Tidak Apa-Apa Make Up Luntur, Asal Keadilan Tidak Luntur

“Gapapa Make-up ku Luntur, Asal Bukan Keadilan yang Luntur”

*Nunu Pradya Lestari- www.Konde.co

Kalimat yang tertulis di poster salah satu peserta aksi mahasiswa di Jakarta ini, mendadak viral. Terkesan jenaka dan kemudian menjadi banyak pembicaraan.

Para mahasiswa dari berbagai kampus tersebut mengekspresikan poster-poster tersebut dalam aksi mahasiswa 23-24 September 2019 untuk menunjukkan betapa gentingnya situasi Indonesia. Seketika banyak media massa yang menyoroti kreatifitas aksi mahasiswa dalam momentum demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi di aksi itu

Dilansir dari kompas.com, Sosiolog dari Universitas Airlangga, Novri Susan menilai, cara yang digunakan untuk menyuarakan aspirasi para mahasiswa milenial ini adalah wujud dari humor politik sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan yang menyimpang. Gaya humor politik diaplikasikan dalam poster-poster dengan bahasa nyentrik, untuk membangun jaringan sosial dan solidaritas di antara kalangan sendiri (milenial). Karena bahasa paling dekat dengan generasi milenial adalah penggunaan konsep humor.

Kedua, memberi tekanan terhadap elite-elite politik sebagai identitas milenial yang lebih inklusif. Ciri khas penyampaian pesan kritik ala milenial biasanya ringan namun sarkastik, berbeda dengan generasi aktifis 1998 yang cenderung memakai bahasa yang tajam dan keras.

Jika mengutip pernyataan Novri Susan, poster yang memuat tema kosmetik bisa jadi tak sekedar ekspresi spontan dari para mahasiswi yang tergelitik untuk ikut demonstrasi. Namun tersirat pesan ajakan solidaritas yang tujuannya menjangkau kalangan mahasiswi atau perempuan untuk turut memperjuangkan keadilan. Karena memang kosmetik dianggap identik terhadap identitas perempuan.

Poster menggelitik lainnya yang kita temui bertuliskan:

“Pak, skincare ku mahal, dipake panas-panasan. Tapi nggak apa-apa. Soalnya NKRI lebih mahal harganya”

Terlepas dari konteks stigma kecantikan dan industri kosmetik, pesan yang tertulis dalam poster itu cukup mudah dicerna masyarakat era sekarang. Gaya nyentrik itulah yang menjadi ciri khas milenial, generasi yang lahir pada saat internet sudah diperkenalkan. Milennial juga dikenal memiliki generasi yang ekspresif, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, self–expressive, dinamis, super–connected, dan terbuka untuk perubahan, termasuk perubahan sosial politik.

Dalam merespon perlawanan luas terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan rencana pengesahan RUU KUHP, kaum milenial perempuan tak hanya aktif melakukan kritik via media sosial. Mereka secara terorganisir bersama-sama barisan mahasiswa yang lain melakukan protes besar-besaran di berbagai kota. Fenomena tersebut cukup untuk membantah stigma lama : perempuan pasif terhadap isu-isu politik. Atau sekedar membantah argumen seksis yang menyebut perempuan takut ikut demonstrasi dan kurang militan mengkritik kekuasaan. Aksi para mahasiswi milenial menolak pengesahan RUU KUHP dan pelemahan KPK, mampu memberi warna lain.

Memang bukan hal yang baru, karena sebelumnya publik sudah melihat sendiri momen aksi-aksi militan yang dipelopori oleh perempuan, dari aksi ibu-ibu petani Kendeng, aksi sejumlah aktivis perempuan di Hari Perempuan hingga aksi militan buruh perempuan dalam setiap peringatan Mayday. Namun secara pasti, kesadaran politik perempuan muda yang terpupuk karena gejolak sosial politik terus berkembang dan datang dari berbagai isu.

Hal ini menjadi signal yang baik, karena sejatinya partisipasi politik perempuan semakin bertumbuh. Partisipasi perempuan dalam politik tidak selalu harus diidentikkan dengan jabatan atau posisi dalam pemerintahan atau parlemen.

Partisipasi perempuan dapat dilakukan dalam posisinya sebagai rakyat dengan kesadaran politik penuh. Sebagai langkah awal dari fungsi perempuan sebagai warga negara adalah keterlibatan mereka dalam pemilihan umum maupun terlibat dalam aksi-aksi yang melakukan kritik pada kekuasaan.

(Ilustrasi: Anggun Maulina/ IG:@njuneiy)

*Nunu Pradya Lestari, penulis dan aktivis buruh. Senang mencermati media termasuk poster-poster kekinian. Sedang menyelesaikan kuliah akhir di IISIP Jakarta

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!