Cerita di Hari Lebaran

Poedjiati Tan- www.konde.co

Waktu itu sore
hari. Ketika lebaran di hari pertama itulah, saya sengaja mengajak mama saya
keluar nonton bioskop di sebuah mall di Surabaya. Rupanya banyak warga Surabaya
yang tidak punya kampung halaman di desa, juga melakukan hal yang sama, yaitu
berlebaran di mall bersama keluarga. 

Saya adalah orang yang tak punya kampung
asal, maka kami sekeluarga selalu berlebaran di rumah kami. Tak pernah pergi ke
kota lain.

Ketika sedang menunggu masuk gedung theater itulah, saya sempat ngobrol dengan
3 orang perempuan, kakak beradik.Yang paling tua duduk di
samping saya, sedang adiknya nomer tiga yang menggunakan kruk duduk diantara
kedua kakaknya. Merekaakanmenonton film “Hari Sabtu bersama
Bapak”. Obrolan ini lama dan membuat saya terkesan dan banyak berpikir.

“Ini ceritanya sama dengan saya mbak!,” Kata ibu nomer tiga  yang menggunakan kruk penyangga kaki.

“Sabtu saya masih bersama suami, minggu sudah di tinggal pergi!,” Katanya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

Lalukakaknyayang duduk di sebelah saya mengatakan, “Adik saya ini korban tabrak mobil Lamborgini itu mbak, suaminya
meninggal di tempat dan dia kakinya menjadi cacat!

Dansayapun
jadi penasaran dengan cerita ibu di sebelah saya tadi, “Apakah si penabrak itu
juga menanggung biaya pendidikan anak-anaknya?.

Anaknya ada
berapa bu?,” Tanya saya ingin tahu.

“Anak ada lima, yang paling besar sudah 18 tahun dan baru lulus SMA, sedang
yang paling kecil umur 5 tahun! sekolah khan gratis mbak!,”Katanya

Kakaknya bercerita
lagi ketika adiknya berdiri dan
bergabung dengan anak-anaknya. “Kemarin itu dia dapat
lagi 100 juta dari keluarga yang nabrak dan minta tidak menuntut karena yang
nabrak itu bebas dari penjara! Saya sudah bilang untuk menolak, tapi adik saya
bilang, sudahlah mbak saya nggak mau urusannya jadi panjang, toh suami saya
tidak bisa kembali!,” Tutur kakaknya.

Hati sayapun bergejolak ada rasa kesal dan marah karena membayangkan nyawa dan
kehidupan seseorang yang hanya dihargai 225 juta yang mungkin akan habis tidak
lebih dari 10 tahun.

“Uang segitu khan bisa habis bu! Lalu bagaimana dengan kehidupan mereka
sehari-hari?,” Tanya saya.

“O, anak-anaknyasih dapat jatah makan dari dinas sosial kok, setiap hari mereka dapat
nasi beserta lauk pauk satu kotak, sampai mereka berumur 18 tahun, yang gede
nggak dapat jatah makan karena sudah umur 18 tahun!Tapi khan ya bosen ya mbak setiap hari makan nasi
kotakan! Ya gimana lagi mbak, wong adik saya sudah
ikhlas menerimanya, daripada nggak dapat apa-apa, setidaknya sekarang dia bisa
membahagiakan anak-anaknya!,”Katanya lagi.

“Adik ibu kerja apa?,” Tanya saya

“Dia itu dulu jualan kue cuncum sama suaminya,jualannya laris lho! Masuk di beberapa toko, sekarang
ya nggak jualan, nganggur di rumah aja!,” Jawabnya.

Ketika sedang memperhatikan ibu nomer
tiga sedang berfoto selfie dengan anak-anaknya. Sang kakak yang duduk di
sebalah saya melanjutkan ceritanya. “Saya
itu tinggal di kampung sebalah mall ini mbak! diKaliasin gang pompa.Kami nggak punya
kampung, makanya mudiknya di mall!Katanya sambil ketawa.

Saya tahu kalau KampungKaliasin gang pompa adalah kampung yang banyakpedagang penjual makanan dan tempat kost untuk para pegawai yang bekerja di
mall. Dan sebagian kampungnya perlahan
tapi pasti mulai tergusur oleh pembangunan pusat perbelanjaan, hotel dan
perkantoran.

“Tetangga sayasekarang ini yangpenduduk aslinyatinggal lima rumah mbak, yang lain rumah dan tanahnya sudah dibeli
oleh supermarket itu, sebagian sudah dibuat lahan parkir. Tapi ada juga yang
masih tanah kosong!.”

“Dibeli mahal ya bu?Tanya saya
menanggapi

“Satu meternya itu 5 juta! Ada tetangga saya, janda dengan tiga anak. Anaknya
tinggal di satu rumah semua dan membuka warung makanan. Trus rumahnya dibeli
perusahaan dan dapat uang banyak,bisa beli rumah tiga buat anak-anaknya, tapi di Sidoarjo dan
akhirnya hidup terpencar-pencar! Padahal dulu warungnyalaris lho mbak!
Sekarang ini jadi menganggur tidak bisa jualan karena daerahnya sepi! Dia dulu
punya uang sendiri sekarang harus tergantung sama anak-anaknya! Meskipun dia
merasa stress,tapi dia bilang yang penting anak-anaknya punya rumah
sendiri-sendiri. Banyak mbak yang rumahnya sudah dibeli sama perusahaan dan
harus pindah jauh dari Surabaya! Kalau saya nggak mau, ini rumah dari emak saya
dan mulai kecil tinggal disini! Terus tanah yang kosong itu mulai dibangun rumah-rumah
sama orang-orang dan jadi kumuh, padahal nggak ikut punya! Saya sudah terbiasa
hidup di kota, anak saya jadi SPG di mall ini juga begitu lulus SMA!.”

Cerita kami pun terhenti karena ada panggilan masuk ke dalam gedung theater.
Obrolan yang menyisahkan perasaan tersendiri buat saya.Bagaimana
kadang kemiskinan atau keterbatasan sering membuat orang harus mengambil
keputusan yang cepat, keputusan yang harus segera diambil agar keluarga bisa
disejahterakan.

Dan saya pun masih terus berpikir, bagaimana
kadang uang memegang kekuasaan dan membutakan hati nurani seseorang akan nasib
orang lain. Bagaimanapenabrakyang lalaibertanggung
jawab dengan pendidikan dari keluarga korban, dengan nasib dan masa depan anak-anak yang telah kehilangan Ayahnya. 

Tapi saya sadar, ibu itujuga pasti punya pertimbangan sendiri, adanya
ketakutan tidak mendapatkan apapun atau sepeserpun karena penabrak lebih
mempunyai uang, kekuasaan dan koneksi.  Dan dia sendiri harus menanggung
lima orang anak sendirian tanpa tahu bagaimana nasibnya esok hari tanpa uang
dan tanpa suami.Begitu juga dengan ibu pemilik tanah
yang harus rela tergusur, meninggalkan hiruk pikuk kota, menepi dipinggiran
demi anak-anaknya agar memiliki rumah masing-masing. Agar anak-anaknya dapat
membangun keluarga tanpa harus berbagi ruang dan berdesak-desakan dengan yang
lain. Rela mengorbankan dirinya tak berpenghasilan demi kebahagian
anak-anaknya.  

Perempuan-perempuan
tangguh yang lebih mementingkan anak-anaknya daripada dirinya sendiri. Meraih
apa yang bisa diraih sekarang tanpa berhitung tentang masa depannya sendiri. Pilihan yang
harus dijalani agar anak-anaknya bahagia.Saya jadi
ingat legenda kuno bahwa pada musim kelaparan, seekor
induk pelikan akan melukai dirinya sendiri agar bisa memberikan darahnya supaya
anak-anak pelikan tidak kelaparan. Konon, hal ini dilakukan tidak jarang sampai
si induk mati.

Foto : Koleksi Poedjiati

– Kaskus

– google map

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!