*Fransisca Ria Susanti- www.Konde.co
Gagasan sebuah kewarganegaraan muncul dari Barat. Para teoritisi kontemporer menggambarkan gagasan ini sebagai “aspek kunci dari pemikiran politik Barat sejak pembentukan budaya politik Yunani klasik” dan “satu dari pusat pengorganisiran fitur dari wacana politik Barat” (Lister, 2003).
Sosiolog Inggris, T.H Marshall, mendefinisikan kewarganegaraan sebagai “status yang diberikan pada orang yang menjadi anggota penuh sebuah masyarakat. Semua yang memiliki status tersebut memiliki hak dan tugas yang sama dengan status yang dianugerahkan.”
Dalam konteks keanggotan ini, menurut Hall and Held, “politik kewarganegaraan dimulai.” Ini bukan hanya melibatkan tatanan hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan negara, tapi juga tatanan hubungan sosial antara individu dengan negara dan antarindividu warga negara. Dengan demikian relasi ini bisa dinegosiasikan dan, dengan demikian, cair (Stasiulis dan Bakan, 1997).
Sementara Adrian Oldfield (1990) mengonsepsikan dua pendekatan, yakni kewarganegaraan sebagai status vs kewarganegaraan sebagai praktik. Pendekatan pertama memprioritaskan hak warga negara sebagai individu, sedangkan pendekatan kedua pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Tetapi gagasan kewarganegaraan kerap dikritik terlalu individual dan anti-sosial karena doktrinnya tentang hak individu. Kewarganegaraan, dan komunitarianisme sebagai turunannya, berasal dari doktrin individualisme posesif dan kebebasan yang negatif. Mereka adalah akomodasi intelektual dengan kebutuhan untuk pengaturan sosial, tetapi pada intinya mereka tetap anti-sosial, baik dalam makna sosiologis maupun popular (Byrne, 2005).
Itulah mengapa upaya melihat kewarganegaraan sebagai sebuah proses dan bukan semata hasil menjadi penting dilakukan, mengombinasikan elemen dari dua tradisi sejarah kewarganegaraan, yakni tradisi republikan partisipatoris dan tradisi hak-hak sosial-liberal.
Ini adalah juga upaya untuk melihat bahwa warga negara bukan sekadar pemegang pasif dari hak, tapi juga aktif terlibat dengan lembaga politik dan kesejahteraan, baik sebagai individu maupun kelompok.
Dalam konteks perspektif feminis, menurut Lister (2003), pendekatan kewarganegaraan juga ingin dilihat apakah memberi kemungkinan posisi perempuan sebagai agen (perubahan) dibanding semata-mata sebagai korban dari diskriminasi dan opresi dari lembaga politik, ekonomi, maupun sosial yang didominasi laki-laki.
Dua Pendekatan Kewarganegaraan
Ada dua jenis pendekatan kewarganegaraan, yakni pendekatan hak dan pendekatan kewajiban. Pendekatan hak berasal dari tradisi politik liberal yang muncul pada abad ke-17 sebagai upaya negara berdaulat dalam menjamin kebebasan warganya. Negara memberikan hak sipil dan hak politik bagi warganya.
Sementara pendekatan kewarganegaraan sebagai kewajiban berakar pada tradisi republikan yang lebih tua dari era Yunani klasik dimana “partisipasi politik merupakan kewajiban warga negara dan ekspresi penuh warga negara sebagai mahluk politik yang mewakili esensi kewarganegaraan sebagaimana diartikulasikan oleh Aristoteles” (Lister, 2003).
Meskipun menurut Roche (1992), kewajiban kewarganegaraan saat ini ditafsirkan lebih luas sebagai “wacana tugas.” Wacana ini merefleksikan “pendekatan ketiga”, yakni komunitarian yang memiliki pertalian kuat dengan tradisi republik sipil, dengan asumsi dan kepedulian serupa yakni penolakan pada kewarganegaraan yang berbasis hak individu.
Pada pendekatan hak, menekankan pada hak sipil, politik, dan sosial. Menurut Marshall, hak sipil merupakan hak yang diperlukan bagi kebebasan individu, diantaranya hak kebebasan bicara, berpikir, dan berkeyakinan; hak memiliki kekayaan, dan hak atas keadilan. Sementara hak politik adalah hak berpartisipasi dalam aktivitas politik, termasuk hak dipilih maupun memilih dalam pemilu. Sedangkan hak sosial adalah hak untuk memperoleh kesejahteraan, baik sosial maupun ekonomi.
Khusus tentang hak sosial ini, kelompok neoliberal menolaknya karena “menyiratkan klaim atas sumber daya” (Lister, 2003). Kelompok neoliberal mengatakan bahwa hak sosial tidak bisa disamakan dengan hak sipil dan hak politik.
Namun penolakan neoliberal ini mendapatkan sejumlah sanggahan. Salah satunya adalah argumen bahwa hak sosial ini justru membantu mempromosikan penggunaan hak sipil dan politik yang efektif dari kelompok yang tidak diuntungkan secara kekuasaan maupun sumber daya.
Peran yang diberikan hak sosial adalah pada pengakuan bahwa otonomi tidak dapat dipahami hanya soal individualistik murni, tapi juga memiliki dimensi sosial (Lister, 2003).
Beberapa kelompok feminis melihat pentingnya hak sosial dalam memperlemah kekuasaan patriarkal dan dalam memperkuat posisi perempuan dalam kewarganegaraan politik.
Namun kelompok feminis radikal tetap melihat pendekatan hak sebagai ekspresi dari nilai dan kekuasaan laki-laki. Skeptisme mereka ini sama dengan kelompok kiri radikal yang menyoroti “gagalnya kewarganegaraan dalam lembaga demokrasi liberal dalam memenuhi kebutuhan perempuan dan kelompok rasial serta kelompok yang termarginalisasi secara sosial dan ekonomi” (Lister, 2003).
Yang menarik, dalam pendekatan hak, juga usulan atas hak reproduksi. Menurut David Held, hak reproduksi adalah kemungkinan yang sangat dasar dari partisipasi perempuan secara efektif dalam masyarakat sipil dan politik. Ia mengidentifikasikan tujuh gugus hak yang sesuai dengan kekuasaan, yakni kesehatan, sosial, budaya, sipil, ekonomi, pasifis, dan hak politik.
Perempuan Sebagai Agen Perubahan
Munculnya komunitarianisme—yang sering disebut sebagai kebangkitan republik sipil—merupakan reaksi melawan individualisme dari paradigma kewarganegaraan liberal yang telah mendominasi kehidupan politik kontemporer.
Beberapa kelompok feminis tertarik dengan gambaran republik sipil tentang kewarganegaraan sebagai partisipasi politik aktif dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan, serta potensi kolektif dalam ranah publik untuk mengartikulasikan kepentingan perempuan dan “kelompok minoritas” (Lister, 2003).
Model republik klasik menganjurkan bahwa semua warga negara harus terlibat secara langsung dalam pemerintahan masyarakat. Sementara kebanyakan perempuan mempraktikkan politik dalam tingkat lokal.
Lister (2003) melihat bahwa perempuan tetap bisa memainkan peran penting dalam ruang publik meski perempuan tetap menonjol di tingkat lokal karena ruang publik bukan hanya politik formal.
Ruang publik juga meliputi, apa yang disebut Jean Lecca, sebagai “waduk kewarganegaraan”: gabungan dari berbagai asosiasi sukarelawan dari masyarakat sipil
Jaringan masyarakat sipil ini bisa berkontribusi secara tidak langsung dalam pengambilan keputusan negara. Untuk kebanyakan perempuan, keterlibatan dalam organisasi komunitas atau gerakan sosial ini kerapkali lebih efektif dibanding bergabung dalam politik formal.
Gould mengatakan, “jika setiap manusia dihargai sebagai agen dengan kapasitas kebebasan memilih dan pengembangan diri”, tidak akan ada pijakan bagi satu jenis kelamin untuk memiliki hak lebih besar menggunakan kapasitasnya dibanding yang lain dan mendominasi satu kelompok dengan penyangkalan terhadap kondisi agen yang setara. Kebebasan penuh perempuan oleh karenanya terletak pada kemampuan mereka berpartisipasi dalam mengendalikan “kondisi ekonomi dan sosial hidup mereka, dan juga bebas dari diskriminasi dan dominasi” (Lister, 2003).
Ini menunjukkan panjangnya perjuangan para perempuan dalam politik kewarganegaraan. Perempuan harus berjuang dari tingkat lokal hingga politik di ruang publik yang lebih luas untuk mengoreksi politik kewarganegaraan yang maskulin dan dibangun dengan sistem patriarki.
*Fransisca Ria Susanti,jurnalis dan penulis
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Daftar Pustaka
Byrne, David. Social Exclusion. Second Edition. New York: Open University Press, 2005.
Lister, Ruth. Citizenship: Feminist Perspectives. Second Edition. New York: Palgrave Macmilan, 2003.