Estu Fanani- wwww.konde.co
Jakarta, Konde.co- Jika kita mengunjungi beberapa kampung di Jakarta, di pedesaan di wilayah-wilayah Indonesia, kita akan melihat praktek program Posyandu. Ada sejumlah kegiatan yang dilakukan seperti menimbang bayi, mengetahui kesehatan status ibu hamil.
Namun pemetaan yang dilakukan Kalyanamitra menyebutkan bahwa praktek program Posyandu tidak mendapatkan dukungan maksimal dari pemerintah. Hasil ini merupakan pemetaan yang dilakukan Kalyanamitra selama melakukan audit gender terhadap layanan Posyandu di tiga wilayah dampingan di antaranya Kel. Cipinang Besar Utara, Jakarta Timur, Kel. Penjaringan, Jakarta Utara, dan Desa Banjaroya, Kec, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta terkait ketepatan kebijakan, program, dan anggaran Posyandu.
Sejak dicanangkan pada tahun 1986, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) menjadi garda terdepan dalam pemantauan dan peningkatan status gizi dan kesehatan ibu dan anak di masyarakat. Kebijakan dan program ini tetap dipertahankan hingga saat ini, hal ini terlihat dari banyaknya program Posyandu yang terjadi di Indonesia.
Namun organisasi perempuan Kalyanamitra melihat bahwa program ini tidak mendapat dukungan maksimal dari pemerintah.
Padahal pos pelayanan terpadu ini memiliki peran penting sebagai ujung tombak layanan kesehatan dan sosial dasar masyarakat untuk pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan tujuan ketiga dan kelima, terutama menyasar pada penurunan Angka Kemarian Ibu dan Bayi (AKI/AKB). Namun ternyata dukungan dari pemerintah sangatlah minim.
Saat ini Posyandu dituntut untuk melaksanakan sebanyak 15 Program yang mencakup 5 layanan kesehatan dasar dan 10 layanan sosial dasar yang dimandatkan pemerintah melalui Peraturan Dalam Negeri No. 19/2011 tentang Pedoman Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar di Pos Pelayanan Terpadu. Hampir semua instansi pemerintah (SKPD/Kementerian) menggunakan Posyandu sebagai sarana implementasi program-programnya dan menjadi sumber data kesehatan masyarakat tanpa disertai anggaran yang memadai.
Kader-kader Posyandu, yang mayoritas adalah perempuan ibu rumah tangga menjadi tenaga pelaksana di lapangan.
Direktur Kalyanamitra, Listyowati menyatakan bahwa selama ini para kader yang mayoritas ibu rumah tangga dituntut untuk menjalankan program pemerintah dengan keterbatasan anggaran, kapasitas, serta sarana dan prasarana. Namun pemerintah dalam kondisi ini juga memanfaatkan konsep swadaya masyarakat dan semangat kerelawanan kader Posyandu untuk mengalihkan tanggung jawabnya dalam pemenuhanan hak dasar warganya terkait bidang kesehatan ibu dan anak kepada Posyandu.
Karena tidak mendapatkan dukungan maksimal inilah, munculah permasalahan yang krusial. Pemetaan yang dilakukan Kalyanamitra menyebutkan bahwa kader Posyandu dibebani tuntutan untuk mengisi dokumen-dokumen dan laporan untuk kebutuhan data pemerintah yang sangat banyak dan rumit.
“Hasil laporan dan pendataan dari kader Posyandu tersebut digunakan oleh instansi pemerintah untuk kepentingannya masing-masing. Namun sayangnya tidak ada instansi pemerintah yang benar-benar bertanggung jawab atas kelembagaan Posyandu,” ungkap Listyowati.
Hal lainnya, yaitu adanya kebijakan tumpang tindih dan koordinasi antar instasi pemerintah yang lemah. Program ini kemudian justru menyulitkan perempuan dalam pelaksanaannya. Dalam pernyataan sikapnya Kalyanamitra menyebutkan temuan ini berdasar atas hasil audit layanan Posyandu.
Maka program yang seharusnya memberikan ruang pengelolaan untuk kesehatan perempuan dan anak ini sudah seharusnya dimaksimalkan oleh pemerintah.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)