Luviana – www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Sepanjang tahun 2016, terdapat peningkatan pengaduan dari masyarakat tentang kekerasan terhadap perempuan. Di satu sisi ini melegakan karena perempuan berani untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Namun hal ini juga menjadi catatan bahwa kekerasan yang dialami perempuan tak pernah berhenti hingga kini karena jumlahnya yang selalu naik setiap tahun.
Catatan Tahunan LBH APIK yang dipaparkan pada Jumat, 10 Januari 2016 menyebutkan bahwa pada tahun 2014 terdapat sebanyak 709 kasus kekerasan terhadap perempuan, tahun 2015 sebanyak 573 kasus dan tahun 2016 sebanyak 854 kasus.
Ahmad Luthfi Firdaus, Staff Divisi Perubahan Hukum LBH Apik mengatakan bahwa peningkatan pengaduan selama kurun waktu 2014-2016 dapat dimaknai sebagai semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat untuk melaporkan kekerasan terhadap perempuan dan LBH APIK Jakarta dengan upaya memastikan proses hukum dapat memenuhi keadilan bagi perempuan korban.
Jumlah kasus yang masuk ke LBH APIK Jakarta dari tahun 2014-2016, yaitu:
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) 35,60% (304) kasus
2. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) 2,69% (23) kasus
3. Kekerasan Seksual (Perkosaan, Pelecehan Seksual) 3,28% (28) kasus
4. Pidana Umum (pencurian, penggelapan, penganiayaan, pembunuhan, pencemaran nama baik) 3,86%(33) kasus
5. Perdata Keluarga (waris, Hak Asuh Anak, Nafkah Anak pasca putus Cerai, Idah dan Mutah, serta harta bersama) 11,04% (98) kasus
6. Ketenagakerjaan (PHK) 0,70% (6) kasus , Perdata Umum (Wanprestasi, PMH, Hutang Piutang) 2,93%(25) kasus
7. Pelanggaran hak dasar 36,18%(309) kasus, lain-lain (diluar klasifikasi kasus APIK 24 kasus, trafiking 0,47% (4) kasus.
Refleksi Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan
Berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi perubahan hukum yang dilakukan LBH APIK Jakarta sepanjang 2016 dapat disimpulkan kondisi penegakan hukum belum membaik seperti yang diharapkan.
Hal ini ditunjukkan dengan masih meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan, meskipun disisi lain menunjukkan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasusnya membaik, dan pelanggaran terhadap hak-haknya yang mendasar termasuk belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan korban serta kelompok rentan lainnya seperti Pekerja Rumah Tangga.
Kebijakan yang positif seperti UU Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta tentang Perlindungan Perempuan dan Anak belum diterapkan sepenuhnya untuk kepentingan korban, sementara kebijakan lainnya masih kurang memadai untuk memberikan jaminan perlindungan dan bahkan diskriminatif seperti KUHP/RKUHP, dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Khususnya terkait UU Bantuan Hukum, masih banyak kendala dan hambatan dalam pelaksanaan maupun keterbatasan dalam UU yang harus diperbaiki.
Dengan situasi ini, Ahmad Luthfi Firdaus, staff divisi perubahan hukum menyatakan bahwa LBH APIK menuntut kepada pemerintah, DPR, Aparat Penegak Hukum serta pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan agar segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Revisi KUHP yang lebih berpihak pada kepentingan perempuan korban serta kelompok rentan dan marjinal lainnya.
Yang kedua, menghapus dan merevisi ketentuan yang diskriminatif dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP dan KUHAP serta produk aturan dan kebijakan lainnya yang masih melegitimasi pelanggaran HAM dan hak-hak dasar warga negara termasuk hak-hak perempuan dan anak.
Ketiga, menegakkan implementasi UU PKDRT, UU TPPO serta aturan dan kebijakan positif lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban.
Lalu, memberlakukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan anak termasuk layanan visum gratis dan rumah aman yang mudah diakses oleh korban dan memaksimalkan pemenuhan hak-hak korban sebagaimana yang sudah dijamin dalam Konstitusi maupun aturan perundang-undangan khususnya hak korban atas restitusi dan hak atas bantuan hukum.