Kustiah dan Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Lincoln Dalberg adalah seorang tokoh yang banyak membahas demokrasi digital atau e- demokrasi.
Ia mengatakan bahwa ada 4 posisi demokrasi digital. Hal ini ditandai dengan adanya demokrasi digital dimana pemerintah menyediakan situs digital untuk dikunjungi warga. Hal lain, media digital yang bisa digunakan untuk merealisasikan demokrasi karena dianggap mudah dan murah, dan juga bisa membentuk suara marjinal dan pengorganisiran kolektif melalui internet.
Lincoln menyebut soal Liberal-individualist : Demokrasi digital Liberal-individualist dipahami sebagai media digital yang menawarkan penyebaran informasi yang efektif antara individu dengan wakil-wakil mereka dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, demokrasi digital liberal-individualist telah diperkuat dengan inisiatif pemerintah lokal dan pusat untuk menyediakan situs-situs yang mungkin dikunjungi oleh individu dalam rangka agregasi kepentingan dan lain-lain.
Ia juga menyebut makna lain seperti Deliberative democracy bertumpu pada konsensus yang dikonstitusikan secara deliberatif. Konsensus ini diartikan sebagai rational public opinion yang mempunyai kriteria deliberatif seperti refleksitas, resiprositas, dan inclusiveness. Media digital secara umum dan internet secara khusus memungkinkan untuk mewujudkan konsep demokrasi tersebut. Komunikasi dua arah, biaya yang rendah, dan pengguna yang cenderung ramah memungkinkan untuk mewujudkan tukar pemikiran dalam media digital, debat yang rasional dan penyusunan opini publik.
Media digital juga turut serta dalam merealisasikan demokrasi yang deliberatif. Lalu Counter-public democracy lebih dipahami sebagai pembentukan kelompok-kelompok politik, aktivisme, dan kontestasi daripada pembentukan opini publik secara rasional. Dalam konsep ini, terdapat dua aliran yang akan bertentangan, yaitu mainstream dominan dan counter public. Demokrasi counter public melihat media digital mendukung kedua arus utama ini.
Di satu sisi, arus yang dominan bisa membentuk diskursus terhadap situasi sosial melalui media digital, di sisi lain counter public juga memanfaatkan media digital untuk menyuarakan suara-suara marginal, yang tidak termasuk di dalam lingkungan diskursus aliran dominan.
Digital media dapat memperkuat suara-suara alternatif dan termarjinalisasi dalam ajang kontestasi kekuasaan dan pembentukan diskursus Atau Utonomist Marxist, melihat jaringan-jaringan media komunikasi digital memungkinkan terbentuknya politik yang demokratis secara radikal, atau demokrasi radikal dalam upaya mengorganisir secara mandiri dan partisipasi yang inklusif dalam aktivitas-aktivitas produktif bersama yang sebelumnya dikuasai oleh kalangan kapitalis. Hal ini terlihat dari dematerialized sumber-sumber produksi dan distribusi, seperti software Linux, publisitas, dan musik melalui piracy.
Pertanyaan penting setelah ini yaitu: apakah benar media digital saat ini sudah digunakan sebagai alat hubung, sudah menjadi alat gerakan dan sudah melakukan makna deliberasi media?
Apakah jika warga mengadu di website pemerintah, lalu pemerintah sudah menjawabnya? Apakah semua warga sudah bisa berpartisipasi melalui internet, terorganisir oleh media digital dan bisa membentuk suara partisipasi warga?
Luviana, pengelola www.konde.co mencoba membahas ini dalam diskusi berjudul: Internet dan media alternatif untuk perempuan dalam diskusi 16 film festival di Art Society Kemang, Jakarta pada 2 Desember 2017. Diskusi ini digagas oleh www.Konde.co bersama 16 film festival, #Gerak Bersama dan Komnas Perempuan.
Luviana menyatakan bahwa hingga kini media alternatif perempuan masih berada dalam tahap mengajak orang untuk membaca, berkumpul, berdiskusi, memperdebatkan sesuatu. Hal lain yang dilakukan yaitu: mengadakan kelas-kelas menulis dan mengajak perempuan menulis. Kemudian juga terhubung dengan organisasi dan jaringan demokrasi lainnya untuk merespon persoalan. Hal ini selama ini banyak dilakukan oleh konde.co, namun Luviana melihat bahwa media alternatif perempuan bisa menjadi jembatan hubung pada pengambil kebijakan, walaupun belum banyak yang mencapai pada titik mengubah kebijakan perempuan.
“Walaupun perubahan kebijakan kecil selalu ada, misalnya jurnalisme warga desa yang bisa mengubah sedikit demi sedikit mengubah kebijakan desa, namun belum semua mampu melakukannya.”
Hal ini tentu disebabkan oleh banyak hal. Pertama, media alternatif harus hidup dengan mencari kemungkinan ekonomi dan memperbaiki manajemen, dan umumnya advokasi untuk mengubah kebijakan selalu membutuhkan nafas panjang. Dan di sisi lain, kita juga berhadapan dengan pengambil kebijakan yang menguasai ruang ekonomi politik yang kuat di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah semua kritik warga sudah terjawab di website pemerintah atau pengambil kebijakan?. Jika belum, lalu apakah media alternatif terutama media alternatif perempuan sudah bisa menjadi jembatan hubung untuk menyelesaikan persoalan perempuan?.
Tantangan inilah yang saat ini harus dihadapi media alternatif perempuan, yaitu mengajak perempuan membaca media alternatif dan memberikan perspektif berbeda, lalu mengajak perempuan berdebat, mengajak mereka menulis, dan kemudian mengajak untuk mengadvokasi melalui tulisan untuk mengubah kebijakan untuk perempuan.
“Bagi media alternatif perempuan, ini harus menjadi tantangan, mengajak perempuan untuk membaca, menulis, bergerak bersama untuk mengubah kebijakan,” kata Luviana.
Luviana menyatakan bahwa internet atau media merupakan alat. Namun dari alat ini kita bisa memperjuangkan ruang-ruang untuk perempuan.
Devi Asmarani, chief Editor Magdalene.co menyatakan bahwa perjuangan lain yang dilakukan media alternatif juga masih banyak, misalnya media alternatif harus menyoroti banyaknya perempuan yang digambarkan secara seksis di media. Selama ini banyak media mainstream yang menuliskan perempuan secara bombastis, sensasional. Maka perlu banyak media sebagai pembanding yang memberikan pengetahuan berbeda dari media mainstream.
“Maka perlu media alternatif yang kemudian berpikir soal jurnalisme advokasi. Jurnalisme seperti ini mengajak semua orang untuk berpikir berbeda.”
Yovantra Arief dari Remotivi mengatakan bahwa tidak mudah menjadi media alternatif karena banyak sekali tantangannya. Dan yang ada saat ini, justru sulit membedakan antara media alternatif dan media mainstream karena semua seperti sudah saling terhubung. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menjadi media yang memberikan pemikiran baru, tulisan mendalam yang menuntun orang pada pengetahuan baru.
(Foto 1: Pixabay.com)
(Foto 2: Diskusi Internet dan Media Alternatif Perempuan yang diadakan oleh www.Konde.co pada 2 Desember 2017/ Luviana)