Sejumlah aktivis perempuan sangat menyesalkan pilihan-pilihan Jokowi soal kabinet kementerian baru Indonesia Maju yang dinilai tak memprioritaskan penyelesaian persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) dan minim menteri perempuan. www.Konde.co melakukan wawancara pada sejumlah aktivis perempuan di Jakarta dan di daerah untuk menanggapi pemilihan menteri yang baru ini.
*Aprelia Amanda, Meera Malik dan Nunu Pradya Lestari- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Vivi Widyawati, aktivis Organisasi Perempuan Mahardhika sudah merasakan bau tak sedap pemerintahan Jokowi ketika Wiranto mulai masuk ke pemerintahan Jokowi di kabinet pertama Jokowi. Wiranto kala itu akhirnya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Maka di pemilihan 2019 kemarin, ia lalu menyatakan Golput atau tidak memilih dalam Pemilu. Vivi menyatakan bahwa memilih untuk tidak mencoblos juga merupakan pilihan politik.
Golput bukanlah jalan yang menurutnya gampang diambil waktu itu. Hal ini dilakukannya karena selama ini advokasi yang dilakukannya bersama aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) seperti menemukan jalan buntu.
Dan ketika melihat kabinet Jokowi hari ini dimana ada Prabowo masuk di dalam kabinet kementerian Jokowi, ia merasa bahwa Golput menjadi jalan terbaik yang pernah ia pilih kemarin.
Selama ini Vivi Widyawati bersama teman-temannya yang lain banyak memperjuangkan kembalinya aktivis-aktivis yang selama ini diculik selama masa orde baru. Vivi melihat pelik dan panjangnya perjuangan tersebut. Hingga sekarang banyak yang belum kembali.
Konde.co juga melakukan wawancara dengan sejumlah aktivis perempuan di Jakarta dan beberapa daerah tentang hal ini. Para aktivis perempuan lainnya juga merasakan kekecewaannya pada Jokowi. Kekecewaan ini ditunjukkan Vivi Widyawati tak hanya ketika masuknya Prabowo dalam tubuh kementerian Jokowi, namun juga banyaknya tentara yang mengambil dan memimpin kementerian strategis seperti Menteri Dalam Negeri, Kementerian agama.
“Sebenarnya pemilihan Prabowo ini bukanlah hal yang mengejutkan karena sebelumnya ada Wiranto pelanggar HAM. Dengan masuknya Prabowo, maka semakin membuktikan bahwa Jokowi tidak akan memprioritaskan persoalan HAM dan demokrasi dalam kabinetnya. Jangan berharap kasus pelanggaran HAM akan dibuka dalam 5 tahun ke depan. Karena ada banyak pelanggaran HAM dan tentara dalam kabinet jokowi,” ujar Vivi Widyawati.
Aktivis perempuan muda dari Feminis Pantura, Jawa Tengah Aistetia menyatakan bahwa tidak ada yang mengejutkan jika ada nama Prabowo sebagai menteri dalam situasi dimana di masa ini, rahim partai politik telah berselingkuh dengan para kapital.
“Hasilnya pasti akan melahirkan sesuatu yang bengis,” ujar Aistetia.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI), Nining Elitos melihat sebenarnya kalau dilihat nama kabinetnya saja, yaitu Kabinet Indonesia Maju seharusnya sesuai dengan apa yang kemudian dinamakan yaitu maju berpikir dan maju dalam tindakan. Tapi ternyata yang terjadi justru kontradiktif.
Dalam kabinet tersebut isinya justru menimbulkan kekuatiran. Persoalan mendasar rakyat hari ini, seperti persoalan HAM, kebebasan berekspresi, berpendapat, berkumpul akan semakin sempit.
“Jelas kontradiktif dalam kabinet yang baru ini, pasalnya presiden seharusnya mengangkat orang yang memang kredibilitasnya terjaga dan integritasnya cukup terjamin, tidak hanya bersih dari korupsi tapi juga bersih dari kasus HAM. Namun faktanya tidak demikian. Nampak sekali pemerintah sudah tidak lagi mengedepankan suara-suara rakyat tetapi mengedepankan politik transaksional, demi mengamankan kepentingan pemodal,” ujar Nining Elitos
Karena bagi Nining Elitos dan kelompok buruh di KASBI, siapapun yang menjadi menteri, ketika tidak mempunyai perspektif untuk rakyat tentu juga akan melahirkan regulasi kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat.
Ada pernyataan yang menyatakan bahwa masuknya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi karena Jokowi ingin mempersatukan partai-partai nasionalis. Namun Citra Hasan Nasution dari Sirkulasi Kreasi Perempuan (SIRKAM) Medan menampik hal ini. Ia justru melihat bahaya besarnya, masyarakat akan apatis dengan kondisi ini.
“Dengan sistem yang autopilot seperti ini masyarakat akan apatis, seandainya kemarin Prabowo menangpun, ada kemungkinan Jokowi akan menjadi menterinya.”
Di media sosial, sejumlah aktivis menyatakan bahwa ini merupakan pendidikan politik yang sangat buruk dimana dulu banyak orang mempercayai Jokowi dan tidak memilih yang lain. Namun ketika Prabowo masuk ke dalamnya, ini menjadi blunder bagi demokrasi.
Kabinet yang Minim Perempuan
Kekecewaan kedua adalah, Kabinet Indonesia Maju yang minim jumlah menteri perempuan. Dari 38 menteri, yang masuk di dalamnya hanya 5 perempuan atau hanya sekitar 13 persen saja. Jumlah ini lebih kecil dari kabinet sebelumnya yang jumlah menteri perempuannya ada 8 menteri.
Dulu 8 menteri tersebut antaralain, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Dan kini hanya 5 orang menteri perempuan antaralain Menteri luar negeri Retno LP Marsudi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perlindungan Perempuan dan Anak Gusti Ayu Bintang Darmavati, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar.
Padahal para aktivis perempuan sudah sangat lama memperjuangkan minimal 30 persen kuota perempuan dalam pemerintahan.
Jokowi dalam sejumlah pidato juga pernah menyatakan dukungannya soal ini. Misalnya, Vivi mencatat dalam pidato pencalonannya kembali menjadi presiden, Jokowi mengatakan akan memperhatikan struktur perempuan dalam kabinetnya.
“Dengan jumlah perempuan yang sangat minim, ini membuktikan bahwa Jokowi tak memprioritaskan perempuan.”
Tak bisa berharap dari Jokowi dalam bidang perempuan, ini kesimpulan dari Vivi. Padahal ada banyak perempuan yang memahami isu gender dan gerakan perempuan yang bisa , namun tak terpilih. Yang terpilih menjadi menteri perempuan justru yang belum terlihat track recordnya dalam memprioritaskan perjuangan perempuan.
“Bagaimana akan memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan fundamentalisme yang makin menguat dan mengorbankan perempuan jika jumlah perempuannya minim dan belum ada track record dalam memperjuangkan ini.”
Karena sejatinya secara umum yang harus dipilih menjadi menteri, haruslah orang yang selama ini sudah banyak bergelut disana, bukan orang baru yang masih belajar atau bukan orang lama yang mempunyai track record buruk soal kerja-kerja HAM.
Lely Zaelani, aktivis perempuan dari HAPSARI, Medan mengatakan dengan jumlah yang minimal ini bisa berarti Jokowi telah meninggalkan perempuan.
“Pak Jokowi menyatakan ini adalah kabinet Indonesia Maju, tetapi justru ini meninggalkan perempuan.”
Senada dengan Vivi Widyawati, Lely Zaelani juga menyayangkan pemilihan menteri yang belum terlihat dalam perjuangannya untuk perempuan.
Rasina Nasution dari LBH APIK Medan melihat bahwa penunjukan menteri perempuan seperti bagi-bagi kuasa saja antar partai, akhirnya banyak perempuan yang bisa menjadi alternatif memegang kementerian ini, tersingkir begitu saja. Walaupun tidak kaget, namun Rasina selalu melihat ini sebagai ironi.
“Seakan yang dibangun citranya cukuplah ketua DPR nya perempuan, tapi jatah kementerian jangan banyak-banyak. Pembagian menteri ini hanya membagi kursi partai saja.”
Citra Hasan Nasution dari Sirkulasi Kreasi Perempuan (SIRKAM) Medan menyatakan bahwa kita harus mengakui bahwa menteri perempuan yang dipilih Jokowi selama ini belum punya keberpihakan pada perempuan.
“Harus diakui bahwa memang tak ada yang benar-benar pro dan mau memperjuangkan perempuan.”
Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus mengatakan bahwa selama ini perspektif HAM perempuan memang belum banyak dikedepankan padahal perempuan ada di dalam berbagai lini kehidupan. Bukan berarti perempuan ingin diistimewakan tapi memang masih banyak diskriminasi yang dialami perempuan. Misalnya dalam wilayah konflik, perempuan sering kali diabaikan. Padahal dalam wilayah konflik banyak perempuan yang menjadi korban. Perlu mengedepankan dialog yang melibatkan perempuan.
“Perempuan perlu diajak dalam dialog karena perempuan juga punya pengalaman di dalam wilayah konflik dan sering kali juga menjadi korban. Kami berharap ada reformasi pertahanan berperspektif perempuan.”
Harapan Aktivis Perempuan
Walaupun Magdalena mengakui telah terjadi penurunan jumlah perempuan di dalam kabinet, dari periode sebelumnya yang berjumlah 8 orang menjadi 5 orang, namun Magdalena melihat, ini bukan berarti perempuan tidak diberikan ruang, tetapi menurut Magdalena hal ini mungkin karena ada pertimbangan khusus.
“Yang terpenting sebenarnya adalah adanya perspektif perempuan di dalam kabinet yang sudah terpilih. Kita tunggu progresnya 100 hari kedepan,” ujar Magdalena Sitorus.
Lely Zaelani juga berharap bahwa organisasi perempuan bisa segera bertemu dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang baru agar menyampaikan pandangan strategisnya. Menurutnya di tengah kekecewaan ini, masih penting untuk bertemu dan menyampaikan gagasan dan persoalan perempuan.
Vivi Widyawati mengingatkan, bahwa situasi ini tak pernah mudah karena akan menjadi tantangan yang makin besar dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia, begitu Vivi Widyawati.
(Foto: alinea.id)
*Aprelia Amanda, Meera Malik dan Nunu Pradya Lestari, pengelola www.Konde.co