Perempuan berhak bahagia

Benarkah Perempuan Lebih Banyak Mikirin Orang Lain Dibanding Dirinya Sendiri? Untuk Perempuan Hebat, Kamu Layak Bahagia!

Sebagai seorang perempuan, kita lebih sering memikirkan apakah kita pantas untuk dia, ketimbang berpikir apakah ia juga pantas untuk kita? Padahal, kita para perempuan, adalah berlian yang berhak bahagia dan harus banyak berpikir soal pilihan kita.

Ini adalah kalimat afirmasi yang harus selalu aku berikan kepada diriku sendiri setiap harinya: mengingatkan diri sendiri bahwa aku berhak bahagia.

“Reka kamu kuat, kamu hebat, kamu cantik, kamu baik, kamu berharga, dan kamu berhak bahagia.”

Seperti itulah kira-kira kalimat yang selalu aku tancapkan dalam otakku tiap hari. Perjalanan mengenal diri sendiri memang bukan fase yang mudah. Tapi harus dijalani dengan baik supaya bisa mengambil langkah yang tepat untuk menjalankan hidup. 

Sudah dua puluh enam tahun lamanya aku hidup di dunia. Setelah aku melakukan refleksi dan melihat kilas balik hidupku, ada satu pertanyaan yang terlintas di benakku. Yaitu,“Mengapa Tuhan mempercayakan masalah hidup yang begitu sulit dan pelik kepadaku, bahkan sejak aku masih kecil?”

Aku tidak terlahir dari keluarga yang kaya dan bahagia. Ayahku meninggal ketika aku berumur dua belas tahun dan ia meninggalkan empat orang anak. 

Baca Juga: Cerita Frugal Living ala Claudya-Samuel, Hemat Bukan Berarti Nggak Bahagia

Semasa hidupnya, almarhum ayah bukanlah sosok yang penyayang. Kekerasan fisik dan verbal, merupakan hal yang biasa aku terima sehari-hari, dan ia tidak pernah hadir pada saat-saat penting. 

Bagi sebagian besar perempuan, ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuan. Tapi, tidak untukku. Ibuku, terpaksa menjadi orang tua tunggal sejak kepergian ayah. Saat itu pilihan yang Ibu punya hanyalah, “Anakku harus tumbuh dengan baik, kebutuhan mereka harus tercukupi dan mereka bisa sekolah dengan baik.”

Untuk Ibu hebatku Sinta Komala, terima kasih sudah berjuang dengan baik hingga saat ini.

Masa-masa yang sulit kualami ketika aku beranjak remaja, kehilangan sosok ayah dan absennya ibu karena harus menjadi pencari nafkah sekaligus mengurus rumah tangga, bukanlah perkara yang mudah. Menjadi sosok anak pertama perempuan, harus menjaga adik-adik dan menjadi contoh yang baik dan tidak punya pegangan hidup dan seseorang yang membimbingku, membuatku menjadi sosok yang sangat rapuh di dalam. Kurangnya kasih sayang dari orang tua, mengakibatkan aku dulu selalu mencari itu pada orang lain. Hingga pada akhirnya aku sadar, selama ini yang aku butuhkan adalah cinta dan kasih sayang dari Yang Maha Kuasa dan dari diriku sendiri.

Baca Juga: Kisah Indah dan Vega: Menjadi Janda dan Bahagia

Perjalanan hidup kemudian membawaku bertemu dengan banyak orang dengan kisah yang berbeda-beda. Belajar mendengarkan setiap keluh kesah mereka yang kebanyakan perempuan, membuatku sadar akan satu hal. Banyak perempuan yang berjuang untuk hidup dan keluar dari kesulitan, bahkan harus menjadi sangat keras dengan dunia dan dirinya sendiri, dalam urusan asmara selalu saja bertemu laki-laki payah dan tidak bertanggung jawab. Dan ternyata perempuan seperti kita ini adalah jiwa-jiwa yang sangat rapuh di dalam diri. Andai saja kita punya pilihan untuk hidup yang lebih mudah, pasti kita akan memilih jalan itu, bukan?

Saat perempuan tidak dibesarkan di keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang, apalagi ketika ia sejak kecil mendapatkan perlakuan kasar dari orang tuanya terutama Ayah. Ketika mereka dewasa kemungkinan untuk menjalani relasi romansa yang juga penuh kekerasan akan menjadi lebih besar. 

Baca Juga: Paparan Sinar Matahari Bisa Bikin Lebih Bahagia, Mengapa?

Kita terjebak pada pemikiran, “Hal seperti ini (kekerasan) sudah sering aku alami, masih bisa aku tolerir.” “Aku bisa mengubahnya.” Atau yang lebih buruk lagi, “Kalau kami sudah menikah, ia akan berubah.”

Kita bertumbuh dengan menganggap kekerasan adalah hal yang layak kita dapatkan dan seakan hal itu adalah sesuatu yang biasa. Tidak, hal seperti itu tidak layak lagi untuk kita dapatkan. 

Beberapa orang yang aku kenal, sangat sulit keluar dari hubungan toxic seperti itu terutama yang sudah menikah. Banyak yang beralasan bahwa, “Anakku masih butuh sosok ayahnya”, “Kalau aku berpisah, hidupku bagaimana nantinya?”

Sedangkan yang masih pacaran, respon yang paling sering aku dengar adalah, “Sudah terlanjur nyaman, hubungan ini telah berjalan lama, aku cinta padanya.”

Satu kesamaan dari perempuan-perempuan yang mengatakan ini adalah mereka sama sepertiku. Sering mengalami kekerasan sejak kecil. Sehingga alam bawah sadarnya menganggap jika kekerasan dan toxic relationship itu adalah hal yang layak untuk didapatkan dan mereka merasa pantas untuk menerima itu.

Selain kekerasan, hal umum yang pernah aku alami dan sering aku temui pada banyak perempuan adalah masalah terus-terusan ingin merasa dicintai oleh orang lain atau merasa tidak layak untuk dicintai. 

Baca Juga: Hapus Stigma Pada Kakek dan Nenekmu Yang Lansia, Mereka Harus Hidup Bahagia

Dahulu, karena aku tidak mendapatkan cinta dan kasih sayang dengan baik dari orang tuaku, aku merasa selalu harus mencari hal itu dari orang lain. Ketika aku melihat anak perempuan seusiaku mendapatkan itu dari orang tua dan lingkungan mereka, perasaan iri dan marah menguasai diriku. Sehingga aku terus-terusan berusaha untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang dengan cara yang salah, harus mengemis dan memohon agar aku juga dicintai orang lain. Sungguh ini sangat menyesakkan dan melelahkan. 

Banyak sekali diantara kita para perempuan yang harus memohon-mohon untuk dicintai atau berharap cinta mereka berbalas. Bahkan ada yang sampai memberikan uang, barang hingga dirinya kepada seseorang agar mereka tidak ditinggalkan. Sesuatu yang akan dipandang orang lain sebagai hal yang salah, namun dalam posisi perempuan yang pernah merasakan hal seperti itu, kenyataan pahitnya adalah aku dahulu percaya hal itulah yang harus aku lakukan untuk mempertahankan sebuah hubungan karena aku pikir “hanya ia yang bisa menerimaku”, “hanya ia yang mencintaiku” dan “kalau aku tidak bersama dengannya, siapa lagi yang akan menerimaku?.”

Baca Juga: 7 Tips Merasa Bahagia di Tempat Kerja

Padahal pada kenyataannya, orang yang benar-benar mencintaimu tidak akan pernah membiarkanmu terluka, apalagi menyakitimu.

Pola toxic berulang-ulang yang dialami banyak perempuan, akar masalahnya mungkin ada banyak sekali. Tapi dari apa yang aku alami, akar masalahnya adalah trauma di masa kecil. Trauma itu membuatku dulu merasa sangat tidak percaya diri, harus selalu mencari validasi dari orang lain, selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain agar mereka tidak pergi dari kehidupanku dan membuatku selalu merasa bahwa aku tidak cukup layak untuk dicintai oleh orang lain. 

Lalu, bagaimana aku bisa sadar, sembuh dan berusaha keluar dari pola toxic yang berulang-ulang itu? Karena aku diingatkan oleh teman-teman perempuanku bahwa aku berharga. 

Sejak 2018 mereka selalu mengatakan hal yang sama, yaitu untuk tidak lagi menggantungkan kebahagiaanku pada laki-laki karena yang aku butuhkan saat itu adalah cinta dari diriku sendiri. Memang aku yang bebal dan merasa insecure dengan diriku waktu itu. Hal itu yang baru aku sadari sepenuhnya di awal tahun 2023, saat aku waktu itu hampir mengulang lagi pola toxic itu. 

History story instagram bulan Januari 2023 mengingatkan begitu besarnya support teman-temanku saat itu. Aku tersadar satu hal, jika selama ini aku terlalu keras pada diriku sendiri. Hingga satu pertanyaan muncul, “kalau aku saja tidak bahagia dengan diriku sendiri, bagaimana aku bisa bahagia dengan orang lain?.”

Baca Juga: Berlatih Mati, Lalu Hidup untuk Orang Lain: Cerita Hartini Perempuan dengan HIV 

Memang sudah seharusnya seperti itu, women support women benar-benar powerful ketika itu dijalankan dengan baik. Hal ini juga yang aku lakukan untuk perempuan yang membaca ini, dimanapun kalian berada. 

Saat aku mulai bangkit menyadari bahwa aku layak, aku berharga dan aku pantas untuk mendapatkan hal-hal baik dalam hidup, disaat itulah aku mulai mengubah kehidupanku. 

Hal pertama yang aku lakukan adalah aku memaafkan diriku sendiri. Aku memaafkan diriku karena ketidakmampuanku untuk mencintai diriku sendiri dengan baik. Memaafkan diriku sendiri karena aku selalu berusaha membahagiakan orang lain tanpa menjadikan diriku sendiri sebagai prioritas nomor satu. Aku memaafkan diriku sendiri karena aku percaya bahwa orang lain akan memberiku kebahagiaan, padahal yang aku butuhkan adalah cinta kasih dari sang pencipta dan cinta kasih dari diriku sendiri. 

Butuh waktu berbulan-bulan hingga akhirnya aku berhasil memaafkan diriku seutuhnya. Setelah memaafkan diriku, aku kembali menata ulang hidupku dan kemudian mengumpulkan kembali kepingan diriku satu persatu. Aku tetapkan lagi tujuan hidupku dan kususun kembali mimpi-mimpiku. Aku mulai menjaga diriku dengan baik, merawat diriku, mengapresiasi setiap kejadian yang aku hadapi dalam hidup, upgrade diri dan mindset serta aku menempatkan diriku sebagai prioritas nomor satu.

Baca Juga: Ingin Lebih Bahagia Dan Sehat? Memasak Adalah Jawabannya

Miley Cyrus di lagunya yang berjudul flowers juga mengajak para perempuan untuk lebih mengutamakan diri sendiri terlebih dahulu ketimbang harus mengemis untuk dicintai. Kalau kamu bisa membeli bunga mawar untuk dirimu sendiri, kenapa harus menunggu seseorang untuk memberikanmu bunga mawar itu? Kalau kamu bisa membicarakan banyak hal-hal yang tidak dimengerti orang lain dengan dirimu sendiri, mengapa berharap lebih jika seseorang akan mendengarmu? Hanya dirimu sendiri yang bisa mencintai dirimu lebih dari orang lain. 

Jadi, kenapa harus bertahan dalam hubungan toxic yang penuh dengan kekerasan, tidak adanya rasa hormat dan tidak bisa membahagiakanmu? Bagi yang sudah menikah, kadangkala bertahan demi anak, supaya anak tidak kehilangan figur seorang ayah. Apakah anak terutama anak perempuan akan menjadi pribadi yang baik dan berbahagia ketika melihat Ibunya disiksa oleh ayahnya? Atau, apakah anak perempuan itu kelak akan dicintai dengan baik saat ia menganggap kekerasan dalam hubungan adalah sesuatu hal yang biasa-biasa saja? Tidak! Kita akan terus menciptakan siklus dan pola toxic berulang-ulang itu jika kita tidak memiliki keberanian untuk memutusnya.

Baca Juga: ‘My Dearest’ Tampilkan Kekuatan Perempuan Di Masa Perang  

Rather be single than miserable (lebih baik melajang daripada sengsara) adalah kalimat dari temanku yang akan aku ingat selalu dan ini mungkin juga akan menjadi motivasimu untuk mengejar mimpi-mimpimu terlebih dahulu ketimbang berharap seseorang datang untuk menyelamatkan hidupmu. 

Salah satu pimpinanku pernah berkata, “Reka, kamu harus ingat kalau kamu itu berharga. Kamu punya value dan kamu berkualitas. Bukan hanya kamu yang berpikir apakah laki-laki itu pantas untukmu, tapi kamu juga harus berpikir apakah ia layak untuk kamu.” 

Deg. Seketika aku merasa seperti tertampar. Sebagai seorang perempuan, kita lebih sering memikirkan apakah kita pantas untuk seseorang ketimbang kita berfikir apakah ia juga pantas untuk kita. 

Mari fokuskan dirimu pada hal-hal baik yang mendukung perkembangan dirimu, sebab semua yang kamu butuhkan ada di dirimu sendiri. 

Jadilah pemutus rantai buruk yang berulang-ulang itu. Kamu layak berbahagia, kamu berharga selayaknya berlian.

Reka Aprilanita

Karyawan swakelola, Penyintas autoimun ankylosing spondilitis
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!