lain, pertama adalah sulitnya korban melepaskan diri dari KDRT dan bertahan dalam KDRT. Alasannya, ketidaktahuan tentang UU PKDRT, dan tidak berani melapor karena masih kuatnya perspektif suami adalah kepala keluarga. Selain itu, juga akibat minimnya dukungan dari keluarga, masyarakat, tempat kerja dan sosial. 

“Kedua, KDRT sangat berdampak bagi pekerjaan seperti kehilangan kosentrasi kerja. Korban juga rentan mengalami kecelakaan kerja, produktivitas menurun, hilangnya kemampuan kerja bahkan sampai kehilangan pekerjaan,” kata Vivi Widyawati.

Baca Juga: Apa yang Dimaksud Saksi Korban dalam Pelaporan Kasus KDRT?

Studi ini menunjukkan, tidak ada dukungan dari perusahaan bagi daya tahan buruh perempuan dalam menghadapi KDRT. Bahkan, perusahaan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan buruh perempuan.

Sistem kerja yang tidak ramah perempuan, sarat dengan kekerasan, sarat eksploitasi; menjadikan isu KDRT diabaikan dalam dunia kerja. Padahal, dampaknya terhadap pekerjaan buruh perempuan di tempat kerja, terang benderang.

Mengabaikan isu KDRT untuk masuk dalam skema perlindungan buruh perempuan, akan semakin mempersulit perempuan lepas dari jeratan KDRT.

Pekerja Rumah Tangga Rentan KDRT

UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan  Kekerasan Dalam Rumah Tangga. PRT merupakan salah satu subyek hukum dari UU PKDRT karena rumah tangga. Sebagaimana disebut dalam UU PKDRT adalah semua orang yang berada dalam rumah tersebut, bisa ayah, ibu, anak, nenek, dan orang-orang yang berada di dalam rumah, termasuk PRT.

Namun undang-undang tersebut, tidak menjamin hak-hak pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang bekerja di wilayah rumah tangga/ domestik. Kondisi ini jelas memberi ruang bagi pelanggaran hak-hak pekerja rumah tangga dalam kondisi kerja yang tersembunyi.

Baca Juga: Disiksa, Disiram Cabe dan Ditelanjangi: Kekerasan Pada PRT Terjadi Lagi

Berdasarkan data JALA PRT, penanganan kasus PRT terdapat 2641 kasus PRT tahun 2018-2023 yang mayoritas berupa kekerasan psikis, fisik dan ekonomi dalam situasi kerja, seperti kasus upah tidak dibayar (2 bulan sampai 11 bulan gaji tidak dibayar). Selain itu, dipecat atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja, pekerja rumah tangga tidak dapat mengklaim jaminan kesehatan ketika sakit, tidak ada kenaikan upah meskipun telah bekerja bertahun-tahun (lebih dari 2 tahun), tidak ada pesangon yang terjadi di dalam rumah.

Lita Anggraini, Koordinator JALA PRT menyatakan bahwa publik dan aparat hukum, juga masih sering mengecualikan dari berbagai bentuk kekerasan pelanggaran UU PKDRT sebagaimana yang dialami oleh PRT. Kurang terbangun kesadaran masyarakat atas kekerasan terhadap PRT sebagai bagian pelanggaran dan terjadi pembiaran.

“Dari proses hukum, hanya 15% yang mendapat hukuman sesuai dengan UU Penghapusan KDRT, selebihnya pelaku mendapat hukuman ringan atau bebas,” kata Lita Anggraini.

Penanganan Kasus KDRT Masih Menemui Banyak Hambatan

Sepanjang tahun 2022, Siti Mazuma dari Forum Pengada Layanan menyebut, bahwa mereka telah melakukan pendampingan kasus KDRT dengan kategori kasus paling tinggi adalah kekerasan psikis sebanyak 1.248 kasus. Selanjutnya, kekerasan fisik sebanyak 559 kasus, penelantaran sebanyak 526 kasus, dan kekerasan seksual sebanyak 855 kasus. 

“Hambatan implementasi UU Penghapusan KDRT dari tahun 2004 hingga saat ini masih sama yaitu persoalan perlunya perkawinan yang dicatatkan sebagai salah satu syarat UU ini bisa diterapkan. UU Penghapusan KDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maupun di Catatan Sipil.”

Baca Juga: Riset Jakarta Feminist: Perempuan Paling Banyak Jadi Korban Femisida di Rumah

Persoalan selanjutnya adalah kurangnya kebijakan operasional dalam UU sehingga pada saat ini masih terdapat perbedaan tafsir pada aparat penegak hukum mengenai kasus penelantaraan rumah tangga dan perintah pelindungan yang susah sekali didapatkan oleh korban. 

Proses pembuktian juga tak kalah pelik. Keharusan untuk adanya 1 orang saksi ditambah dengan 1 alat bukti masih menjadi kendala dalam pembuktian kasus KDRT di tingkat kepolisian. Selain itu, kriminalisasi korban juga masih terjadi, dimana ketika istri dilaporkan proses hukumnya selalu lebih cepat dibandingkan ketika dia melapor sebagai korban. 

Pentingnya Media dan Media Sosial Menjadi Bagian dari Perjuangan Stop KDRT

Media mempunyai peran penting dan signifikan dalam mengajak publik dan mendorong perubahan kebijakan secara cepat. Sejak diundangkannya UU PKDRT, media turut mendorong pelaksanaan dengan menuliskan suara-suara korban. Demikian juga dengan media sosial yang bisa menjadi salah satu rujukan untuk suara korban. Tulisan tentang suara korban ini menjadi magnitude penting agar korban yang dulu tidak berani bersuara, jadi berani bersuara. 

Namun Salsabila dari Konde.co juga menyebut bahwa pemetaan yang dilakukan Konde.co menggarisbawahi pentingnya literasi bagi publik dan media agar mendukung korban untuk bersuara, tidak melakukan penghakiman bagi korban dan tidak menjadikan korban jadi terpojok di media sosial.

“Literasi media menjadi kata kunci agar media dan publik secara konsisten menyuarakan suara korban, tidak melakukan sensasionalisme yang menjadikan korban takut dan berhenti untuk bersuara. Karena kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi lebih-lebih pada korban, menjadi bagian penting dari perjuangan untuk stop KDRT.”  

19 Tahun: Alarm Bagi Pemerintah untuk Bersungguh-sungguh Mengimplementasikan UU PKDRT

Kesulitan dan hambatan yang dialami korban dalam 19 tahun perjalanan UU Penghapusan KDRT ini adalah alarm bagi pemerintah. Penanganan korban masih terkendala dengan minimnya pemahaman Aparat Penegak Hukum (APH) tentang KDRT dan budaya hukum yang belum sensitif gender. Mengakibatkan terhentinya proses hukum dan penyelesaian kasus yang belum berorientasi pada pemenuhan hak korban.

Minimnya dukungan dari keluarga, tempat kerja dan lingkungan terdekat membuat korban sendirian menanggung kasusnya. Menjadi semakin terbebani dengan stigma sosial sehingga tak jarang yang kemudian mencabut laporan

Maka dari itu, Vivi Widyawati menyatakan tentang penting untuk pemerintah melakukan sosialisasi dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang KDRT dan UU tentang Pencegahan KDRT. Sebab, lemahnya pengetahuan masyarakat akan hal ini menjadi 103 hambatan untuk mencegah dan melindungi korban.

Baca Juga: LBH APIK: Dari 200 Korban KDRT, Hanya 4 Yang Berani Lapor Polisi

“Selain itu, perlu juga untuk mengintegrasikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementrian Kesehatan, Kemenkum Hukum dan HAM, Kepolisian, dan Rumah Sakit dalam satu jaringan kerja untuk pencegahan dan perlindungan.”

Aparat penegak hukum juga harus memastikan mulai dari struktur yang paling bawah untuk menggunakan UU tentang Pencegahan KDRT dalam menangasi kasus-kasus KDRT. Juga memasukkan KDRT dalam skema perlindungan buruh perempuan dan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

RUU PPRT juga harus segera disahkan agar PRT bisa mendapatkan perlindungan yang menyeluruh. Berbagai pihak seperti publik dan media juga penting untuk melakukan sosialisasi stop penghapusan KDRT karena mengancam hidup perempuan.  

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!