Penggusuran di Pulau Rempang

Aktivis: Pembangunan Eco City Rempang Tak Berperspektif HAM

Pulau Rempang diwacanakan menjadi Eco City untuk investasi. Namun dampaknya, masyarakat adat bakal tergusur dari tanah yang telah mereka tempati sejak lama. Bentrokan juga mengakibatkan anak-anak sekolah terkena gas air mata dan trauma.

Bentrokan antara masyarakat dengan aparat terjadi di  Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (7/9). Warga menolak wacana relokasi perkampungan adat untuk pembangunan kawasan Rempang Eco City. Sedangkan pada hari itu, aparat keamanan TNI Angkatan Laut dan kepolisian memaksa masuk untuk memasang Patok Tata Batas dan Cipta Kondisi.

Aparat keamanan TNI Angkatan Laut dan Kepolisian dikerahkan untuk menggusur 16 Kampung Melayu Tua yang telah eksis sejak 1834. Bentrokan pun tak dapat terhindarkan. Akibatnya, paling tidak enam orang warga ditangkap, puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata.

Pulau Rempang menjadi salah satu kawasan yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan Pemerintah Republik Indonesia. Hal itu tercantum dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023. Proyek tersebut dinilai bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080. 

Wacana pembangunan Rempang Eco City sudah muncul sejak tahun 2004. Rencana itu diprakarsai oleh BP Batam bersama dengan PT. Makmur Elok Graha.

Baca Juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Tidak Begini
Kronologi Kejadian

Parid Ridwanuddin dari WALHI memaparkan kronologi kejadian bentrokan di Rempang Galang, Batam, dalam konferensi pers daring di Zoom merespon wacana penggusuran di Pulau Rempang, Kamis (7/9).

Menurutnya, pada hari itu pukul 09.51 waktu setempat, tim gabungan sudah berada di depan Jembatan 4 Barelang dan sudah bersiap untuk merangsek masuk. Di waktu bersamaan, warga Rempang juga sudah bersiaga.

Sekitar pukul 10.00, aparat menuju ke arah warga. Mereka bereaksi dengan melakukan penyiraman hingga menembakkan gas air mata. Tak lama kemudian, aparat terus mendekat sampai ke kawasan sekolah terdekat, yakni SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang. 

Di situasi itu, warga dan guru sudah meminta tidak ada penembakan gas air mata, sebab anak-anak sedang belajar di sekolah. Para siswa SD juga dievakuasi ke rumah-rumah warga di Tanjung Kertang. Pada momen itu, para orang tua siswa pun panik mencari anak-anak mereka.

Hingga pukul 11 siang, ada enam warga yang diamankan dan dibawa oleh petugas. Sementara itu, tim gabungan terus bergerak sampai ke bawah bukit sebelum Simpang Kampung Cate, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang.

“Sebenarnya, kejadian penggusuran di Pulau Batam ini terus berlanjut dalam dua bulan ini,” ungkap Akmaluddin Din dari Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga. 

Ia menambahkan, berbagai penggusuran atas nama investasi terjadi di Pulau Batam menggunakan aparat bersenjata.

Tommy Yanda dari Aliansi Pemuda Melayu Kepulauan Riau juga mengatakan, bentrokan yang terjadi di Pulau Rempang pada hari itu adalah puncak dari kekerasan yang dilakukan aparat dan pemerintah Batam terhadap masyarakat.

Warga dan solidaritas sudah melakukan berbagai aksi untuk menolak wacana relokasi masyarakat Rempang. Sebelum kerusuhan di Pulau Rempang terjadi, sejumlah tokoh masyarakat juga mendapat intimidasi dan ancaman dari aparat. Usai bentrokan di Pulau Rempang pada hari Kamis, demonstrasi yang dilakukan masyarakat di kantor BP Batam juga berakhir ricuh pada Senin (11/9).

Gas Air Mata di Sekolah, Anak-Anak dan Kelompok Rentan Jadi Korban

Bentrokan yang terjadi di Pulau Rempang akibat upaya penggusuran dari pemerintah juga berdampak pada anak-anak. Gas air mata ditembakkan ke arah sekolah yang sedang melakukan kegiatan belajar dan mengajar, sehingga para siswa harus segera dievakuasi. 

Dari beberapa video yang beredar di media sosial pun, tampak sejumlah siswa pingsan dan mengalami gangguan kesehatan akibat terpapar gas air mata.

Tommy Yanda menyebut, “Hari ini orang tua, pelajar, bahkan ada balita yang terdampak gas air mata dari kerusuhan yang terjadi.”

Akmaluddin pun menyatakan hal serupa. “Hari ini, anak-anak kami trauma. Mengapa harus masuk ke sekolah? Anak-anak banyak yang pingsan tadi, dan saya di lokasi. Ibu-ibu pun, tanpa ada belas kasihan. Zaman Belanda saja tidak seperti hari ini,” sesal Akmaluddin.

Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi dan Guru di Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memaparkan, mereka mendapatkan laporan mengenai masuknya gas air mata ke area sekolah dari guru-guru di jaringan P2G Batam.

“Anak-anak jelas tidak akan bisa belajar. Mereka berteriak, menangis,” jelas Iman. 

Baca Juga: Isu Perubahan Iklim Itu Bukan Cuma Mengganti Sedotan Plastik Dan Tas Belanja

“Guru-gurunya pun panik. Ada yang bercerita kepada kami, mereka juga berusaha pura-pura tegar, padahal mereka juga takut dengan situasi yang sangat mencekam,” lanjutnya.

Padahal, menurut Iman, baru pada Agustus 2023 ini Kemenristek RI mengeluarkan Permendikbud nomor 43 tahun 2023 tentang pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah. Sedangkan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di kawasan sekolah di Rempang sudah mencakup kekerasan fisik, non-fisik, hingga verbal yang menyebabkan trauma pada anak-anak dan tenaga pengajar.

P2G sangat mengecam pendekatan kekerasan yang dilakukan aparat di Pulau Rempang. “Harusnya sekolah tidak menjadi ladang perang-perangan seperti ini,” Iman menekankan.

“Pembelajaran tetap berlangsung. Dan kalau memang ada soal relokasi, harus diperhatikan bahwa anak-anak yang belajar—terutama anak-anak yang masih berada di tingkat Sekolah Dasar—anak-anak ini sangat rentan sekali terhadap kekerasan seperti ini. Akan menjadi trauma berkepanjangan.”

Zainal Arifin dari YLBHI menilai, rezim pemerintahan saat ini sama saja dengan Orde Baru. Pendekatan kekerasan terjadi atas nama pembangunan, tidak hanya di Rempang, tetapi juga di titik-titik konflik PSN lainnya di seluruh penjuru Indonesia.

“Polisi tidak lagi menjadi pengayom masyarakat. Mereka menjadi centeng-centeng perusahaan. Garda terdepan yang bertindak seperti preman, melakukan penganiayaan sedemikian rupa terhadap masyarakat. Bahkan tidak pandang bulu, tidak melihat perempuan atau anak-anak, kekerasan tetap dilakukan,” ujar Zainal.

“Saya rasa menyayat hati, melihat anak-anak di sekolah tertembak gas air mata dan terluka,” lanjutnya.

“Saya nggak tahu, Presiden dan Kapolri masih punya aspek kemanusiaan, nggak? Melihat anak kecil, dari kecil dia harus melihat tembakan gas air mata, lalu melihat keluarganya, orangtuanya dipukuli.” 

Menurut Peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, penggusuran di Pulau Rempang membuktikan bahwa pembangunan PSN masih jauh dari perspektif HAM. Pemerintah menghindari tanggung jawab pemenuhan hak masyarakat atas tanah, air, dan sebagainya. Alih-alih, mereka melakukan represi terhadap masyarakat yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi alat-alat pertahanan dan keamanan.

Baca Juga: Mendapat Predikat Kota Peduli HAM, Mengapa Pemkot Bandung Tetap Lakukan Penggusuran Paksa?

“Selama ketika kita membahas tentang pembangunan—proyek strategis nasional—ini hanya menggunakan narasi tunggal tentang investasi, tentang nilai ekonomi, maka tentu pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM dan warga yang tinggal di dalamnya itu akan terus terjadi dalam setiap pembangunan PSN, di mana pun itu,” kata Annisa.

Ia juga mempertanyakan urgensi penggunaan gas air mata oleh aparat di Pulau Rempang. Sebab, ada regulasi bahwa penggunaan gas air mata hanya dapat dilakukan ketika situasi sudah tidak terkendali dan berpotensi akan mengakibatkan luka berat dan kerugian bagi warga sekitar. Lebih parah lagi, di Rempang, gas air mata masuk ke area sekolah.

“Ini bukan ancaman militer dari luar. Tidak seharusnya aparat menggunakan pendekatan… Dari awal mereka sudah bawa senjata, sudah bawa gas air mata yang siap untuk digunakan.”

Penggunaan gas air mata tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan orang berusia lanjut. 

“Padahal, ketika kita bicara soal itu di sekolah, di permukiman, ada kelompok-kelompok rentan di dalamnya. Ada anak-anak, ada perempuan, ada kelompok usia lanjut.”

“Kita harus sadar bahwa ketika terjadi kekerasan, aparat masuk dan menggunakan gas air mata, mereka yang masuk ke dalam kelompok rentan pastinya akan berada di situasi yang sangat berbahaya. Karena mereka punya lapisan kerentanan yang lebih banyak,” lanjut Annisa.

Wacana Pembangunan Minim Pelibatan Masyarakat

Penggusuran di Pulau Rempang juga akan sangat berdampak bagi masyarakat adat Melayu di sana.

“Mereka terlebih dahulu eksis, mereka terlebih dahulu hadir di pulau tersebut, sejak 1834. Itu lebih dari 100 tahun sebelum proklamasi dan negara ini didirikan. Kebaikan apa lagi yang kurang dilakukan masyarakat adat Melayu, masyarakat pesisir?” ujar Even Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau.

Even juga menegaskan, masyarakat adat Melayu sudah memberikan bahasa Melayu untuk digunakan negara dan tanah Pulau Batam untuk pembangunan. Namun, kini pemerintah justru berencana memperluas okupasi lahan. 

Selain itu, menurut Even, Presiden RI mengacaukan sistem hukum di Indonesia dengan adanya Program Strategis Nasional (PSN). Sebab, Pulau Rempang termasuk kategori pulau kecil, yang seharusnya tidak dapat digunakan untuk pembangunan industri yang besar. 

Sebelumnya Bupati Batam, Muhammad Rudi, menyebut dalam siaran pers bahwa ia sudah mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung pembangunan Rempang. Ia juga mengklaim beberapa tokoh, yang sebelumnya menentang pembangunan tersebut, kini bergabung dengan mereka.

“Sekarang pertanyaannya, tokoh itu tinggal di Rempang atau nggak?” Even menegaskan. “Yang ditanya itu seharusnya masyarakat adatnya, bukan tokohnya.”

Ironisnya, dalam pertemuan KTT ASEAN di Jakarta pada 5-7 September 2023, Presiden Joko Widodo mengusung konsep Blue Economy atau Ekonomi Biru untuk dijalankan oleh negara-negara ASEAN yang memiliki wilayah kelautan.

Parid Ridwanuddin dari WALHI menganggap hal tersebut kontras dengan situasi yang terjadi di Rempang. Sebab, menurutnya, konsep Ekonomi Biru adalah cara baru untuk mengeksploitasi lingkungan, dengan mengusir masyarakat dari ruang hidupnya.

Menghentikan Penggusuran di Pulau Rempang

“Ada kekeliruan negara dalam mengambil keputusan terhadap masyarakat Pulau Rempang hari ini,” ujar Direktur WALHI Nasional, Zenzi Suhadi.

WALHI dan sejumlah pihak lainnya meminta polisi untuk menarik personilnya dari wilayah Pulau Rempang. Selain itu, menurut Zenzi, mereka juga mengutuk tindakan kepolisian yang menyerbu masyarakat Pulau Rempang. “Ini melanggar hak asasi manusia dan telah mengakibatkan korban secara fisik maupun psikis. Terhadap perempuan, anak-anak, dan orang dewasa,” ujarnya.

Zenzi menyebut, Badan Pengembangan (BP) Batam adalah ‘warisan’ kepemimpinan Presiden Soeharto yang melanggar UU Pokok Agraria. Persoalan lainnya, setelah Reformasi 1998, ada ketentuan kehutanan dan tata ruang yang seharusnya diperhatikan oleh negara. BP Batam dinilai tidak mempertimbangkan hal tersebut dalam perancangan pengembangan Batam dan kepulauan di sekitarnya.

“Presiden tidak boleh memerintahkan pembantunya untuk melakukan perlawanan atau pertentangan terhadap undang-undang,” tegas Zenzi.

Lebih dari 7.000 masyarakat Rempang akan terdampak penggusuran akibat proyek BP Batam. “Masyarakat di Pulau Rempang adalah yang berhak secara konstitusional terhadap ruang di Pulau Rempang. Terhadap air, tanah, dan udara di sana. Negara harus menghormati dan melindungi mereka.”

Tambah Zenzi, jika memang pemerintah memiliki rencana pembangunan strategis di Pulau Rempang, mestinya masyarakat turut dilibatkan dalam perbincangan mengenai hal tersebut. Hak masyarakat harus menjadi bagian dalam target pembangunan tersebut.

Baca Juga: Perempuan, Sebuah Pertanyaan soal Penggusuran atas Pembangunan Bandara di Yogyakarta

Sedangkan menurut Even, Presiden Joko Widodo mesti mencoret Pulau Rempang, yang merupakan pulau kecil, dari daftar Program Strategis Nasional (PSN).

Ia menyebut, sebetulnya masyarakat Pulau Rempang sejak awal tidak menolak investasi di sana. Masyarakat hanya meminta adanya lahan yang dilepaskan untuk 16 kampung yang terdiri dari sekitar 20 ribu warga.

“Mereka tidak menolak investasi. Mereka hanya menolak direlokasi dan digusur,” kata Even.

Hal itu diamini oleh Akmaluddin Din. “Kami dari masyarakat Melayu ini tidak menolak kemajuan, tidak menolak industri,” tegasnya. “Buktinya, sudah terjadi kemajuan Batam karena ada industri.”

Namun, ia menyayangkan, masyarakat tidak dilibatkan dalam pengkajian tentang wacana relokasi Rempang. “Yang kita sayangkan, yang dipanggil itu tokoh apa? Apakah tinggal di Rempang Galang sana? Ini kan, kita belum jelas. Pemuda-pemudanya juga harus dilibatkan,” ujarnya.

Akmaluddin berharap, adat istiadat dan budaya masyarakat Rempang tidak dimusnahkan demi pembangunan industri. 

Sementara itu, Iman mengatakan, P2G juga meminta penggusuran di Rempang dihentikan. Kalaupun memang ada relokasi, mesti ada pertimbangan bahwa pembelajaran harus tetap dapat berlangsung. Selain itu, perpindahan lokasi juga tidak akan mudah karena adanya perbedaan kondisi geografis dan lain sebagainya. 

“Ini sangat merugikan pendidikan kita, baik hari ini maupun ke depan. Karena dampak traumatiknya pasti tidak akan bisa dilupakan oleh guru-guru dan juga murid kita,” kata Iman.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!