Gangguan mental

Ayah Meninggalkan Ibu dan Kami Semua, Bikin Gangguan Mental dan Trauma yang Sulit Hilang

Aya tak pernah menyangka jika ia akan terkena gangguan mental ketika ayahnya menikah lagi secara tiba-tiba. Ayah meninggalkan keluarga mereka begitu saja.

Peringatan pemicu: tindakan menyakiti diri sendiri (self harm)

Aya (20) adalah seorang mahasiswi di perguruan tinggi swasta. Ia bercerita, saat tahun pertama di SMA ia sempat mengecek dua kali perihal kesehatan mentalnya kepada psikolog dan psikiater. 

Kala kontrol bersama psikolognya, ia langsung diberi tahu bahwa ia mengidap PTSD, Bipolar Disorder, dan Anxiety Disorder

Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah kondisi kesejahteraan mental diri yang memampukan seseorang untuk mengelola, mengatasi, dan mengatur tatanan kehidupan dan menyadari kemampuan diri sendiri serta memiliki kemampuan untuk belajar dan bekerja. Oleh sebab itu, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Itu sangat memengaruhi bagaimana suatu individu atau masyarakat umum untuk membuat keputusan dan membuat relasi satu sama lain. 

Sebelum memutuskan untuk pergi ke psikolog dan psikiater, saat kelas delapan, Aya sudah mulai merasakan banyak sekali trigger yang memicu timbulnya rasa mual-mual. Di antara tiga gangguan mental yang ia rasakan, PTSD adalah yang paling terasa di kehidupannya. Saat membicarakan hal-hal tertentu, ia merasakan trigger yang kemudian disusul muncul kembali memorinya yang sudah lama. Apabila hal tersebut berangsur dalam frekuensi yang sering, serta memupuk di dalam pikirannya, ia akan merasakan keringat dingin, mual, dan tidak bisa tidur.

“Bahkan lirik lagu pun bisa nge-trigger gue, kayak gue ngerasa (merasakan) sama si lirik lagu tertentu. Itu bisa nge-trigger gue kayak langsung mual dan keinget sama hal-hal sebelumnya yang gue usahain gue lupain,” ujar Aya pada Konde.co,  Kamis (28/03/24).

Baca Juga: Tips Berhenti Overthinking: Ubah, Terima, dan Lepaskan

PTSD adalah gangguan sindrom paska trauma yang kerap kali muncul sebagai dampak yang telah dialami seseorang di masa lalu. Gangguan-gangguannya bisa berupa mengingat kilas balik kejadian di masa lalu, teringat karakteristik yang mirip dengan kejadian di masa lalu, baik dari indra maupun non indra. Kemudian, Anxiety Disorder merupakan gangguan kecemasan yang berlebih dalam diri seseorang dan mengganggu kegiatan sehari-sehari. 

Lalu, Bipolar Disorder  gangguan bagi individu terhadap fase-fase kondisi perasaan yang ekstrem, di waktu yang bersamaan individu bisa merasa tidak bertenaga atau sedih kemudian bisa menjadi seseorang yang menyenangkan dengan pola yang konsisten, menurut definisi Gisella.

Munculnya PTSD dalam kehidupan Aya ini bermula saat ia ditinggalkan oleh ayah kandungnya kala berusia tiga tahun. Ayahnya pernah beberapa kali mengunjunginya saat ia berusia lima dan tujuh tahun untuk sekadar melihat wajahnya atau memberikan barang-barang kepadanya. 

Kisah ini bermula saat Aya masih kecil, ia adalah sosok yang sangat dekat dengan ayahnya. Ia sering bermain, pergi jalan-jalan, hingga ketika Aya sakit pun ia tidak ingin lepas dari ayahnya. 

Baca Juga: Bagaimana Menjaga Kewarasan Kerja di Tengah Bos yang Toksik?

Aya bercerita bahwa ingatan tentang ayahnya dipenuhi soal laut sebab kenangan mereka berdua banyak dihabiskan di laut. Pernah dalam satu minggu mereka berlibur hanya berdua saja ke kampung ayahnya yang berlokasi dekat dengan laut. Hingga pada akhirnya ayahnya meninggalkan keluarga mereka, tetapi Aya tidak mencari-cari sosok ayahnya sebab ia tahu bahwa ayahnya memang sengaja meninggalkannya.

“Terakhir dia (ayahnya) bilang, “kalau nilai kamu bagus, kita liburan ya. Udah. Tapi dia gak pernah dateng,”

Saat kelas delapan SMP, ketika bundanya sudah dalam kondisi emosional yang stabil. Di momen itulah bundanya mulai terbuka serta jujur kepada Aya apa yang sebenarnya terjadi. 

“Ternyata bokap gue itu gak pernah bilang sama istrinya yang sekarang (istri kedua) kalau dia itu punya anak. Dia bilang kalau gue sama adek gue itu cuma anak yang dia pulung. Dia bilang (kepada istri barunya) dia kasihan sama gue dan adek gue,” ucapnya.

Ketika bundanya mulai jujur kepada Aya mengenai hal tersebut, ia mulai benci dan merasa harus menghapus memori kenangan bersama ayahnya. Meski ia sangat menyukai momen bersama ayahnya. Tindakan ini berbuah menjadi ia mulai melupakan wajah ayahnya, tetapi tidak melupakan kenangan-kenangan indah bersama ayahnya. Hingga PTSD inipun muncul dalam diri Aya. 

Sampai ketika ia sedang episode (sebutan kambuh dalam bahasa psikologis) ia akan terbawa dalam ingatannya dan menjadi sosok dirinya pada saat masa kecil bersama ayahnya.

Baca Juga: ‘Aku Penyintas Depresi, Berkebun Bantuku Pulih’ Cerita Perempuan Inisiator Waras Berkebun 

PTSD dalam diri Aya ini membuatnya menjadi sosok yang sensitif dan memberikan gangguan-gangguan lainnya, yaitu Bipolar Disorder dan Anxiety Disorder.

Memasuki kelas sembilan SMP, ia merasakan ada kejanggalan dalam waktu yang bersamaan. Adanya perubahan mood secara drastis, ia bisa tiba-tiba merasa senang dan tiba-tiba tidak bertenaga. Dengan ini, ia merasa adanya anomali dalam dirinya, yaitu bipolar. Namun ia tidak langsung percaya begitu saja sebelum akhirnya ia berkonsultasi kepada psikolog. Psikolognya pernah menyampaikan kepadanya bahwa definisi bipolar adalah karena adanya gangguan kestabilan emosional di dalam dirinya.

“Tapi sebelumnya, gue merasa banyak omongan di dalam kepala gue, berisik,” ujarnya.

Dalam kukungan bipolar disorder ini ia sering merasa sangat bahagia tak terbendung. Tetapi dalam waktu yang bersamaan merasa sedih ingin menangis atau merasa sangat marah hingga ingin melukai orang.

Baca Juga: Alasan Orang Berselingkuh dan Cara Menghadapinya

Munculnya Anxiety Disorder yang Aya rasakan adalah pada saat duduk di bangku sekolah menengah. Ia pernah menaruh sepenuhnya harapan untuk mendapatkan feedback yang baik setelah Aya memperlakukan teman-temannya secara spesial.  

“Gue ngerasa cuma punya mereka, gue ngebela-belain segalanya buat mereka terus pas pisah gue baru sadar kalau mereka gak ngelakuin hal yang sama buat gue,” pungkasnya.

Di situasi tersebut, Aya merasa tidak adil dengan situasi ini dan hancur, hingga sampai di tahap sudah menyakiti diri. Alih-alih menggunakan senjata tajam, ia lebih memilih memecahkan kaca dan gelas hingga terbagi dalam beberapa kepingan. Kemudian ia mulai menciptakan goresan-goresan di lengannya. Ia rasanya ingin mati segera. Bahkan, ia rela membeli botol kaca untuk dipecahkan dan dijadikan alat goresan luka.

Hidup bersama penyakit kesehatan mental tidak mudah, banyak stigma-stigma buruk yang mengiringinya. Banyak percakapan penuh dalam kepalanya. 

Baca Juga: Dipilih Jadi Duta Kesehatan Mental, Sejumlah Anak Perempuan Diduga Malah Dieksploitasi

Menurut Psikolog dan Ahli Penyembuhan Trauma Gisella Tani Pratiwi pada Kamis (05/04/24), seseorang yang terdiagnosa atau memiliki kondisi khusus dalam kondisi mental karena perlu adanya penggolongan gangguan kesehatan mental atau gangguan kejiwaan. Hal ini untuk membantu penanganan guna lebih jelas ketika ingin diobati. Misal, jika dalam kesehatan fisik terdapat gejala flu kemudian dari gejala tersebut dapat disimpulkan oleh dokter penyakitnya adalah flu. Sama halnya seperti gangguan kesehatan mental psikolog dan psikiater akan menangani gejala-gejala yang dimiliki oleh individu kemudian diperiksa secara mendalam, kemudian digolongkan ke dalam diagnosa-diagnosa tertentu.

Membicarakan kesehatan mental tidak mudah, terkadang harus bertutur kata dengan hati-hati sebab takut menjadi trigger terhadap narasumber. Saya berkesempatan mewawancarai Aya, dan ia sangat terbuka dengan masalah kesehatan mentalnya. 

Satu jam lebih ia bercerita, melihat dari mimik wajahnya sepertinya ia sudah berangsur-angsur stabil, tetapi tidak dengan saya, terkadang saya meringis entah itu perasaan seorang feeler atau justru terkena trigger.

Trauma, Luka, dan Proses Penyembuhan

Kondisi ini benar-benar tidak menguntungkan dan tidak akan baik untuk keberlangsungan Aya kedepannya. 

Pada akhirnya, ia meminta izin kepada teman-temannya untuk “memisahkan diri” sementara demi memulihkan dirinya. Teman-temannya sempat menahan, mengatakan bahwa ini bisa dilalui bersama, tetapi Aya meyakinkan mereka bahwa untuk memulihkan rasa sakit ini semua, kuncinya adalah di dirinya sendiri dan berjanji jika berangsur membaik, ia akan kembali dan bermain bersama-sama.

Kejadian ini menimbulkan kecemasan atau anxiety yang berlebih di dalam dirinya. Ia merasa cemas dan takut kala berada di tengah keramaian. Terlebih, ia merasa takut dan tidak percaya diri untuk memulai dalam segala hal, yang padahal sebelumnya ia mulai.

Dari gangguan mental ini juga berbuah menjadi ia kurang terbuka dengan teman-temannya saat SMA. Meski teman-temannya ada untuk dirinya, tetapi Aya tetap tidak bisa terbuka. Dalam hubungan asmara pun ia seringkali menaruh rasa kurang percaya atau trust issue kepada lawannya.

“Jadi mental health itu lebih luas maknanya dari ketidakadaan gangguan kesehatan mental. Dengan kata lain, kalau kita bicara kesehatan mental, kita harus membicarakan juga secara seimbang mengenai kondisi yang disebut sehat mental dan yang disebut sebagai gangguan,” tutur Gisella.

Baca Juga: Kesepian Bisa Buat Kamu Stres, Kamu Butuh Teman dan Aktivitas

Menurut psikiater Aya, kondisinya perlu ditangani dengan serius, yaitu harus melalui tahap rawat jalan, yang berarti perlu adanya penanganan medis dan obat. Syarat untuk mendapatkan resep obat dari psikiater adalah adanya izin dari orang tua. Namun, pada saat itu Aya adalah seorang anak di bawah umur, kemudian ia jujur kepada ibunya tentang selama ini yang ia alami. Respons pertama yang diucap adalah: Aya kurang iman.

Stigma ini selalu saja melekat di setiap jiwa yang memiliki mental issues. Masyarakat menilai mereka yang memiliki penyakit mental sama dengan kurang dekat dengan Tuhan atau kurang iman. Padahal, munculnya gangguan pada kesehatan mental karena ada gangguan pada kejiwaan dan emosional dan  tidak ada hubungannya dengan besar kecilnya keimanan seseorang. Adapun stigma buruk dari gangguan kesehatan mental dengan dilabeli sebagai orang gila, stres, bahkan dibilang kurang iman justru membuat individu takut dan menghadang seseorang untuk menindaklanjuti urusan kesehatan mentalnya.

“Justru menambah beban kesulitan bagi individu tersebut karena kita mengetahui bahwa gangguan kesehatan mental adalah sesuatu yang bersifat klinis dan setara dengan gangguan kesehatan fisik,” jelas Gisella.

”Ada teman saya yang menganalogikan bahwa kalau ada seseorang yang mengalami PTSD itu dalam bidang medis sama kayak luka bakar level yang cukup tinggi, seperti level dua dan tiga,” sambung Gisella.

Baca Juga: Polusi Udara Sebabkan Kesehatan Mental Memburuk, Gejala Depresi Hingga Bunuh Diri

Pada dasarnya individu tidak ada yang menginginkan memiliki suatu gangguan mental tertentu dan itu pun bukan pilihan serta di luar kontrol mereka. 

Menurut Gisella terdapat dua cara untuk mengikis stigma buruk yang dihadapkan oleh individu yang memiliki gangguan kesehatan mental, yaitu datang untuk berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater, kemudian dari hal ini bisa digolongkan atau dirujuk kepada klinis atau bisa perlu penanganan awal saja. 

Kedua, hal ini bisa dilakukan secara mandiri, yaitu banyak memperkaya bacaan dengan membaca informasi yang kredibel dari sumber-sumber terpercaya guna bisa mengidentifikasikan kondisi diri sendiri.

Aqeela Ara

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang kini magang sebagai reporter di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!